Liputan6.com, Jakarta Dari berbagai kabar yang bersliweran di media sosial (entah Facebook atau Twitter), penyelenggaraan Festival Film Indonesia 2014 terbilang kacau. Bahkan sekelompok pewarta memboikot acara FFI 2014. Namun di luar hal itu, produk yang dihasilkan FFI 2014 terbilang menjanjikan.
FFI 2014 menandai kembalinya Riri Riza ke penyelenggaraan festival film tertua di negeri ini. Sejak 2006, Riri Riza tak ikut serta dalam penyelenggaraan FFI. Waktu itu, Riri bersama insan film lain memprotes juri FFI yang memenangkan Ekskul berikut sutradaranya, Nayato Fionuala masing-masing meraih gelar Film Terbaik dan Sutradara Terbaik.
Riri bersama 23 sineas lain kemudian menyerahkan piala Citra yang pernah mereka dapat dari penyelenggaraan FFI tahun-tahun sebelumnya. Para pekerja film ini juga kemudian membentuk perkumpulan Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang tujuannya membangun iklimperfilman yang lebih kondusif di Tanah Air. Seiring waktu, sejumlah pekerja film yang memboikot FFI sudah kembali berkompetisi di ajang itu. Tapi tidak Riri Riza.
Baru tahun ini Riri mengakhiri boikotnya. Filmnya, Sokola Rimba ia daftarkan ke FFI tahun ini.
Advertisement
Dari uraian Riri Riza ke media, alasan ia kembali ke pangkuan FFI lantaran sistem penjurian sudah menemukan bentuknya yang ideal menurutnya.       Â
Riri Riza dan Mira Lesmana sebelumnya menolak ikut FFI sejak 2006.
Riri Riza pun pulang dari Palembang, Sumatera Selatan--tempat penyelenggaraan malam puncak FFI berlangsung tahun ini--tidak dengan tangan hampa. Ia meraih gelar Penulis Skenario Adaptasi Terbaik lewat film Sokola Rimba.
Namun, bukan hanya kembalinya Riri Riza yang membuat FFI tahun ini terasa berarti. Melihat daftar pemenang FFI tahun ini, kita melihat wajah masa depan sinema Indonesia.
Arti Kemenangan Chicco Jericho & Tika Bravani
Arti Kemenangan Chicco Jericho dan Tika Bravani
Sungguh menyenangkan juri-juri FFI tahun ini memberi penghargaan pada nama-nama yang terbilang baru, bukan wajah-wajah lama yang bikin penonton film Indonesia bergumam, "Dia lagi-dia lagi."
Dari kategori aktor dan aktris, meski gelar Aktris Terbaik jatuh ke tangan aktris kawakan Dewi Irawan (yang memang bremain bagus sekali di Tabula Rasa), tapi nama Chicco Jericho dan Tika Bravani sebagai pemenang Aktor Terbaik dan Aktris Pendukung Terbaik adalah sebuah kabar bahagia.
Tika pernah masuk unggulan FFI tahun 2010 silam lewat Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Piala Citra yang akhirnya tahun ini ia raih adalah buah konsistensi, kerja keras, dan penantiannya.
Sedang kemenangan di FFI bagi Chicco Jericho adalah pembuktian bahwa ia kini sudah naik kelas sebagai Aktor film dengan A besar. Ia bukan lagi Chicco yang kita lihat main sinetron dengan mantan kekasihnya, Laudya Cintya Bella.  Â
Adegan film Tabula Rasa
Advertisement
Kemenangan Generasi Ketiga Sineas Indonesia
Kemenangan Generasi Ketiga Sineas Indonesia
Lalu, mari kita lihat pemenang kategori film bioskop. Sungguh sebuah kejutan yang manis bahwa yang meraih gelar film terbaik adalah film-film yang tidak disutradarai nama-nama lawas seperti Rako Prijanto, Hanung Bramantyo, Lasja F. Susatyo, maupun Riri Riza. Kebanyakan nama itu adalah angkatan pertama dan kedua dari sinema Indonesia pasca 1998.
Juri FFI rupanya lebih memilih film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko, Cahaya dari Timur: Beta Maluku, sebagai Film Terbaik. Angga, usianya baru 29 tahun, bolehlah dibilang angkatan ketiga sineas kita pasca 1998. Ia sudah membuat lima film sejak 2006 (Selain Cahaya, Angga membuat Foto, Kotak, dan Jendela, Jelangkung 3, Musik Hati, dan Hari Untuk Amanda). Namun, film-filmnya tak pernah begitu menyita perhatian, dalam arti hasilnya biasa-biasa saja.
Semua film yang dibuat Angga Dwimas Sasongko bukan film jelek. Namun, memang tak ada yang menjadi box office. Senang akhirnya konsistensi Angga tak kunjung membuat film jelek mendapat penghargaan.
Adegan film Selamat Pagi, Malam.
Di lain pihak, di deretan daftar Sutradara Terbaik, senang melihat nama-nama lawas seperti Rako Prijanto, Hanung Bramantyo, dan Riri Riza bersaing dengan Lucky Kuswandi dan Adriyanto Dewo. Lebih senang lagi yang menang kemudian Adriyanto Dewo (lewat filmnya Tabula Rasa). Adriyanto berumur 30 tahun, hanya selisih satu tahun dengan Angga.      Â
Adriyanto, Angga, dan juga Lucky adalah wajah baru masa depan sinema kita. Di pundak mereka kelak sinema kita dibebankan. Sepanjang tahun ini mereka sudah memberi karya-karya terbaik. Lucky dengan Selamat Pagi, Malam; Angga dengan Cahaya Dari Timur: Beta Maluku; dan Adriyanto dengan Tabula Rasa.
Kita berharap penghargaan yang diberikan FFI pada Adriyanto, Angga, ataupun Lucky, akan memacu mereka membuat film lebih baik dari yang sudah mereka buat tahun ini. Jika demikian adanya, sinema kita di masa depan dijamin bakal lebih cerah. Semoga saja. (Ade)