Liputan6.com, Denpasar Tentu, rasa penasaran itu kian membuncah ketika Maryam, film pendek karya Sidi Saleh, dinobatkan sebagai pemenang kategori Film Pendek Terbaik Festifal Film Venesia 2014. Maka, ketika diundang ke acara Bali International Film Festival atau Balinale 2014, ini jadi film wajib nonton bagi saya.
`Maryam` adalah subyek yang asyik. Suatu persoalan yang sangat khas negara dunia ketiga. Di negeri multi etnik dan agama macam Indonesia, seorang perempuan Muslim bekerja di sebuah keluarga Nasrani adalah hal yang jamak. Kondisi itu melahirkan banyak persoalan yang bisa digali untuk menjadi sebuah film.
Sidi Saleh mengangkatnya dengan jeli. `Maryam` punya premis yang asyik, bagaimana bila seorang pembantu rumah tangga berjilbab harus mengantarkan tuannya yang ingin menghadiri misa Natal di gereja?
Film dibuka dengan si Nyonya bertelepon hendak meninggalkan rumah. Mise en scene di layar memperlihatkan seorang wanita bertelepon, koper dan tas di sisinya, pohon Natal sebagai penanda waktu, seorang pria bertopeng kepala ayam menggoyangkan kepala seperti ayam mematuk untuk menunjukkan ada orang dewasa lain di rumah itu namun kondisi mentalnya terbelakang, serta seorang perempuan berjilbab yang disuruh-suruh untuk menandakan posisinya sebagai pembantu di rumah.
Kita lantas melihat, si Nyonya pergi, meninggalkan pembantunya, Maryam di rumah bersama tuannya.
Sampai di sini saya teringat tulisan panjang Remy Silado di Kompas sekitar 10 tahun lalu tentang kata "tuan" dan "Tuhan". Setiap kita kini mafhum kata "tuan" bersifat insani, sedang kata "Tuhan" bersifat ilahi. Yang kerap tak kita sadari kasat mata, dua kata itu sangat berhubungan erat. Hanya kurang huruf "h" untuk "tuan" menjadi 'Tuhan". Â
Bahkan seperti yang diterangkan Remy dalam tulisannya, pada awalnya--dalam terjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu, tak dikenal kata "Tuhan" untuk menerjemahkan Kyrios dalam bahasa Yunani. Yang ada adalah "Tuan". Namun, dalam perkembangannya, "Tuan" menjadi "Tuhan". Lalu "tuan" menjadi insani, dan "Tuhan" memiliki makna ilahi.
Meski demikian, pada hakikatnya, secara maknawi dua kata itu ("tuan" dan "Tuhan") memiliki kesamaan. Baik tuan dan Tuhan memiliki wewenang untuk memerintah, serta seorang hamba diwajibkan patuh pada tuannya dan Tuhannya. Â
Syahdan, ketika seorang tuan memerintahkan pembantunya, mau tak mau si pembantu (baca: hamba) wajib mematuhi perintah.
Kita melihat Maryam yang berjilbab mengantar tuannya yang ingin misa ke gereja. Tentu perasaan Maryam berkecamuk ketika mendengar titah itu. Dia seorang Muslim, berjilbab, tapi tuannya sudah menjatuhkan titahnya. Ia hanya bisa patuh. Lain tidak.
Ketika Tuan dan Tuhan Dipertentangkan
Di sini, yang menarik, tuan dan Tuhan dipertentangkan dengan bahasa gambar dan simbol yang asyik.
Kita melihat, Maryam yang canggung minta izin dengan gugup pada polisi yang menjaga gereja. Atau, kita juga melihat pandangan penuh tanda tanya orang-orang di gereja melihat wanita berjilbab di gereja.
Sebetulnya, mudah saja bagi Maryam untuk melepas jilbabnya sebentar dan berbaur dengan cair. Tapi itu tak dilakukannya. Ia memiliki kepatuhan paripurna soal jilbab sesuai hukum agama yang dianutnya. Yang dilakukannya adalah hal cerdas. Ia mengubah tatanan jilbabnya. Di sini ia sukses bersiasat, bagaimana perintah "tuan" tidak lantas mengingkari perintah "Tuhan." Â
Tengok juga pilihan nama Sidi Saleh untuk tokoh kita, Maryam. Ada satu kesempatan, Maryam duduk menemani tuannya berdoa di hadapan patung Bunda Maria. Baik Maryam dan Maria adalah sebutan bagi perempuan yang sama, Ibunda Yesus (dalam Nasrani) atau Nabi Isa (Islam).
Mungkin Sidi hendak mengkontraskan hubungan dua agama yang sebetulnya dekat itu. Di lain pihak, dua agama ini berakar pada tradisi yang sama (agama Abrahamaic/agama Ibrahim), tapi di sisi lain, umatnya tampak terasa jauh dan berjarak. Â
Lewat film ini, sebetulnya tak banyak yang Sidi bisa sampaikan selain menyuguhkan sebuah fenomena yang mungkin sekali terjadi di tengah masyarakat kita. Tema kisahnya juga pernah disuguhkan Hanung Bramantyo lewat segmen di film (?) Tanda Tanya (2012). Yang sudah nonton tentu ingat ketika seorang tokohnya (diperankan Agus Kuncoro), seorang Muslim, harus menjadi Yesus saat perayaan Paskah di gereja.
Yang disuguhkan Hanung penuh dramatisasi. Sidi melangkah lebih baik. Ia tak mendramatisir, gayanya lebih subtil. Apa yang disuguhkannya terasa lebih menohok penontonnya. Untuk itu, ia memang pantas menjadi pemenang di ajang festival bergengsi semacamm Festival Film Venesia.
Advertisement
Seperti Apa Gaya Sidi Saleh?
Satu hal yang mencengangkan bagi saya adalah apa yang dikatakan Sidi Saleh di antara bincang-bincang kami selama pertemuan di festival Balinale 2014 yang ditutup Sabtu (18/10/2014) malam kemarin. Ketika saya menyebut nama Edwin sebagai sutradara Indonesia potensial yang asyik bergelut di film-film yang sekiranya hanya ditonton sedikit orang, Sidi dengan malu-malu mengatakan hampir semua film Edwin, dari awal film pendek Edwin hingga `Postcards from the Zoo` adalah hasil mata kameranya.
Ia kemudian bilang, "Tapi film gue beda banget sama film Edwin." Sidi Saleh bilang, butuh waktu lama baginya untuk menghilangkan gaya Edwin dan memiliki gaya penyutradaraan sendiri.
Seperti apa gaya Sidi Saleh?
Bila `Maryam` yang berdurasi hanya 18 menit ini kemudian menjadi rujukan, Sidi adalah sutradara yang mampu bercerita dengan lancar. Ia mampu mengisahkan film dengan efektif. Bahasa film yang dipilihnya pun komunikatif. Sidi lancar menyuguhkan simbol-simbol dalam bahasa visualnya. Simbol itu pun dengan mudah bisa diterima bahkan oleh penonton paling awam sekalipun.  Â
Ini modal bagus bagi Sidi untuk diterima di kalangan yang lebih luas. Setelah `Maryam`, kita patut menunggu karya film panjangnya. (Ade)