Liputan6.com, Jakarta Kota dan film pendek. Ketika dua makhluk ini bertemu, ternyata menghasilkan sesuatu yang indah. Hal ini sudah terbukti dalam tiga film omnibus (kumpulan film pendek) tentang kota. Pertama kita disuguhi Paris, Je T’aime (2006), lalu New York, I Love You (2009), dan sekarang Rio, I Love You.Â
Rencananya, bakal ada lima omnibus dalam seri `Cities of Love` ini. Setelah Paris, New York, dan Rio bakal dibuat juga Jerusalem dan Shanghai.
Rio, I Love You menjadi film ketiga yang tampaknya mengambil format yang sudah ditemukan sejak film kedua yang bertema kota New York. Jika Paris, Je T`aime berdiri sendiri sebagai kumpulan film pendek, New York, I Love You bermaksud mengkamuflasenya seakan setiap cerita bisa saling `bersentuhan`. Pemeran di satu cerita bisa muncul sebentar di cerita lain.
Advertisement
Rio, I Love You pun demikian. Konsepnya masih sama. Film ini terdiri dari 10 cerita pendek yang disutradarai sineas berbeda dengan menggabungkan tema cinta dan kota. Di antara berbagai cerita cinta yang berbeda, ada sutradara yang khusus membuat bagian jembatan cerita di awal, transisi, dan akhir.
Film ini dimulai dengan pemandangan dari udara. Kota Rio de Janeiro tampak sangat cantik dari udara. Kota itu bak perempuan seksi tengah berbaring di bawah sinar Matahari. Gunung dan bukit kota Rio seperti payudara dan pinggul seksi wanita Amerika latin yang seksi.
Dan, ah, patung besar Yesus Sang Penebus di puncak Gunung Corcovado memberi kesan religius pada Rio.
Tapi, benarkah kota Rio demikian indahnya?
Saat nonton bareng film ini dengan wartawan beberapa waktu lalu di bioskop Blitzmegaplex Grand Indonesia, Trinity, travel blogger kondang itu, menggambarkan dengan amat baik kota Rio yang pernah dikunjunginya. Ia mengalami perasaan campur aduk saat bertandang ke kota kedua terbesar di Brasil itu. Katanya, dari atas atau kejauhan Rio terlihat sangat indah, namun begitu dilihat dari dekat muncul perasaan macam-macam.
Dari dekat Rio memang tak seindah kelihatannya. Kota ini punya reputasi sebagai kota tak aman. Tingkat kejahatan terbilang tinggi. Jurang antara si kaya dan si miskin juga besar. Namun ada satu hal yang patut dicatat dari yang dikatakan Trinity tempo hari: "Di kota itu nggak ada orang jelek. Semuanya--cewek-ceweknya dan cowok-cowoknya—cantik, seksi, dan ganteng."
Rio, I Love You untungnya tak beranjak dari kenyataan di atas. Film ini berusaha dengan jujur menyuguhkan Rio apa adanya.
Setelah membuka film dengan pemandangan Rio de Janeiro dari udara, kita diajak ke darat bertemu seorang nenek tuna wisma. Ia mengoceh soal kota dan jalanan. Bertemu sang cucu, si nenek menceritakan pilihan hidupnya menggelandang.
Lalu kita bertemu pasangan turis Amerika. Suaminya yang renta cacat dan terjangkit berbagai penyakit. Berjalan pun sang suami harus dengan bantuan kursi roda. Sementara itu, istrinya yang seksi tampak setengah hati mengurus suaminya. Pada suatu kesempatan, suami mengajak istri ke sebuah pantai yang terkenal memiliki arus ombak yang membahayakan. Kita tak pernah tahu apa sang suami sengaja ingin istrinya tenggelam agar bisa menikmati hal-hal yang dilarang atau tidak.
***
Menonton kumpulan film pendek mau tak mau kita membandingkan antara satu film dengan yang lain. Pun begitu dengan Rio, I Love You ini. Sejumlah segmen tampak memukau, sedang beberapa lainnya bikin kening berkerut atau bergumam, "Ini apaan, sih? Nggak jelas."
Misalnya segmen pemahat pasir di pantai atau pelayan hotel yang ternyata drakula pemangsa cewek-cewek seksi dengan menyamar sebagai tukang pijat. Pun juga segmen yang dibesut aktor AS John Torturro. Di situ, bersama Vanessa Paradis, John Torturro memainkan drama pertengkaran sepasang kekasih di dapur. Dialog di antara keduanya seperti sebuah drama di panggung teater. Tidak banyak eksplorasi sinematis di dalamnya kecuali pameran akting John dan Vanessa.
Di antara segmen yang berkilauan, kisah tentang petinju bertangan satu dan bocah yang menunggu telepon dari Yesus adalah yang paling bersinar di antara yang lain. Kisah sang petinju seolah menggambarkan dunia bawah tanah kota Rio dengan pertandingan tinju ilegal sebagai latarnya.
Kita dibuat terharu dengan pengorbanan sang petinju demi istrinya agar bisa berjalan lagi.
Sementara itu, kisah bocah yang menunggu telepon dari Yesus menyentil pengaruh religi pada masyarakat Brasil. Sang bocah meminta pada Yesus diberikan bola bertandatangan Pele sang legenda. Aktor Harvey Keitel yang kasihan pada sang bocah berpura-pura jadi Yesus dan menelepon sang bocah. Film ini berakhir kocak.
***
Pada akhirnya film omnimbus ini adalah pameran para sutradaranya bermain-main dengan medium film pendek. Dan demikianlah memang sifat film pendek itu. Dibanding film panjang, film pendek memberi keleluasaan untuk bereksplorasi.
Kita penonton bak disuguhi sepuluh makanan khas Brasil di tepi pantai Ipanema di kota Rio sambil ditemani musik bossa nova dan melihat cewek-cewek Brasil nan seksi menari Samba, berlatar belakang gunung Sugarloaf alias bongkahan gula. Ah, nikmatnya… (Ade/Mer)
Rio, I Love You (2014)
Sutradara: Vicente Amorim (transisi), Guillermo Arriaga (segmen `Texas`), Stephan Elliott (segmen `Acho que Estou Apaixonado`), Sang-soo Im (segmen `O Vampiro do Rio`), Nadine Labaki (segmen `O Milagre`), Fernando Meirelles (segmen `A Musa`), José Padilha (segmen `Inútil Paisagem`), Carlos Saldanha (segmen `Pas de Deux`), Paolo Sorrentino (segmen `La Fortuna`), John Turturro (segmen `Quando não há Mais Amor`), Andrucha Waddington (segmen `Dona Fulana`), César Charlone (segmen `A Musa`).
Â
Â
Â