Sukses

Melihat Brunei Lewat `Yasmine`

`Yasmine` adalah sebuah tontonan yang asyik. `Yasmine` adalah film penting bagi jiran kita, Brunei.

Liputan6.com, Jakarta Jangan menilai buku dari sampulnya. Ungkapan itu terasa pas untuk buku. Namun, tak terlalu pas untuk film. Ketika datang ke bioskop, yang orang lihat pertama kali adalah poster film.

Lantas, apa yang terlintas di benak Anda saat pertama kali melihat poster film Yasmine? Dan lebih elok mana dengan poster filmnya untuk edar di negeri asalnya, Brunei Darussalam dan internasional?   

Jika masyarakat kita tak memilih menonton `Yasmine`, kesalahan pertama mungkin harus dialamatkan pada posternya yang tak elok dipandang dibanding poster-poster film musim panas Hollywood.

Padahal menonton `Yasmine` di bioskop adalah sebuah keistimewaan. Di luar posternya yang terasa seperti FTV di layar lebar, `Yasmine` adalah sebuah tontonan yang asyik. `Yasmine` adalah film penting bagi jiran kita, Brunei. Dan menjadi saksi sebuah film penting adalah kesempatan langka yang tak sepatutnya dilewatkan.

Sebelum bicarakan filmnya, mari kita berbincang dahulu tentang Brunei. Meski berbagi satu pulau dengan wilayah Kalimantan, Indonesia, kebanyakan dari kita masih kurang akrab dengan negeri Brunei Darussalam.

Keterangan foto: Poster film Yasmine di bioskop Indonesia.

Apa yang kita tahu soal negeri itu masih serba sedikit. Kita hanya tahu Brunei adalah negeri yang kaya minyak; penduduknya kaya raya karena setiap jengkal kebutuhan hidupnya dipenuhi negara; dan penguasanya, keluarga sultan, kerap menggelar pesta super mewah dengan mengundang penyanyi kelas dunia semisal Michael Jackson.

Hubungan kita dengan Brunei tidak seperti dengan jiran yang lain. Dengan Malaysia, misalnya, hubungan kita dipenuhi cerita benci dan cinta. Kita menyukai Siti Nurhaliza dan Upin-Ipin tapi membenci Malaysia setengah mati.

Nah, perasaan semacam itu tak kita rasakan pada Brunei. Negeri yang diperintah Sultan Hasanal Bolkiah ini bagi kita adalah sebuah negeri utopis bak surga, sebuah perwujudan masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan.

Bila Malaysia adalah negeri yang membuat kita iri, Brunei adalah negeri impian. Karenanya sulit bagi kita membenci Brunei.

Keterangan foto: Poster film Yasmine di Brunei (kiri) dan internasional (kanan). 

***

Yang menjadi pertanyaan, sejauh mana kita sesungguhnya mengenal Brunei?

Sebagai jiran, kita tampaknya bukan tetangga yang baik. Kita lebih mengenal Amerika yang jaraknya ribuan kilometer ketimbang Brunei yang berbagi pulau dengan kita. Coba, tahukah kebanyakan dari kita dengan sastrawan Brunei, penyanyi Brunei, atau aktor dan aktris pujaan dari Brunei?

Sejak tahun 1950-an, kita mengenal aktor dan penyanyi P. Ramlee dari Malaysia. Beranjak ke Amy Search dengan lagu
Isabella di akhir 1980-an, lalu Iklim, lalu Sheila Madjid, hingga Siti Nurhaliza.

Namun, tidak ada artis dari Brunei yang kita kenal.

Ada dua faktor penyebab hal itu terjadi. Pertama, pada hakikatnya memang tak ada ikon budaya pop dari Brunei yang cukup terkenal hingga ke negeri jirannya. Dan kedua, industri yang melahirkan ikon budaya pop (seperti TV, musik, dan film) tak cukup berkembang hingga tak bisa bergaung ke luar wilayah Brunei.

Kita pun patut bertanya-tanya, masyarakat seperti apa yang pada gilirannya tak pernah menghasilkan ikon budaya pop yang terkenal hingga ke negara tetangga?

Patut diketahui, film ini, Yasmine yang masih tayang di sejumlah bioskop Tanah Air, adalah film panjang pertama yang diproduksi Brunei. Sungguh mencengangkan bahwa negeri yang kaya raya itu tak memiliki industri film dalam negeri. Bioskop ada. Tapi hanya memutar film Hollywood dan Malaysia. Belum ada anak negeri yang membuat film panjang untuk tayang di bioskop negeri sendiri.

Sampai sekarang...

Selanjutnya>>

2 dari 2 halaman

Kondisi masyarakat Brunei dalam Yasmine

***

Yasmine adalah gebrakan pertama dari Brunei. Karena industri filmnya belum ada--dan mereka memiliki cukup banyak uang--maka sineasnya Siti Kamaluddin mengajak serta orang-orang terbaik di sekitar Asia untuk mewujudkan mimpinya: membuat film panjang pertama Brunei.

Siti mengajak serta Salman Aristo menulis skenario, Cesa David Luckmansyah (pemenang piala Citra untuk film Rumah di Seribu Ombak) menyunting gambar, Khikmawan Santosa (peraih piala Citra untuk film Sang Kiai) sebagai penata suara, Aghi Narottama sebagai penata musik, dan band Nidji membuat lagu soundtrack.

Di jajaran pemain, selain menampilkan pemeran utama Liyana Yus asal Brunei sebagai Yasmine, juga tampil para aktor terbaik Indonesia seperti Reza Rahadian, Agus Kuncoro, Dwi Sasono, dan Arifin Putra, plus aktor Malaysia dan Singapura. Untuk tata kelahi dipercayakan pada Chan Man Ching yang pernah menggarap adegan laga film-film Jackie Chan.

Meski filmnya hasil kolaborasi banyak negara, Yasmine tak lain dan tak bukan adalah film Brunei. Lewat film ini kita bisa mengenal Brunei lebih dekat. Terutama masyarakatnya.

Bagian paling menarik dari Yasmine pertama-rama adalah melihat bagaimana warga biasa di Brunei hidup sehari-hari. Di awal film kita melihat remaja Brunei yang bersahaja. Mereka hidup di tengah kemodernan dan kekayaan (setiap remaja kemana-mana naik mobil) tapi tetap memegang adat ketimuran nan islami.

Kita melihat handphone canggih dan laptop Apple berkelindan dengan rumah panggung, berjilbab saat bersekolah, belajar mengaji, belajar silat, serta TV cembung merek Akira ukuran 14 inci.

Kita melihat tokoh kita Yasmine (Liyana Yus) yang tak bisa bersekolah di sekolah swasta elit karena ayahnya (dimainkan Reza) pegawai rendahan. Ayah Yasmine tak punya cukup uang dan tak bisa dapat pinjaman dari bank.

Kenyataan ini menunjukkan tidak semua warga Brunei bisa bersekolah di sekolah swasta yang diidamkan. Lalu, tak semua
orang Brunei kaya raya. Yasmine dan ayahnya hidup bersahaja di rumah panggung dari kayu.

Syahdan, Yasmine bersekolah di sekolah umum. Ia naksir pemuda tampan jago silat. Maka, Yasmine pun belajar silat bersama dua kawan satu sekolahnya, Ali (Roy Sungkono) dan Nurul (Nabila Huda). Ia menggagas sekolahnya ikut kompetisi pencak silat antar sekolah agar mendapat perhatian si pemuda tampan.

Cerita ringan begini disuguhkan sangat baik oleh Siti. Kisahnya kemudian tak berhenti menjadi cerita remaja putri ingin dapat cowok. Di sini juga ada kisah persahabatan serta hakikat silat bukan untuk melukai orang. Siti tampak terpengaruh oleh film-film Hollywood yang mengangkat beladiri sebagai latar untuk mencari jati diri dan pelajaran hidup. Sekilas `Yasmine` terasa seperti The Karate Kid dalam versi silat.

Senang rasanya silat memiliki versinya sendiri dari `The Karate Kid`. Apalagi film baik ini lahir dari kontribusi sineas kita. Di Brunei, Siti bercerita, filmnya mendapat sambutan hangat. Bioskop penuh.

`Yasmine` menjadi tonggak kelahiran sinema Brunei. Saya teringat pada 1999 saat Petualangan Sherina hadir di bioskop. Kala itu, film karya Riri Riza tersebut menjadi oase saat film bioskop kekeringan film buatan anak negeri yang bermutu. Selama sebulan lebih bioskop penuh.

Antusiasme yang sama dirasakan masyarakat Brunei hari ini. Kita patut berbangga sineas kita ikut berkontribusi dalam kebangkitan sinema negeri jiran. Asal selepasnya kita jangan lengah membuat film yang bagus pula. Masa depan sinema Brunei cerah di tangan Siti Kamaluddin. Tahniah. (Ade/Mer)