Sukses

Menakar Humor dalam `Dumb and Dumber To`

Bagaimana kita menakar nilai humor di film terbaru Jim Carrey dan Jeff Daniels, Dumb and Dumber To?

Liputan6.com, Jakarta Saat menonton Dumb and Dumber To, kita niscaya akan dihadapkan pada pertanyaan: apakah filmnya lucu atau tidak? Dan juga, apa filmnya mengandung selera humor yang baik atau tidak?

Namun, sebelum menentukan apa jawaban pertanyaan di atas, yang maha penting dikaji lebih dulu adalah, apakah `humor`?
Konon, makhluk ini sangat sulit dicari defenisinya yang pas.

Di majalah Prisma edisi Januari 1996, Jaya Suprana, budayawan dan penggagas kelirumologis itu, menulis esai menguraikan berbagai upaya pencarian makna humor. Tak menemukan defenisi yang pas, ia lalu berkesimpulan, `humor` ternyata masuk kelompok fenomena misterius seperti `hidup`, `cinta`, dan `seks` yang dilindungi Tuhan agar manusia tak akan pernah mampu mengerti arti dan makna sesungguhnya.

Jika begitu adanya, bagaimana kemudian kita menakar nilai humor di film terbaru Jim Carrey dan Jeff Daniels, Dumb and Dumber To ini?

Sebelum membahas filmnya, ada baiknya kita bermain-main dengan teori humor dahulu, sebagaimana dilakukan Jaya Suprana di Prisma.

Yang jamak bagi masyarakat umum, humor terkait dengan kesan lucu, segar, menyenangkan, mengundang tawa. Namun sudah terbukti jelas, kadang realitasnya tak selalu begitu. Humor tak selalu lucu atau mengundang tawa. Plato, sang filsuf, menengarai humor sebagai sesuatu yang buruk dan destruktif, merendahkan dan merusak seni, budaya, agama, dan moral. Kata Plato dalam catatan dialognya di Phliebus, humor cuma pantas bagi orang biadab, maka harus dijauhi oleh orang beradab!

Plato mengesankan humor sebagai bagian dari nafsu rendah manusia. Saat ber-humor, manusia tidak sedang serius. Padahal kehidupan harus dijalani dengan serius. Blaise Pascal menyebut humor adalah sesuatu yang memberi ketidak-sesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dilihat atau didengar. Kesenjangan makna das sein dengan das sollen. Immanuel Kant sependapat secara implisit sambil mengatakan humor adalah sesuatu yang merangsang perubahan mendadak dari suatu rasa penuh harapan menjadi nihil.

Pakar psikoanalisis Sigmund Freud suatu kali juga menyerempet sedikit soal humor dalam kajiannya. Freud memandang humor dalam aspek sosiologis, di mana ia menyebut humor adalah suatu gejala sosial dan kejiwaan yang dapat dimiliki dan dinikmati bersama.

Nah, marilah beberapa definisi humor di atas menjadi pijakan kita dalam memahami humor di film Dumb and Dumber To ini.

***

Bagi banyak orang yang tumbuh di era 1990-an, Dumb and Dumber (rilis 1994) adalah salah satu film yang menjadi penanda era itu. Tahun itu, dunia sedang punya idola baru: Jim Carrey, bintang komedi yang dijuluki si muka karet. Selain Dumb and Dumber, tahun itu Carrey punya dua film hit lagi yang kini juga layak disebut klasik, Ace Ventura: Pet Detective dan The Mask. Tiga film itu menjadi roket yang membawa karier Carrey ke puncak popularitas di era 1990-an.

Dumb and Dumber juga menjadi debut penyutradaraan kakak-beradik Farrelly. Filmnya dulu tak hanya sukses mengocok perut penonton lewat aksi konyol Harry (Jeff Daniels) dan Lloyd (Jim Carrey), tapi juga disukai kritikus. Lelucon konyol slapstick ala Three Stooges rupanya cocok juga dengan selera kritikus film.

Nah, tahun 2003, di tengah demam prekuel alias menceritakan asal-muasal kisah sedang melanda Hollywood, dibuatlah Dumb and Dumberer: When Harry Met Lloyd. Niatannya sih baik, hendak mengenalkan pada kita bagaimana awal mula persahabatan Harry dan Lloyd di masa muda. Namun, rupanya, penonton bukan mencintai karakter Harry dan Lloyd, melainkan pada Jim Carrey dan Jeff Daniels yang tak tergantikan. Film prekuel ini dianggap gagal. Lelucon yang disuguhkan sutradara Troy Miller dianggap agak memaksa.

Maka, dua puluh tahun kemudian, kita pun bertemu lagi dengan Jim Carrey dan Jeff Daniels. Farrelly Bersaudara kembali didapuk menyutradarai.

Dumb and Dumber To mengisahkan Lloyd menderita gangguan jiwa akibat cintanya ditolak. Ia tak bisa jalan. Tinggal di kursi roda dengan janggut dan rambut lebat dibiarkan tumbuh. Sahabatnya, Harry setiap minggu menjenguknya selama 20 tahun sambil merawatnya.

Tak tahunya, Lloyd hanya pura-pura selama 20 tahun. Kemudian ketahuan juga Harry membutuhkan donor ginjal. Ia mendapati pernah punya anak haram dengan teman perempuannya, Fraida (Kathleen Turner).

Dari situ petualangan baru Lloyd dan Harry dimulai. Mereka mencari anak haram Harry.

Lloyd dan Harry berhasil bertemu anak yang sudah tumbuh jadi wanita jelita itu. Namun bukan itu yang penting. Bahkan bila ditelisik, cerita film ini sungguh tak penting. Filmnya punya kelokan alias twist konyol yang makin mengkerdilkan nilai ceritanya. Meminjam ungkapan kritikus film mendiang Roger Ebert, Dumb and Dumber To layak masuk kategori film yang ceritanya jadi tak penting lagi. "It’s all storytelling and no story," demikian mantra Ebert. Sebuah film bisa tak punya cerita yang penting, namun tetap masih bisa dinikmati.

Yang dijual Dumb and Dumber To adalah humor demi humor yang tersaji ke hadapan penonton. Saya membayangkan, ketika rapat, tim penulis naskahnya kelihatannya lebih sibuk mengisi lelucon apa lagi yang bakal dimasukkan ke dalam film.


***

Syahdan, kita disuguhi lelucon yang bertubi-tubi di layar. Kita melihat Lloyd dan Harry, misalnya, tak mengerti bagaimana membaca amplop surat hingga alih-alih datang ke alamat yang dituju, malah mencari alamat pengirim. Tapi kita juga melihat bagaimana Lloyd menertawai orangtua Harry yang beretnis Tionghoa atau juga saat mereka mengerjai pria buta. Atau tengok juga betapa dua pria ini begitu merendahkan perempuan.

Bagi sebagian orang humor yang tersaji di Dumb and Dumber To bisa dikategorikan sangat kasar, mengganggu alih-alih mengundang tawa. Pada titik ini, humor dipakai sebagaimana dirumuskan Plato yakni sebagai perwujudan selera rendah kita.

Lantas, bila kita kemudian tertawa oleh humor berselera rendah yang disajikan Farrelly Bersaudara di film ini, apa kemudian kita juga berselera rendah?

Di sini, sebetulnya, film ini menemukan signifikansinya. Dumb and Dumber To sejatinya hendak mengukur toleransi kita, sampai batas mana sebuah humor dianggap mengganggu dan tak lucu lagi. Humor di film ini bukanlah humor yang bersifat universal. Dan mungkin humor memang tak pernah bersifat universal.

Humor pun tak pernah bebas nilai sebagaimana diisyaratkan Freud di awal tulisan ini. Kalau kita tertawa, memang hal itu lucu menurut standar sosial kita. Kemudian, haruskah kita merasa bersalah bila ikut tertawa? Warkop DKI sudah memberi petunjuk pada kita, “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.” (Ade/Fir)

Video Terkini