Sukses

Wartawan Kami Sudah Nonton `The Interview`, Begini Katanya

The Interview, film kontroversial memicu studio dibobol hacker, rilis di Amerika Serikat tepat hari Natal. Seperti apa ceritanya?

Liputan6.com, Jakarta Menembus hujan selepas Magrib pada Jumat (26/12/2014) malam, saya berangkat ke sebuah mal yang berjarak tiga kilometer dari rumah di Tangerang, Banten. Tujuannya satu: mencari keping DVD bajakan film `The Interview`. 
 
Sesuai rencana awal, The Interview, film kontroversial yang ditengarai memicu studio Sony Pictures dibobol hacker, rilis di bioskop Amerika Serikat tepat hari Natal kemarin. Yang tak sesuai rencana, `The Interview` hanya rilis terbatas di ratusan jaringan bioskop independen. 
 
Filmnya juga bisa ditonton online via Youtube, toko video Xbox, Google Play, serta laman khusus milik Sony Pictures bernama SeeTheInterview.com.
 
Tidak hanya cara legal di atas, `The Interview` juga jadi tontonan ilegal paling hot. Menurut CNN, pada hari Natal kemarin, The Interview diunduh secara ilegal via BitTorrent sebanyak 750 ribu kali. Saya menduga, tak butuh waktu lama, kepingan DVD bajakannya pasti sudah sampai ke tanah air. 
 
Benar saja. Jumat malam kemarin saya mendapatkan kepingan DVD The Interview. Saya segera menontonnya. Dan ini adalah catatan saya tentang `The Interview`. 
 
2 dari 5 halaman

Hollywood Biasa Jelekkan Negara Lain

Cerita `The Interview`
 
`The Interview` dibuka dengan seorang anak kecil di Korea Utara bernyanyi di depan khalayak ramai. Nyanyian syahdu yang lembut liriknya ternyata berisi hujatan buat Amerika Serikat. Sejurus kemudian di latar belakang asap mengepul. Sebuah roket melucur ke angkasa. Ternyata hari itu Korea Utara tengah melakukan uji coba rudal nuklir yang jarak tempuhnya dikatakan bisa mencapai pantai barat AS. 
 
Kemudian kita dikenalkan pada tokoh utama film ini: Dave Skylark (James Franco) dan Aaron Rapaport (Seth Rogen). Dave adalah host acara talk show Skylark Tonight, sedang Aaron produser acara tersebut. 
 
Skylark Tonight adalah acara bincang-bincang ringan yang tamunya kebanyakan seleb. Acara itu mengejar sensasi, tempat pengakuan artis. (Anda bakal tertawa melihat cameo-cameo bintang tenar di sini beserta pengakuan mereka.)
 
Pada sebuah kesempatan, Aaron bertemu bekas teman kuliahnya. Sang kawan ini sudah jadi produser senior acara 60 Minutes, program berita serius. Aaron yang hanya produser acara bincang-bincang ringan merasa dilecehkan. Ia bertekad acaranya juga bisa serius. 
 
Dave kemudian puny ide. Dari sebuah artikel, ia mendapati pemimpin tertinggi Korea Utara saat ini, Kim Jong-un penggemar berat talk show Skylark Tonight. Maka, kenapa tak mencoba meminta Kim sebagai bintang tamu? Dengan begitu talk show-nya bakal mencetak sejarah dan dianggap acara serius. 
 
Tak sulit. Pihak Kim Jong-un ternyata menerima tawaran wawancara. Di sini kemudian CIA masuk. CIA menugaskan Dave dan Aaron membunuh Kim Jong-un (di film diperankan Randall Park). 
3 dari 5 halaman

Penggambaran Kim Jong-un di `The Interview`

 
Hollywood Biasa Jelekkan Negara Lain
 
Demikian inti cerita `The Interview` yang disutradarai Seth Rogen bareng Evan Goldberg. Pertanyaannya kemudian, di mana bagian yang bikin Korea Utara tersulut hingga ditengarai mengutus peretas membobol sistem komputer Sony Pictures? 
 
Hm, sebelum menjawabnya, sebaiknya kita harus pahami dulu kenapa Hollywood menjadikan Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara, sebagai sasaran tembaknya. 
 
Anda tentu mafhum, film—apapun itu; dari Hollywood atau bukan—tak pernah bebas nilai. Ada ideologi yang melekat dengan sebuah film. Film Hollywood, tentu saja, selain diniatkan untuk menghibur dan meraup untung sebanyak-banyaknya, juga punya ideologi yang dibawa serta. Nilai-nilai Amerika: individualisme, kebebasan berbicara, demokrasi, atau pro kapitalisme, biasanya tersirat dalam film-film Hollywood. 
 
Film Hollywood juga kerap menggagungkan Amerika sambil merendahkan bangsa lain. Anda mungkin ingat, meski kalah di Perang Vietnam, tapi lewat film Hollywood, macam Rambo dan yang lain-lain, Amerika keluar sebagai pemenang yang berhasil mempecundangi tentara Vietnam.
 
Lantas, musuh Hollywood juga sejalan dengan musuh AS di dunia nyata. Jika di tahun 1980-an Amerika ingin menghapus mimpi buruk kalah perang dari Vietnam dengan membuat film-film perang di mana mereka yang jadi pemenang, pasca 9/11 (nine/eleven) atau tragedi 11 September 2001, Islam radikal atau teroris Muslim kerap jadi musuh di film-film Hollywood. Paling anyar dan jadi unggulan Oscar, Hollywood khusus membuat film tentang keberhasilan membunuh Osama Bin Laden, pemimpin Al Qaeda lewat `Zero Dark Thirty` (2012).
 
Anda juga mungkin tahu, pada 2002, presiden AS kala itu, George W. Bush, mengatakan di depan parlemen, tiga negara musuh utama AS yang disebutnya sebagai “axis of evil” alias poros setan: Irak, Iran, dan Korea Utara. Irak waktu itu masih dipimpin Saddam Hussein. Tak berapa lama, Irak diinvasi AS. Iran dan Korea Utara masih berdiri hingga kini. 
 
Hollywood, lewat tangan Ben Affleck, membuat film berlatar Iran, `Argo` (2012) yang meraih Oscar. Kini giliran Korea Utara yang disasar lewat `The Interview`. Berbeda dengan `Zero Dark Thirty` atau `Argo` yang mengambil narasi drama-thriller serius, `The Interview` mengambil jalan aksi-komedi konyol. Jika Anda ingat, di awal 1990-an, Hollywood merilis `Hot Shots! Part Deux` (sutradara: Jim Abrahams, 1993). Film tersebut adalah komedi yang memparodikan film-film box office era itu (semacam Scary Movie atau Meet the Spartans di masa sekarang). Kisahnya mengambil latar belakang tokoh mirip Rambo (diperankan Charlie Sheen) dalam misi membunuh Presiden Irak Saddam Hussein.
 
4 dari 5 halaman

Hollywood Setelah `The Interview`

 Penggambaran Kim Jong-un di `The Interview`
 
Well, `The Interview` tak sekonyol film `Hot Shots`. Pada satu sisi `The Interview` mengingatkan saya pada film Ben Stiller yang mengolok-olok Hollywood, `Tropic Thunder` (2008). Filmnya serius tapi konyol atau konyol tapi serius. Cerita di `The Interview` dibangun lewat narasi yang serius. Kekonyolan hadir lewat polah karakter-karakternya yang bertingkah konyol. 
 
Dari sini kita kemudian kembali pada pertanyaan utama: bagaimana pemimpin Korea Utara, Kom Jong-un digambarkan dalam `The interview`? 
 
 
Bagi Korea Utara yang totaliter, Kim Jong-un bukan sekadar pempimpin pemerintahan. Ia dipuja bak dewa. Di film ini muncul mitos, lantaran didewakan, Kim tidak pernah menangis bahkan tak kentut dan buang air besar karena tak punya lubang anus. Digambarkan juga, di tengah kemelaratan dan rakyatnya yang kelaparan, Kim hidup hedonis, mengoleksi belasan mobil dan berpesta dengan para pelacur. 
 
Di saat bersamaan, kita juga diperlihatkan Kim Jong-un sebagai pribadi yang rapuh. Penggemar musik Katy Perry ini seorang ego maniak yang diremehkan mendiang ayahnya dan ingin menunjukkan pada dunia betapa berkuasanya dia, tak peduli bila dunia harus hancur dilebur bom nuklir. 
 
Di ujung film, sebagaimana sudah banyak diketahui, Kim Jong-un terbunuh. Korea Utara kemudian menjadi negara demokratis. Orang Amerika dan Korea Utara bisa mengobrol bebas via Internet.
 
 Hollywood Setelah `The Interview`
5 dari 5 halaman

 
Hm, mari dudukkan filmnya seperti ini: andai misalnya Hollywood mengolok-olok Sukarno yang begitu kita cintai, saya yakin, seluruh masyarakat Indonesia bakal marah. Film tersebut bakal diboikot. Kedubes AS bakal didemo. Hacker kita mungkin juga bakal menyerang studio film pembuatnya. 
 
Di balik prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi, Hollywood boleh berdalih mereka bebas mennyatakan apa yang mereka ingin sampaikan lewat film. Termasuk mengolok-olok pempimpin negara lain. Hal itu sudah mereka lakukan puluhan tahun. Tapi, pernahkah Hollywood mempertimbangkan perasaan pempimpin atau rakyat negara lain yang simbol kenegaraannya dihinakan? 
 
Bagi saya, segala hiruk pikuk peretasan Sony Pictures ini membawa satu pesan untuk pabrik film terbesar di dunia itu: mereka tak bisa seenaknya merasa jadi negara adi daya. 
 
Sebetulnya, kian hari, Hollywood sepatutnya sadar bahwa pasar terbesar film mereka bukan lagi semata tanah Abang Sam. Tiongkok, kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia saat ini, dengan jumlah penduduk 1,3 miliar lebih, adalah contoh bagaimana Hollywood takluk. Sebagai pasar potensial Hollywood membuat film yang ramah bagi Tiongkok (`Transformers: Age of Extinction` dipaksa mengasting bintang Tiongkok dan syuting di sana). 
 
Lantas, apa `The Interview` bakal menjadi film terakhir yang mengolok-olok pempimpin negara lain? Mungkin tidak. Di masa depan, Hollywood yang merasa diri seorang pem-bully tambun, yang hanya berani pada bocah bertubuh kecil, akan menargetkan sasarannya pada negara kecil lain yang dianggapnya bandel. Kita tinggal lihat saja reaksi negara tersebut. Sejarah mungkin sekali bakal terulang.*** (Ade)