Liputan6.com, Jakarta "The first woman was named Lucy."
        --sepotong dialog di film `Lucy`--
Etiopia, 1974. Satu tim peneliti manusia purba gabungan Prancis dan Amerika Serikat yang dipimpin Maurice Taeib dan Donald Johanson menemukan ratusan fosil tulang yang sangat menarik, termasuk sebagian rangka satu individu kate, berkelamin perempuan, yang dikenal sebagai Lucy.
Advertisement
Lucy, yang sudah dewasa ketika mati, tingginya tak sampai 90 cm dan mirip dengan kera, dengan lengan panjang dan tungkai pendek. Ia digolongkan ke dalam manusia purba jenis Australopithecus. Lucy dikatakan hidup tiga juta tahun lalu.
Dalam sekelebatan di film ini kita bertemu Lucy sedang minum dari air sungai. Kemudian, kita juga bertemu Lucy yang hidup di zaman modern. Kita mendengarnya bermonolog, "Kita diberi kehidupan satu miliar tahun lalu. Apa yang telah kita lakukan pada kehidupan ini?"
Dengan monolog awal seperti itu, film ini, Lucy rentan menjadi sebuah esai filsafat tentang hakikat keberadaan kita, manusia, di jagad raya. Terrence Malick sudah melakukannya dua tahun lalu lewat Tree of Life (2011) yang menyuguhkan perjalanan panjang bagaimana dari ketidak-adaan menjadi ada seperti sekarang, serta hakikat kita dan Tuhan di dalamnya.
Malick menyuguhkan perjalanan sang waktu dengan gambar-gambar indah nan membingungkan.
Luc Besson, sineas Prancis yang antara lain sudah membuat Nikita, Leon: The Professional, dan The Fifth Element itu, tak hendak mengambil jalan rumit yang diambil Terrence Malick.
Lewat film `Lucy` ini, Besson membuktikan tontonan cerdas tak perlu merumitkan, membuat dahi berkerut dan bikin penonton kebingungan. Tontonan yang terasa cerdas bisa juga hadir sebagai kisah yang seru dan mengasyikkan.
Cerita film 'Lucy'
Bila disederhanakan, cerita film ini sejatinya sederhana saja. Seorang wanita Amerika yang tinggal di Taipei, Taiwan, bernama Lucy (dimainkan dengan baik oleh Scarlett Johansson) terjebak dalam situasi yang membuatnya harus berurusan dengan penjahat pemasok narkoba jenis baru.
Bersama tiga orang lain, perut Lucy diiris dan ditaruh narkoba itu di dalamnya untuk kemudian diterbangkan ke Eropa. Sial, narkobanya bocor. Alih-alih tewas, Lucy malah memiliki "kekuatan super".
Ia kemudian mengatur bagaimana mendapat tiga paket narkoba lain demi bisa menyelamatkan hidupnya. Di lain pihak, gerombolan penjahat ingin pula merebut paket narkoba itu dari Lucy.
Mari kita berhenti di frasa "kekuatan super". Ya, film ini bisa juga dikategorikan sebagai film superhero. Di sini, Scarlett Johansson tak ubahnya Tony Stark yang berubah jadi Iron Man atau Steve Rogers, pemuda kurus nan canggung yang berubah jadi Captain America yang kekar perkasa.
Pertanyaan Filsafat dalam Lucy
`Lucy` menjadi jawaban bagi film superhero yang asyik tak perlu jagoannya harus berkostum ketat atau aneh. Di sini, Scarlett sama perkasanya dengan Black Widow di jagad Marvel (tokoh yang ia juga perankan versi filmnya) meski hanya mengenakan kaus dan jins.
Kekuatan super Lucy adalah kapasitas kemampuan otaknya yang meningkat terus-menerus. Film ini mengatakan, manusia hanya menggunakan 10 persen kapasitas otaknya. Tapi dari 10 persen itu, manusia telah mencipta peradaban di muka Bumi yang sudah membangun piramida hingga menerbangkan orang ke Bulan.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat
Dan premis filmnya kemudian adalah, apa yang terjadi bila manusia menggunakan kapasitas otaknya lebih dari 10 persen? Apa yang terjadi saat kapasitas otak meningkat jadi 20 persen? 40 persen? 80 persen? Atau saat mencapai titik 100 persen?
Dengan bermain-main lewat kemampuan otak yang terus meningkat, Luc Besson melebarkan filmnya tak sekadar film fiksi ilmiah, film aksi, atau film superhero. `Lucy` kemudian pula adalah film filsafat. Tanpa perlu berpuisi dengan narasi dan gambar-gambar puitis, `Lucy` mengajak kita melakukan perjalanan bersama sang waktu.
`Lucy` memantik kesadaran kita apa jadinya bila kita bisa mengingat ke saat memori terdalam kita, mengingat momen ketika kita dilahirkan, berbagai kecupan ibunda ketika kita masih bayi, dan rasa air susu ibu? Bagaimana kita bila bisa melakukan perjalanan waktu, ke masa silam, saat manusia modern bisa bertemu nenek moyang kita tiga juta tahun lalu? (Perhatikan momen Lucy bertemu Lucy menjadi reka ulang lukisan terkenal Tuhan menciptakan Adam karya Michaelangelo di kapel Sistina).
Atau juga, bagaimana bila dengan kemampuan otak kita yang semakin meningkat, pada akhirnya kita bisa kembali ke masa saat segalanya belum dimulai, saat jagad raya belum diciptakan? Tidakkah, bila manusia bisa mencapai masa saat jagad raya diciptakan manusia pada akhirnya bisa membaca pikiran Tuhan seperti diangankan Einstein?
Film ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang akal pikiran di sela baku tembak dan kejar-kejaran. Hal ini makanya Lucy layak disebut film musim panas tercerdas tahun ini. Sesuatu yang menantang akal pikiran bisa juga disajikan dengan asyik, seru, tanpa membuat dahi berkerut, plus disampaikan tak lebih dari 90 menit.
Musim panas tahun ini kita disuguhkan film-film fiksi ilmiah cerdas seperti Edge of Tomorrow yang mengandaikan peperangan seperti sebuah premainan video game, atau bagaimana jadinya bila kera-kera cerdas menjadi makhluk hidup yang mendominasi peradaban dalam Dawn of the Planet of the Apes. Dua film itu cerdas, namun masih menyisakan beban saat ditonton. Lain dengan `Lucy` yang terasa cepat tanpa adegan membosankan. [Baca resensi Edge of Tomorow dan Dawn of the Planet of the Apes]
Meski filmnya cerdas, asal tahu saja, kajian ilmiah yang menjadi dasar film Lucy sebenarnya masih diragukan. Kajian yang mengatakan manusia hanya memakai 10 persen kemampuan otaknya masih dianggap pseudosains, seolah-olah kebenaran ilmiah padahal bukan. Belum ada penelitian yang bisa membuktikan kebenaran klaim itu.
Namun, tentu saja, entah kenyataan ilmiah atau bukan, 90 persen kemampuan otak yang tak terpakai adalah subjek menarik untuk sebuah fiksi ilmiah. `Lucy` telah mengambil subjek itu dan bermain-main dengannya secara mengasyikkan. (Ade/Feb)
Advertisement