Liputan6.com, Denpasar Ada kabar gembira dan kabar tak terlalu menggembirakan usai nonton film Urbanis Apartementus yang diputar perdana di Bali International Film Festival 2014 atau Balinale 2014, Jumat (17/10/2014).Â
Kabar gembiranya, perfilman Indonesia selalu menghasilkan darah-darah segar. Yakni mereka, anak-anak muda usia akhir belasan atau awal 20-an yang mencintai film tidak sekadar menontonnya, tapi juga mencoba membuatnya. Nah, kabar yang tak terlalu menggembirakan apabila kita menonton karya mereka.Â
Â
Urbanis Apartementus ini contohnya. Dikatakan, film ini dibuat oleh 40 pembuat film pemula yang berasal dari berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Mereka tergabung dalam organisasi Lingkar Alumni Indie Movie yakni wadah bagi sineas pemula yang pernah ikut kompetisi LA Lights Indie Movie.Â
Â
Filmnya dikerjakan empat sutradara (Dimas Prasetyo, Vanny Rantini, Indah Harahap, dan Catra Wardhana) dan dua co-director (Vonny Kanisius dan Rika Permatasari).Â
Â
Semuanya masih pemula. Meski begitu, mereka mengarahkan bukan orang-orang pemula. Di deretan sejumlah pemain yang relatif belum dikenal ada nama Poppy Sovia dan Indra Birowo atau aktor kawakan Joshua Pandelaki yang memerankan tokoh-tokoh kunci di film ini, serta penampilan khusus Luna Maya dan Dr. Boyke.Â
Â
Ini artinya, film yang mereka kerjakan bukan film main-main. Mereka punya semangat yang sama seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovany, atau Nan T. Achnas ketika di usia 20-an tahun membuat Kuldesak pada pertengahan 1990-an. Â Â
Â
Eh, tunggu, semangat boleh sama. Tapi apa hasilnya setara?Â
Â
Â
***
Â
Well, setelah menontonnya, Urbanis Apartementus jelas tak bisa dibandingkan dengan Kuldesak. Saat Mira dkk membuat Kuldesak kondisinya beda dengan teman-teman pembuat film pemula dari LA Indie Movie.Â
Â
Ketika itu, tahun 1990-an akhir, ada keresahan yang akut di kalangan muda yang virusnya ikut menjangkiti dunia sinema. Dunia film kita masa itu sedang mengalami apa yang disebut "mati suri". Teve swasta baru mulai booming.Â
Â
Sineas banyak yang hijrah membuat sinetron atau iklan. Film bioskop hanya diisi film esek-esek yang dibuat sekenanya.Â
Â
Dari kondisi itu kemudian lahir sineas-sineas macam Riri Riza dan Mira Lesmana dkk yang sebelumnya tak pernah membuat film. Latar belakang mereka adalah pembuat iklan atau video klip. Mereka punya referensi bejibun pada sinema dunia.Â
Â
LA Indie Movie adalah wadah bagi sineas pemula. Yang mereka hasilkan baru film pendek. Mereka bukan datang dari dunia periklanan, televisi, ataupun pembuat video klip. Mereka umumnya lebih muda daripada Riri dkk ketika
pertama kali berada di belakang kamera. Mereka juga bukan berasal dari sekolah film. Keberanian membuat film murni datang dari semangat dan kecintaan mereka. Â Â
Â
Para sineas pemula ini lahir saat industri perfilman Indonesia bangkit. Mereka adalah generasi pasca Riri dkk. Bahkan pasca Hanung dan pasca setelah Hanung, yakni angkatan Fajar Nugros dkk. Sineas pemula ini lahir ketika kegiatan workshop film atau lomba film pendek muncul bak cendawan di musim hujan.Â
Â
Ajang macam begitu terbukti diikuti banyak orang dengan antusias. Generasi baru perfilman Indonesia pasca Riri Riza, Hanung Bramantyo, atau Fajar Nugros pada akhirnya memang antara lain lahir dari ajang seperti di atas. Dan film panjang berdurasi 80 menit berjudul Urbanis Apartementus adalah bagian dari rangkaian kelahiran generasi baru itu. Bukan tak mungkin, dua atau tiga pembuat film ini beberapa tahun lagi akan menghasilkan film panjang seperti pendahulu mereka.Â
Â
Pertanyaannya kemudian, setelah melihat Urbanis Apartementus, film panjang seperti apa yang bakal mereka hasilkan?Â
Â
Â
***
Â
Di sini kita kemudian sampai pada bagian kabar tak terlalu menggembirakan seperti dikatakan di awal tulisan ini.Â
Â
Urbanis Apartementus adalah film multi plot berlatar sebuah apartemen (Aha! Keludesak juga film multi plot berlatar kehidupan di apartemen yang dihuni anak-anak muda yang resah dengan hidup khas Generation X.).Â
Â
Urbanis mengambil latar kehidupan penghuni apartemen pinggir kota dengan masalahnya masing-masing.Â
Â
Ada penyanyi dangdut  yang dipaksa untuk melakukan tes keperawanan oleh orangtua pacarnya yang merupakan politikus kontroversial; ada kisah wanita yang mengasingkan diri dari keluarga; ada kisah selebtwit yang punya cerita cinta yang tragis;  ada wanita paruh baya yang hendak dimasukkan ke panti jompo oleh anaknya; ada satpam yang takut hantu; serta ada cowok yang harus menjaga sepupu cewek yang kecanduan narkoba. Kisah-kisah tersebut jalin-menjalin bergantian menyita perhatian penonton.Â
Â
Tidak ada masalah dengan kisah-kisah di atas. Semua cerita itu adalah kisah yang jamak terjadi di sebuah apartemen pinggir kota yang dihuni kelas menengah. Â
Â
Masalahnya terjadi pada eksekusi ataupun hasil akhir filmnya. Â
Â
Urbanis Apartementus bukan karya yang lancar. Filmnya masih terasa dihasilkan pemula. Bagi saya itu bukan masalah. Jam terbang membuat film akan menempa sineas film pemula ini menghasilkan film yang lebih lancar.Â
Â
Yang menjadi masalah adalah bahasa film yang digunakan para sineas ini. Tampaknya, sineas pemula ini dicekoki ilmu bagaimana membuat film komersil alih-alih ilmu bagaimana membuat film yang baik. Terlihat betul filmnya dari mulai skenario maupun pengadeganan bertujuan untuk membuat film yang komersil.Â
Â
Urbanis Apartementus, misalnya, menggunakan gaya humor slapstick yang dengan mudah memicu tawa penonton. Atau juga, adegan dramatis filmnya terasa instan tanpa kedalaman seperti melihat sebuah sinetron. Tokoh-tokohnya juga begitu stereotip. Tidak ada eksplorasi pada penokohan untuk menghasilkan sesuatu yang beda.
Â
Saat nonton film ini, saya tak banyak tertawa. Namun, di bioskop yang penuh oleh remaja Bali usia ABG, berkali-kali tawa pecah. Ini artinya, lelucon ala film komersil yang stereotip kena dengan penonton filmnya.Â
Â
Maka, pertanyaan krusial yang kemudian diajukan untuk film Urbanis Apartementus adalah, inikah masa depan sinema kita sepuluh tahun lagi? Biar waktu yang menjawabnya. Â (Ade)