Sukses

REVIEW BALINALE 2014: `White Lies` dari New Zealand

Di New Zealand saat dekade ketiga abad ke-20, ketika kolonialisme kian menghujam, masyarakat New Zealand terbagi atas dua kelas.

Liputan6.com, Bali Menonton White Lies (2013), film yang menjadi wakil New Zealand di ajang Academy awards 2014, yang terasa adalah betapa persoalan warna kulit adalah persoalan universal. Menontonnya di ajang Bali International Film Festival 2014 atau Balinale 2014, kian terasa dekat kalau persoalan di film itu sejatinya adalah persoalan masyarakat kita juga.

Di New Zealand saat dekade ketiga abad ke-20, ketika kolonialisme kian menghujam, masyarakat New Zealand terbagi atas dua kelas: penduduk asli suku Maori yang terjajah dan terpinggirkan, serta warga kulit putih yang berkuasa atas tatanan sosial.

Lewat film ini kita melihat, misalnya, bagaimana pemerintahan kulit putih mencabut akar-akar tradisi lokal suku asli dengan melarang praktek persalinan yang dilakukan oleh warga asli suku Maori.

Persoalannya bukan sekadar dukun bayi tidak hanya dianggap tak higienis atau tak modern, tapi juga hal itu menjadi bagian dari politik kolonial masa itu.

Syahdan, bertemulah kita dengan Paraiti, seorang dukun beranak bila meminjam istilah kita. (Diperankan Whirimako Black, artis New Zealand keturunan Maori. Aslinya dia penyanyi jazz kesohor negeri itu, dan ini adalah film panjang pertamanya).

Dia bekerja sebagai dukun sambil setengah berkelana di desa-desa. Tapi hukum kulit putih melarang seseorang yang tak punya izin resmi untuk menjadi penyembuh orang sakit ataupun bidan. Tapi bagaimana dia bisa mendapatkan izin bila praktek yang dilakukannya jauh dari kaidah atau aturan masyarakat modern?

Dalam sebuah pengelanaannya di kota, Paraiti diminta bantuan oleh Maraea (Rachel House), pelayan dari seorang wanita kaya, Rebecca (Antonio Prebble). Rebecca tengah hamil. Namun, Rebecca tak menginginkan kehamilannya. Dia meminta Paraiti membantu menggugurkan sang janin sebelum suami Rebecca pulang ke rumah dari perjalanan bisnisnya.

Semula Paraiti menolak. Tapi ia akhirnya bersedia membantu. 

Masalahnya tak hanya di situ.

Maraea seorang keturunan Maori tapi menolak menggunakan bahasa nenek moyangnya ketika bicara. Ia menganggap berkulit putih lebih baik, dan menjamin hidup enak. Rebecca, di lain pihak, menyimpan rahasia terdalam hingga menolak janinnya sendiri.

Jika ditelisik, semuanya berpangkal pada persoalan rasial, menganggap yang berkulit putih lebih superior. Anggapan itu juga ditanam di negeri ini saat Belanda menjajah dahulu. Kita sedikit beruntung, penjajah berkulit putih berhasil kita usir.

Meski demikian, bukan berarti anggapan yang berkulit putih lebih cantik, lebih indah, dan lain sebagainya sirna. Jagat kosmetik kita melanggengkannya.

Film ini menjadi panggung bagi tiga tokoh utamanya: Paraiti, Maraea, dan Rebecca.

Menontonnya seperti melihat pertunjukkan teater yanng dimainkan tiga orang. Sebagai tontonan, kamera memang malas bergerak ke sana-ke mari menyorot lanskap New Zealand yang indah.

Biar saja. Mungkin memang bukan hal itu yang dikejar sutradara-penulis Meksiko Dana Rotberg yang membuat film tentang negeri asalnya itu. Rotberg, yang mengangkat film ini dari novel pendek `Witi Ihimaera` (pengarang Whale Rider) sedang ingin menggugat persoalan maha penting kita: perbedaan warna kulit. Ia tak ingin fokus penonton terbelah. (Ade/Mer)