Liputan6.com, Jakarta Ada perkembangan menggembirakan di dunia perbioskopan Tanah Air. Jika dihitung-hitung kini jumlah bioskop semakin banyak.
Ini bukan asal hitung. Bioskop kini bahkan juga sudah dibuka di Jayapura, Papua dengan keberadaan Jayapura XXI. Menurut laman filmindonesia.or.id dalam kajian soal bioskop tanggal 26 Mei lalu, sampai Mei 2014 kelompok usaha Group 21 memiliki 175 bioskop dengan jumlah layar 740.
Sementara itu, hingga periode yang sama, jaringan Blitzmegaplex memiliki 11 bioskop dengan jumlah layar 86. Sementara itu, dari laman yang sama, terdapat bioskop-bioskop di luar dua jaringan yang sudah disebutkan di berbagai daerah yang disebut bioskop-bioskop independen. Jumlahnya 24 bioskop dengan total layar 74.
Advertisement
Maka, total jumlah seluruh bioskop di Indonesia sampai dengan Mei 2014 adalah 211 Bioskop dengan 904 layar. Selain itu, penggemar film tentu sudah mendengar kalau Grup Lippo tengah mengembangkan usahanya ke bisnis bioskop. Grup Lippo akan hadir tahun ini menyediakan 22 bioskop dengan 160 layar. Grup Lippo bahkan menargetkan, dalam waktu lima tahun Cinemaxx, jaringan bioskop milik mereka, akan mencapai 1.000 layar yang membuatnya bakal menjadi jaringan bioskop terbesar di Indonesia.
Data penonton film Indonesia di bioskop
Hal ini menandakan apa?
Artinya, bagi pelaku usaha, bisnis perbioskopan termasuk bagus. Buktinya, kian banyak pemain di bisnis ini. Pelaku yang sudah mapan pun kian giat membangun bioskop.
Namun, yang menarik diungkap dalam studi di laman filmindonesia.or.id adalah ketika jumlah bioskop kian banyak, penonton film yang menonton film Indonesia justru menurun.
Begini datanya: dari 2012 ke 2013, terjadi pertumbuhan jumlah film Indonesia sebesar 15 persen, dari 84 film di tahun 2012 ke 99 film di tahun 2013. Selama lima bulan dari Januari-Mei 2014 sudah edar 44 film Indonesia. Angka film Indonesia tahun ini kemungkinan bakal meningkat.
Tapi ya itu tadi, kenyataannya, penonton film Indonesia justru menurun. Walau ada film yang meraih penonton di atas satu juta penonton, tapi bila dirata-rata penonton dalam kurun waktu tahun 2010 – 2012 yang berkisar antara 170 ribu–190 ribu penonton. Kondisi terburuk terjadi tahun 2013 dengan jumlah rata-rata sebesar 129 ribu penonton.
Mekanisme pasar di bioskop
Kesepakatan dengan Grup 21
Pertanyaannya, jika penonton bioskop kita makin sedikit nonton film Indonesia, lalu bioskop-bioskop yang banyak jumlahnya itu diperuntukkan bagi siapa?
Nah, ini dia. Tak ramai diketahui publik, film-film box office dari Hollywood kini sudah bebas dipertontonkan berbarengan di semua bioskop. Semula, yang diistimewakan adalah jaringan bioskop Grup 21 yang juga satu bagian kelompok usaha dengan pihak pengimpor film-film box office Hollywood, yakni PT Omega Film.
Dilansir tabloid Kontan edisi 26 Mei-1 Juni 2014, mengutip keterangan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syarifuddin, pemutaran film-film box office Hollywood sekarang bisa berbarengan di seluruh bioskop, baik milik jaringan 21 Cineplex maupun bukan.
Dikatakannya, keseragaman proyektor digital di setiap bioskop dan kesepakatan bersama antara GPBSI memungkinkan hal ini terwujud.
Ini artinya, bioskop di seluruh Indonesia kini tak perlu khawatir kekurangan pasokan film, ataupun merasa dirugikan karena diminta memutar film baru belakangan setelah tayang di jaringan 21 Cineplex. Dengan begitu, penonton film di kota terpencil kini bisa nonton Godzilla, The Amazing Spider-Man, atau Maleficent bareng dengan penduduk di kota besar.
Mekanisme pasar
Selain menggembirakan, kabar ini patut diwaspadai bagi pelaku film nasional. Kini, persaingan mereka dengan film-film Hollywood kian meluas wilayahnya. Bioskop tentu akan lebih memilih memutar film laris ketimbang film tak laris. Kalau kebetulan film yang kebanyakan laris itu dari Hollywood, ya pihak bioskop tentu akan lebih sering memutar film Hollywood. Hingga kini tak ada aturan durasi tayang di bioskop bagi film nasional. Semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Yang laris, bakal lebih sering diputar.
Hollywood memiliki kekuatan kapital yang mengglobal. Sebuah film blockbuster Hollywood bisa dibuat dengan bujet sampai melebihi ukuran Rp 2 triliun dalam mata uang kita. Bandingkan dengan bujet film nasional yang rata-rata Rp 2-3 miliar.
Sementara itu, bagi penonton film, mau nonton film Hollywood atau film nasional, harga tiketnya umumnya sama. Penonton film tentu akan lebih memilih film berkualitas ketimbang film yang dibuat dengan seadanya.
Jika sudah begini, pertanyaan yang menjadi soal adalah, banyak bioskop untuk siapa? Film Hollywood atau film nasional? Kemana pemerintah? Tidak adakah yang melindungi film-film buatan anak bangsa sendiri? (Ade/Mer)
Advertisement