Liputan6.com, Jakarta "We travel, initially, to lose ourselves; and we travel, next, to find ourselves." ---Pico Iyer, Why We Travel--
Â
Baca Juga
Film ini, Haji Backpacker, rasanya sih salah satu film kita yang paling ambisius. Tengok saja posternya. Di bawah judulnya ada tagline, "9 Negara, Satu Tujuan." Kemudian dideretkan apa saja negara-negara yang ada di film ini: Indonesia, Thailand, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia.
Advertisement
Promosi mencantumkan nama negara di poster bukan hal baru. Anda mungkin ingat, saat novel Habiburrahman Al Shirazy Ketika Cinta Bertasbih difilmkan (bagian satu rilis 2010), di posternya ada gambar piramida dan tulisan "Asli Mesir".
Sebelum membahas filmnya, menarik untuk menelisik bagaimana sebuah film macam Haji Backpacker lahir.
Yang pertama terlihat terang benderang adalah kebangkitan genre travel writing di ranah buku kita beberapa tahun terakhir. Jika Anda cermati, beberapa tahun terakhir ini, buku panduan wisata hadir bak cendawan di musim hujan. Buku semacam Lonely Planet tak sendirian lagi. Banyak penulis lahir dengan menulis buku panduan wisata dan belanja ke berbagai kota dan negara. Ada yang menulis panduan wisata ke Bandung, Yogyakarta, Malang, hingga Bali; ada pula yang membuat buku panduan bagaimana berwisata ke Singapura, Malaysia, Vietnam, atau Korea dan Jepang, bahkan berhaji, dengan murah meriah.
Jika ditelisik gairah buku jalan-jalan ini dimulai oleh maskapai penerbangan yang menyediakan tiket pesawat murah. Dari sini keinginan orang jalan-jalan jadi lebih mudah terwujud. Lalu, muncul buku-buku panduan wisata.
Namun demikiaan, travel writing pada akhirnya bukan lagi sebatas buku panduan wisata, ia juga menjadi kisah perjalanan penulisnya saat singgah di berbagai tempat. Dari sub-genre yang ini kemudian lahirlah buku-buku kisah perjalanan fenomenal macam seri The Naked Traveler-nya Trinity, wisata belanja ala Miss Jinjing, hingga kisah-kisah perjalanan Agustinus Wibowo ke negeri-negeri eksotik di Asia Tengah (Garis Batas).
Asal-usul Kisah Perjalanan
Kalau hendak dicari pangkal muasalnya, kisah perjalanan bahkan sudah lahir jauh sebelum Marco Polo menuliskan catatan perjalanannya menelusuri Jalur Sutra dari Italia ke Tiongkok pada abad ke-13 maupun Ibnu Batutah menjelajahi dunia Islam hingga ke Samudera Pasai di abad ke-14.
Kisah perjalanan adalah cerita tertua tentang manusia. Bahkan sejak nenek moyang manusia lahir di Bumi, perjalanan menjadi bagian tak terpisahkan. Yang sedikit belajar tentang evolusi manusia, tentu mafhum nenek moyang kita muncul di Afrika dan kemudian menyebar ke penjuru Bumi dengan ya itu tadi, melakukan perjalanan.
Kisah-kisah masyhur dari peradaban manusia paling awal pun sejatinya adalah cerita perjalanan. Kisah Gilgamesh, juga kisah Odyssey dari Homer, hakikatnya adalah narasi perjalanan: seorang tokoh harus menempuh sebuah perjalanan panjang dan penuh rintangan, untuk menemukan bahagia.
Kisah Hercules menunaikan dua belas tugas besarnya, juga adalah sebuah narasi perjalanan. Si tokoh harus berjalan dari satu tempat, dan berakhir di tempat yang dituju. Pun epos Mahabharata dari India, adalah juga berisi antara lain berbagai kisah perjalanan di dalamnya (misalnya, saat Pandawa diasingkan ke hutan).
`Road Movie` Rasa Indonesia
Terkait film, cerita perjalanan adalah sub-genre tersendiri dengan nama road movie. Dalam sinema kontemporer kita pasca 2000, sudah lahir beberapa road movie semisal Banyu Biru (2005), Tiga Hari untuk Selamanya (2008), hingga Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2012).
Hanya saja, `Haji Backpacker` ini tampaknya lahir dari kegandrungan kita saat ini, membaca buku-buku catatan perjalanan. Boleh dikata, lewat film ini, apa yang sudah ditulis Agustinus Wibowo dan kawan-kawan, untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa visual bernama film panjang.
Di sini kemudian antara buku dan film menemukan perbedaannya yang esensial. Sebuah buku catatan perjalanan bisa meliuk-liuk menceritakan panjang lebar tentang sebuah kota atau negara beserta penduduknya. Film nyaris tak punya keistimewaan seperti itu. Film panjang yang merentang selama waktu pertunjukan dua hingga tiga jam harus punya benang merah cerita, plot atau alur kisah, konflik, maupun tokoh-tokohnya.
Â
Antara `Road Movie` dan Dokumentasi Perjalanan
Maka, tantangan terbesar film perjalanan berjudul `Haji Backpacker` adalah bagaimana mengawinkan eksotisme bertualang di sembilan negara sambil tetap fokus pada pengisahan tokoh dan konfliknya.
Syahdan, di `Haji Backpacker` kita bertemu Mada (Abimana Aryasatya). Di awal film kita melihatnya terdampar di Thailand. Mada hidup hedonis. Kerjanya berpesta. Ia juga menjalin hubungan tanpa status dengan seorang perempuan Indonesia yang menjadi wanita penghibur di Thailand (diperankan Laudya Chintya Bella).
Sebuah keributan dengan preman Thailand memaksa Mada meninggalkan negeri itu. Dari sini perjalanannya dimulai. Sebelumnya, ia diberitahu kalau ayahnya (Ray Sahetapy) meninggal saat beribadah di Tanah Suci.
Mada memiliki hubungan yang renggang dengan ayahnya. Dari kilas balik hidupnya, kita melihat Mada ditinggal mati ibunya saat masih kecil. Saat dewasa, dia ditinggal wanita pilihannya tepat di hari pernikahannya. Cobaan hidup itu membuat Mada marah pada Tuhan. Ia meninggalkan Indonesia, keluarganya, dan terlunta-lunta di Thailand.
Dari Thailand, Mada menyeberang ke Vietnam lalu ke Tiongkok. Di negeri tirai bambu itu, Mada tinggal sebentar di sebuah keluarga Tiongkok Muslim. Dari situ ia sempat bekerja sebagai pelayan toko, dan lalu hijrah ke India untuk bertemu seorang imam masjid. Dari India, Mada mengelana ke Tibet, Nepal, lalu menyeberang ke Iran. Di Iran dia ditangkap kelompok teroris, dicurigai sebagai mata-mata. Karena bisa membaca Al Quran, Mada selamat dan akhirnya bisa ke Mekkah.
Antara `Road Movie` dengan Dokumentasi Perjalanan
Pada hakikatnya, road movie adalah sebuah pencarian diri. Film jenis ini seolah punya aturan tak tertulis, saat mengelana dari kota ke kota atau dari negeri ke negeri, sang tokoh utama juga mengalami pendewasaan diri.
`Haji Backpacker` tampaknya ingin menanamkan pakem itu. Mada, tokoh kita, tengah mengalami goncangan hidup. Ia menjauhi Tuhan karena diterpa berbagai masalah hidup. Namun, dalam perjalanan, Mada bertemu orang-orang yang mengajarinya tentang makna hidup.
Persoalannya, begitu banyak negara yang Mada kunjungi. Dalam satu kurun waktu tak lebih dua jam, di layar harus terpampang perjalanan melewati sembilan negara. Di sini beratnya tugas penulis skenario Jujur Prananto dan sutradara Danial Rifki (juga ikut menulis bersama Jujur). Mereka harus membagi film tetap proporsional antara kisah perjalanan (road movie) dan dokumentasi perjalanan.
Lebih susah lagi, di film ini Mada berjalan sendirian. Ia tak terlibat konflik dengan teman perjalanan. Konflik yang dialaminya adalah konflik batin. Hal ini yang membedakan `Haji Backpacker` dengan, misalnya, Le Grand Voyage (2004) yang berkisah tentang perjalanan menuju Mekkah yang dilakoni seorang ayah dan anak.
Film yang disebut terakhir lebih memikat karena menuturkan konflik hubungan antara ayah dan anak yang tak akur. Haji Backpacker hendak juga menampilkan konflik itu sekilas. Tapi, sosok ayah Mada hanya muncul dalam mimpi. Saat kilas balik tak terlalu jelas mereka berkonflik karena apa. Mada pun tampak dirundung terlalu banyak persoalan. Namun, solusi yang disodorkan tampak terlalu enteng.
Tengok misalnya, bagaimana akhirnya Mada bisa berdamai dengan kekasih yang meninggalkannya di hari pernikahan. Sang kekasih (Dewi Sandra) hanya muncul dalam mimpi untuk menjelaskan semuanya. Kalau untuk bermimpi saja sampai harus ke bertualang ke sembilan negara, mahal betul perjuangan Mada. Bukankah seharusnya dia mencari kekasihnya di Indonesia dan minta penjelasan langsung dari mulut si kekasih?
Di luar hal-hal yang janggal di atas, `Haji Backpacker` adalah sebuah tontonan yang baik pada beberapa bagian. Konflik cinta dengan wanita penghibur Indonesia di Thailand adalah segmen terbaik film ini—yang sebetulnya bisa jadi film tersendiri. Lalu, sungguh menggetarkan saat Mada melihat deretan nisan tak bernama di Mekkah. Ia tak tahu yang mana kuburan ayahnya.
Maka, kesimpulannya, `Haji Backpacker` mungkin akan lebih baik bila sedikit menurunkan ambisinya, tak harus memfilmkan perjalanan ke sembilan negara. Bila tiga atau lima negara saja cukup untuk menyuguhkan sebuah road movie yang utuh, kenapa tidak.** (Ade/Rul)
Advertisement