Sukses

Mockingjay Part 1: `Keeping Up with Katniss Everdeen`

Alasan komersil semata memperpanjang kisah akhir The Hunger Games: Mockingjay jadi dua film. Bagaimana Mockingjay Part I menurut kami?

Liputan6.com, Jakarta Akhirnya kita sampai di penghujung petualangan Katniss Everdeen di franchise The Hunger Games lewat episode Mockingjay Part I ini.

Jelang film Harry Potter tamat, Hollywood menemukan tambang emas novel young-adult (remaja-dewasa) Twilight untuk diadaptasi ke layar lebar. Pasca Twilight sukses, sejumlah film berjenis young-adult dibuat. Namun, tak ada yang sesukses Harry Potter maupun Twilight. Hingga akhirnya Hollywood memutuskan The Hunger Games, seri novel young-adult karya Suzanne Collins, untuk diangkat ke layar lebar pada 2011.

Hollywood bergairah. Publik mencintai novelnya, begitu juga adaptasi layar lebarnya. Maka, The Hunger Games pun mengikuti jejak Harry Potter dan Twilight.

Seharusnya, ini akan jadi pertemuan terakhir kita dengan sang jagoan di The Hunger Games, Katniss Everdeen di bioskop. Tapi tidak. Studio filmnya, Lionsgate merasa terlalu sayang bila hanya menyuguhkan satu film episode akhir The Hunger Games. Seperti Harry Potter dan Twilight yang mendapat untung berlipat setelah buku terakhir dibagi dalam dua film, pun begitu dengan franchise The Hunger Games.

Ya, tampaknya hanya alasan komersil semata memperpanjang kisah akhir The Hunger Games jadi dua film.

Dibanding Twilight, novel The Hunger Games lebih dipuji. Jika Twilight dianggap terlalu bertele-tele dalam menyajikan kisah cinta vampir dengan manusia, kisah The Hunger Games lebih seru. Cinta segitiga antara Katniss-Peeta Mallark-Gale Hawthorne tak murahan seperti cinta segitiga Bella Swan-Edward Cullen-serigala di Twilight.

The Hunger Games juga punya sub teks yang jitu. Jika ditelisik, novelnya adalah kritik sosial pada masyarakat yang menyukai tontonan kontes bakat popularitas di TV. Pertandingan hidup dan mati Hunger Games di novel dan film adalah metafora bagi acara semacam American Idol, X Factor, atau The Voice dan lain-lain.

Di acara kontes bakat, kemasan konten menjadi yang maha penting. Penonton tak peduli dengan dampak psikologis maupun latar belakang dari kontestan. Oleh karena itu, kita melihat, ketika cerita cinta Katniss dan Peeta menjadi tontonan hal tersebut bak bumbu sebuah tayangan kontes bakat untuk kian memikat penonton.     

***

Setelah episode The Hunger Games (2011) dan Catching Fire (2013), sampailah kita pada episode terakhir, Mockingjay. Ketika terbit , reaksi yang didapat Mockingjay kurang menyenangkan. Hampir semua sepakat kisah pamungkas The Hunger Games justru paling lemah di buku terakhir.

Bukunya kehilangan unsur-unsur yang membuat kita jatuh cinta pertama kali pada cerita The Hunger Games. Tidak ada lagi pertarungan hidup dan mati para remaja ataupun kisah bertahan hidup. Bagian terakhir sekadar menyuguhkan episode pemuncak konflik yang sudah berjalan.

Maka, sebetulnya, menjadi tugas terberat sineas Francis Lawrence mengadaptasi novel lemah sambil membaginya dalam dua film.

Lalu, berhasilkah sang sutradara menunaikan tugas berat itu?

Well, mau bagaimana lagi, alasan utama buku terakhir dibagi jadi dua film semata komersil agar umur franchise filmnya lebih panjang.

Di buku terakhir, Suzanne Collins tak lagi mengkritik kegandrungan kita pada kontes bakat adu popularitas. Yang dkritiknya adalah fenomena kegandrungan kita pada tontonan reality show semacam Keeping Up with Kardashians atau The Real Housewives. Tontonan macam ini menjamur sejak era 2000-an. Di dekade kemarin, seseorang bisa jadi terkenal karena keterkenalannya. Famous of being famous. Bukan lantaran ia berprestasi berkat lagunya ngetop atau filmnya laris.

Seleb semacam Paris Hilton atau Kim Kardashian ngetop utamanya karena mereka berasal dari keluarga kalangan jet set di Hollywood. Kalaupun ada prestasi, "prestasi" keduanya sama-sama kian ngetop lantaran video seks pribadi masing-masing bocor ke publik.   

Entah bagaimana, publik lantas menonton saja ketika setiap segi kehidupan Paris Hilton atau Kim Kardashian dibeberkan media. Seolah berita di situs gosip seleb atau infotainment di saluran E! dirasa belum cukup, keseharian Paris dan Kim pun jadi tontonan. Paris punya acara reality Simple Life (sudah tamat), sedang Kim punya Keeping Up with the Kardashians (masih tayang).   

Lantas, bagaimana Suzanne Collins mengkritik tontonan reality show lewat episode Mockingjay ini?

Syahdan, setelah bergabung dengan pemberontak di Distrik 13, Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), sang jawara duel maut Hunger Games, didapuk kelompok pemberontak untuk menjadi penyemangat bagi penduduk Panem agar bangkit melawan pemerintahan Capitol. Katniss diminta menjadi alat propaganda pemberontak. Caranya, ia disyut untuk film propaganda.

Namun, di film propaganda yang direncanakan, Katniss terlihat tak natural. Maka diputuskan, untuk mendapat kesan "real", syuting film sebaiknya menyorot bagaimana Katniss bertempur di medan perang. Kit lantas melihat Katniss menuju daerah konflik sambil mata kamera membuntutinya. Di sinilah episode Mockingjay kemudian lebih pas disebut "Keeping Up with Katniss Everdeen."

***     

Well, masalahnya, ketika bukunya dibagi ke dalam dua film, bagian yang seharusnya menjadi sub teks itu, yakni bagian yang memberi nilai lebih pada buku lantaran memiliki sumber intelektualitas untuk tidak disebut sebagai cerita murahan, malah terasa menonjol di film bagian pertama. Alhasil, The Hunger Games: Mockingjay Part I jadi terlihat banyak omong, membosankan, dan kurang aksi seru. Yang kita saksikan adalah sebuah film yang setengah asyik. Setengahnya lagi harus kita tunggu di bagian kedua.

Yah, mau bagaimana lagi. Sampai ketemu di episode kedua Mockingjay, Katniss Everdeen. (Ade)       

Video Terkini