Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: Esai film ini mungkin akan lebih nikmat dibaca bila sudah menonton film Interstellar. Sebab, elemen kunci dalam film didiskusikan di tulisan ini.
Sering dikatakan, di jagat raya yang maha luas ini, kita—manusia—tak ubahnya sebutir pasir di pantai. Kita rentan terhempas ombak, tanpa ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya. Jagat raya tak peduli pada kita. Jagat raya adalah sebuah tempat yang "maha luas, dingin, tak berjiwa," tulis majalah Time edisi 10 November 2014 saat mengulas film ini, Interstellar.
Baca Juga
Namun, sejak dahulu, manusia selalu bertanya-tanya tentang eksistensinya di jagat raya. Menatap langit, manusia mengajukan pertanyaan eksistensial semacam, bagaimana alam semesta diciptakan? Kapan alam semesta diciptakan? Bagaimana kita terlahir di alam semesta? Untuk apa kita ada di alam semesta ini? Hingga, bagaimana alam semesta berakhir?
Advertisement
Pertanyaan macam di atas sebetulnya sudah tuntas bila manusia menengok pada agama. Agama memiliki jawaban atas semuanya. Namun selalu ada yang tak puas dengan jawaban yang disediakan agama. Mereka beralih ke sains.
Sains menyediakan cabangnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu sambil menunjukkan bukti empiris—sebagai ciri mutlak sains yang membedakannya dengan agama yang mendasarkan pada keimanan—lewat apa yang kini disebut kosmologi, cabang sains yang mempelajari alam semesta.
Interstellar, sebuah maha karya dari Christopher Nolan, mengajak kita bertamasya di jagat raya yang maha luas ini. Nolan tak ingin manusia hanya menjadi sebuah pasir yang tak berdaya di tengah pantai. Saat ombak hendak menerjang, pasir ini, yakni kita, manusia, berupaya bergerak menghindar. Lewat film ini, Nolan berandai-andai, manusia tak sepatutnya menyerah pada alam semesta yang maha luas, dingin dan tak berjiwa itu.
***
Syahdan, masa depan yang dibayangkan Christopher Nolan di Interstellar adalah masa depan yang jarang kita temukan di film fiksi ilmiah futuristik. Di masa depan versi Nolan, manusia justru memutuskan untuk kembali menjalani hidup seperti orang di masa lalu. Saat Bumi yang ditinggali sekarat, manusia kembali ke alam, bertani, bukannya mencipta mobil terbang atau gedung pencakar langit canggih yang menjulang.
Sejatinya, ini petunjuk pertama bagi penonton kalau Nolan hendak mengajak kita bermain-main dengan ruang dan waktu. Di Interstellar, ruang dan waktu berjalan relatif. Kadang bergerak maju seperti yang kita alami, berjalan beriringan dengan kecepatan berbeda, atau juga memutar.
Premis film ini sederhana. Saat manusia di Bumi sekarat akibat badai debu yang bisa sewaktu-sewaktu datang, mematikan hasil panen, membuat manusia terancam kelaparan. Beberapa astronot--dipimpin Cooper (Matthew McConaughey) dan Amelia Brand (Anne Hathaway)—serta ilmuwan—Profesor Brand (Michael Caine) dan Jessica Chastain (Murphy)—kemudian berusaha mencari Bumi pengganti di jagat raya.
Tema mencari tempat tinggal pengganti Bumi yang tak lagi layak huni atau terancam hancur bukan sekali ini difilmkan. Jika Anda ingat, film animasi Pixar, Wall-E (sutr. Andrew Stanton, 2008), membayangkan manusia meninggalkan Bumi untuk tinggal di pesawat luar angkasa raksasa; sedang Knowing (sutr. Alex Proyas, 2009) yang dibintangi Nicolas Cage, membayangkan Bumi terancam badai Matahari.
Di Knowing, manusia-manusia terpilih kemudian diselamatkan oleh makhluk luar angkasa untuk tinggal di planet pengganti Bumi. Sedang Wall-E mengakhiri filmnya dengan manusia kembali ke Bumi, membangun Bumi lagi yang sudah rusak dan kotor oleh polusi dan sampah.
Baik Knowing dan Wall-E sejatinya punya pesan begini, sebagai makhluk hidup manusia tak ingin punah. Kita, manusia, diberi anugerah berupa akal dan indera untuk bertahan hidup. Kita mencari jalan dan solusi.
Begitu juga pesan Interstellar.
Interstellar membawa kita pada kisah manusia bertahan hidup pada tingkat kosmis. Yang harus kita pahami dahulu, alam semesta ini tercipta miliaran tahun lalu (ada yang menyebut sekitar 13 miliar tahun yang lalu) menghasilkan kita sebagai sebutir pasir di dalamnya. Alam semesta tercipta dengan keteraturan yang ajeg. Hingga sebuah perubahan kecil saja tentu akan melahirkan alam semesta yang berbeda, mungkin tanpa kita di dalamnya.
Sejatinya pula, alam semesta tak peduli pada kita. Komet atau asteroid yang menabrak Bumi sekira 65 juta tahun lalu membuat dinosaurus punah. Tapi dari situ Bumi tak jadi dikuasai kadal-kadal raksasa berlama-lama hingga sekarang. Konon, lima miliar tahun lagi, Matahari akan kehabisan bahan bakar nuklirnya. Matahari akan mengkerut, menelan benda-benda di sekitarnya, termasuk Bumi tempat kita tinggal. Lima miliar tahun lagi masihkah ada peradaban manusia di Bumi? Kita tak tahu. Yang jelas, apa yang diramalkan sains tersebut membuktikan ketidakpedulian alam semesta. Saat Matahari mengkerut, ia tak peduli manusia masih tinggal di Bumi atau tidak.
Pada titik ini kemudian Interstellar sebaiknya kita dudukkan.
Sebagaimana dikisahkan di atas, di Interstellar, Bumi sekarat. Dengan indera dan akalnya manusia melakukan perjalanan dalam skala kosmis mencari planet baru melintasi bintang. Yang menarik, pada gilirannya, film ini memberi pandangan tidak mungkin mengangkut seluruh manusia di Bumi melintasi bintang.
Hal ini membawa ingatan pada Knowing saat si tokoh kita (diperankan Nicolas Cage) mengetahui pesan terakhir yang diterimanya adalah seluruh manusia, everyone else, bakal menjadi korban terpaan badai Matahari. Ia pasrah. Yang dilakukannya adalah menyerahkan putranya pada si pengirim pesan, untuk dibawa keluar Bumi, yang berarti umat manusia bisa meneruskan kehidupan damai di planet lain. Si tokoh kita di Knowing kemudian bersatu dengan keluarganya, berkumpul dengan orang-orang tersayang. Sambil memeluk ia menerima ketetapan alam semesta.
***
Interstellar kerap disamakan dengan 2001: A Space Odyssey (1968), mahakarya Stanley Kubrick yang juga berkisah tentang perjalanan manusia melintasi bintang dalam skala kosmis. (Omong-omong, terlihat betul Interstellar sebentuk penghormatan Nolan bagi Kubrick. Tengok saja pesawat ruang angkasa di Interstellar, mengingatkan kita pada 2001.)
Namun ya itu tadi, Interstellar sebetulnya lebih dekat dengan Knowing. Dalam 2001, terutama di bagian akhirnya, manusia menyerahkan diri pada alam semesta dengan ketetapan kosmisnya. Di 2001, kita melihat sang astronaut sendirian dalam ruang waktu yang tak lagi beracuan. Namun di situ pula ia menemukan diri dan ruang-waktunya. Diri yang menua dalam waktu yang berbalik ke sebuah ruang abad lampau, tetapi dalam waktu yang kenyataannya tidak pernah mungkin kembali utuh. Kita melihat sang astronaut menua dalam waktu, namun dalam ruang mewujud menjadi janin.
Di Interstellar, perjalanan melintasi ruang dan waktu juga menjadi bagian penting di akhir film ini. Tokoh kita, si astronaut Cooper, terjebak dalam ruang dan waktu yang tak lagi ajeg. Ia melayang-layang dalam dimensi kelima.
Namun, tak seperti di 2001 di mana manusia berserah diri pada ketetapan Kosmos (dengan K besar), Interstellar seolah hendak menunjukkan kedigdayaan manusia—dengan perangkat hidup dan akalnya—untuk menentang ketetapan Kosmos sedemikian rupa demi bertahan hidup.
Dengan demikian, Christopher Nolan sejak awal memang tak hendak menyuguhkan film gelap tentang manusia yang menyerah pada alam semesta. Film ini justru memberi kita harapan. Dan, menurut saya, terkadang demikianlah peran sebuah film atau karya fiksi pada umumnya. Ketika sains atau fakta ilmiah tak menyediakan kita harapan, film menyediakannya. Alam semesta memang dingin, tak berjiwa, dan tak peduli pada kita. Namun kita, manusia, mungkin masih punya harapan bertahan hidup. Setidaknya dalam film. *** (Ade)
Baca juga: