Liputan6.com, Jakarta Syahdan, di Jakarta pada suatu malam kita bertemu tiga sosok wanita: Ci Surya (Dayu Wijanto), Gia (Adinia Wirasti), dan Indri (Ina Panggabean).
Film ini berkisah tentang mereka. Ketiganya tidak saling mengenal. Namun nasib mempertemukan mereka di sebuah hotel. Tidak ada interaksi di antara mereka bertiga di layar. Tapi kita tahu, sedikit banyak mereka punya keterkaitan.
Ci Surya baru saja kembali ke rumah. Suaminya baru meninggal. Di dompet suami, ia menemukan secarik kertas dari sebuah hotel berisi nama dan nomor telepon. Menelepon dari nomor telepon genggam suaminya, suara di seberang sana ternyata seorang wanita memanggil "sayang". Ci Surya tahu suaminya punya selingkuhan. Ia pergi ke hotel tersebut untuk mencari tahu.
Advertisement
Kita juga bertemu Gia yang baru tiba dari New York dan memutuskan tinggal di Jakarta. Gia menelepon Naomi (Marissa Anita) kekasih lesbinya ketika di New York. Mereka menghabiskan waktu, bertualang di tengah keremangan Jakarta, hingga akhirnya terdampar di sebuah hotel.
Ada juga Indri, seorang pegawai gym. Ia punya janji kencan di sebuah restoran mahal dengan pria yang dikenalnya lewat chatting. Tak disangka, pria yang dikiranya tampan ternyata beda 180 derajat. "Itu foto lama," kata Davit (dengan "t"), pria itu. Nasib sial malam itu membawanya pada sebuah perkenalan dengan pria lain lagi. Mereka tampaknya saling suka dan memutuskan bercinta di hotel.
Jika menyimak apa yang diceritakan di atas, niscaya Anda takkan menangkap esensi filmnya. Film karya kedua Lucky Kuswandi (sebelumnya membuat Madame X, 2010) ini bukan tentang wanita paruh baya yang mengetahui suaminya yang sudah meninggal punya selingkuhan; bukan juga tentang cinta lama bersemi kembali di antara pasangan lesbi; serta bukan pula soal nasib seorang perempuan yang tengah mencari cinta. Ini bukan film omnibus yang masing-masing kisah berdiri sendiri.
Tiga kisah di film ini sejatinya adalah sebuah surat cinta untuk Jakarta hari ini.
***
Lucky Kuswandi sepertinya berada dalam satu aliran seperguruan dengan Nia DiNata dan Sammaria Simanjuntak. Nia, kita tahu, adalah sineas kelas wahid sinema kontemporer kita yang sudah menghasilkan dua film Arisan! (2003 dan 2011) serta Berbagi Suami (2006). Sammaria sudah membuat Cin(t)a (2009) dan Demi Ucok (2013). Tidak mengherankan bila ketiganya berada dalam satu aliran "silat". Nia boleh dibilang adalah mentor bagi Lucky dan Sammaria--dua-duanya pernah bekerja untuk Nia.
Kesamaan mereka bertiga adalah, film-film mereka sejatinya adalah kritik sosial atas masyarakat kontemporer kita. Mereka tak cuma pandai menghibur, tapi juga mengajak penonton untuk jujur pada diri sendiri. Dua film `Arisan!` menguliti topeng kaum jetset Jakarta; Berbagi Suami mengkritik praktek poligami; `Cin(t)a` tentang ironi cinta beda agama; `Demi Ucok` tentang wanita yang berusaha mewujudkan mimpi bikin film ketimbang dijodohkan; sedang `Madame X` adalah film superhero lokal berbumbu komedi dengan pesan membela `the other` alias sang liyan, mereka yang berbeda dan minoritas.
Maka, seperti film-film "aliran Nia DiNata"--saya tak tahu apa ini istilah yang tepat--di atas, Selamat Pagi, Malam pun disesaki berbagai komentar dan kritik sosial pada masyarakat Jakarta kontemporer: soal tak cukup satu handphone, Rainbow cake, chatting dengan avatar palsu, sampai "tongsis" alias tongkat narsis.
Keberpihakan pada sang liyan juga tak luput ditunjukkan Selamat Pagi, Malam. Pada suatu ketika, kala Gia hendak mengajak Naomi menjalani kisah cinta mereka, Naomi berkata lirih dalam bahasa Inggris yang fasih, "There's no place for us here." Naomi rupanya memutuskan hendak menikah.
Pada segmen Gia dan Naomi pula, kita bertemu suatu Jakarta yang kontradiktif. Di satu sisi masyarakatnya sudah sedemikian jet set (seperti digambarkan Naomi dan kawan-kawannya) sampai Gia yang sudah lama tinggal di New York pun bak seseorang yang ketinggalan zaman. Tapi di sisi lain pula, Jakarta--disadari atau tidak--tidaklah ramah pada orang-orang semacam mereka.
Jika diminta mana segmen favorit di antara tiga kisah yang tersaji, cerita Ci Surya yang sepi adalah yang paling bersinar. Dengan keterbatasan akting Dayu Wijanto yang nyaris mengganggu (ekspresinya di awal terlihat kaku), di puncak film kita kemudian dibuat tersentak saat ia seolah melepas seluruh beban hidup karakter Ci Surya yang dimainkannya. Di sinilah, ia berubah jadi mutiara film ini.
***
Di hotel, kita bertemu Ci Surya, Gia dan Naomi, serta Indri dan cowok barunya. Ketika pagi datang, seolah ketiganya mengucapkan selamat pagi pada malam yang telah mengubah hidup mereka.
Saat film berakhir, diiringi lagu "Pergi untuk Kembali", kita pun mengucapkan selamat pada Lucky Kuswandi atas salah satu tontonan terbaik dari jagad sinema Indonesia tahun ini.*** (Ade/Mer)