Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: SPOILER ALERT! Ulasan ini membincangkan inti cerita Tomorrowland.
"Imagination is more important than knowledge,"
--Albert Einstein--
Advertisement
Anda mungkin pernah mendengar film berjudul 2001: Space Odyssey. Film itu karya masterpiece mendiang Stanley Kubrick tentang perjalanan ruang angkasa melintasi ruang dan waktu. Filmnya rilis 1968. Di film itu, Kubrick dan penulis fiksi ilmiah Arthur C. Clarke membayangkan di tahun 2001, orang sudah jamak melakukan perjalanan luar angkasa melintasi planet, seperti bepergian dari satu negara ke negara lain.
Masalahnya kemudian, kenapa ketika tahun 2001 datang kita belum melakukan apa yang dibayangkan film 2001: Space Odyssey?
Jawabannya bisa Anda temukan di film lain yang kini tayang di bioskop, Tomorrowland.
Baca juga: Trailer ke-3 Tomorrowland Buktikan Filmnya Layak Ditunggu
Tapi sebelum ke situ, ada baiknya kita cari tahu dulu kenapa di tahun 1968 orang sudah membayangkan pada tahun 2001 peradaban manusia sudah sedemikian maju dan perjalanan luar angkasa antar planet terasa biasa.
Di film 2001: Space Odyssey pula, selain perjalanan antar planet, Kubrick dan Clarke juga membayangkan komputer super bernama HAL 9000 yang tak hanya cerdas, bisa diajak bicara, tapi juga bisa berpikir dan bahkan menolak perintah tuannya ("I’m sorry, Dave. I’m afraid I can’t do that…"). Tapi nyatanya, komputer paling cerdas masa sekarang pun belum bisa memiliki kecerdasan artifisial seperti HAL 9000.
Selain 2001: Space Odyssey, ada film lain berjudul Metropolis karya master sinema Fritz Lang dari Jerman. Film rilisan tahun 1927 juga membayangkan peradaban manusia sedemikian maju pada tahun 2000. Tapi, nyatanya saat tahun yang dibayangkan Fritz Lang datang kita belum semaju itu.
Baca juga: The Imitation Game, Alan Turing & Penemuan Komputer
Ketika diwawancara majalah Newsweek edisi khusus Issues 2001, terbit akhir 2000, Clarke mengatakan, "Kami, penulis fiksi ilmiah tak pernah mencoba meramal (masa depan). Justru, yang kami lakukan kebalikannya."
Yang dikatakan Clarke mungkin semata urusan semantik, atau bisa juga semacam apologia. Yang jelas, seperti ditengarai Newsweek, meramal masa depan manusia sudah sedemikian maju pada 2001 bukan kesalahan mereka yang melakukannya di tahun 1968. Di pertengahan 1960-an, para ilmuwan komputer sudah memperkirakan dalam satu generasi setelahnya, manusia bisa menciptakan mesin yang bisa melakukan semua yang bisa dilakukan manusia.
Ditulis Newsweek, Marvin Minsky, ahli komputer dari MIT yang jadi pedoman Kubrick, mengatakan pada majalah Life di tahun 1960-an, bahwa dalam jangka beberapa tahun “kita akan punya mesin yang bisa membaca karya Shakespeare, mengendarai mobil, memainkan politik kantor, mengatakan sebuah lelucon, bisa bertengkar.” Kepada Newsweek pula, Clarke mengungkapkan, pada pertengahan 1960-an sempat ada upaya serius agar manusia menginjakkan kaki di planet Mars pada 1980-an.
Nilai Penting `Tomorrowland`
Nilai Penting `Tomorrowland`
Tomorrowland dimulai dengan seorang anak kecil tiba di acara Pameran Dunia di New York tahun 1964 ia membawa serta benda temuannya: sebuah mesin jet punggung, jetpack. Dengan bangga bocah itu, Frank Walker (ketika kecil diperankan Thomas Robinson, saat dewasa oleh George Clooney) memamerkan temuannya pada juri (Hugh Laurie, si dokter House di serial House).
Ketika ditanya apa jetpack-nya berfungsi, Frank bilang jetpack-nya tak bekerja dengan baik. Namun, ia menekankan kerja keras dan kreativitasnya tetaplah harus dihargai. Sayang, temuan Frank ditolak. Tapi seorang gadis kecil seumurannya, Athena (Raffey Cassidy) kemudian memberinya sebuah pin. Rupanya, itu bukan pin sembarangan, tapi jalan masuk ke dunia lain yang disebut Tomorrowland.
Di dunia Tomorrowland, masa depan begitu cerah. Teknologi manusia sudah demikian canggih menghasilkan peradaban berupa gedung-gedung pencakar langit yang tinggi menjulang hingga perjalanan antar planet.
Cerita film lalu bergerak ke masa kini. Kita bertemu dengan gadis remaja lain, Casey Newton (Britt Robertson) yang kesal pada NASA tidak lagi melanjutkan penerbangan ke luar angkasa, yang membuat ayahnya menganggur. Seperti Frank dulu, Casey diberi pin ajaib. Ia lalu mendapat gambaran dunia impian Tomorrowland.
Baca juga: George Clooney Selidiki Dimensi Masa Depan di Film Tomorrowland
Kemudian kita tahu, dunia Tomorrowland telah berubah total. Bagai sebuah proyek yang mangkrak, dunia futuristik itu kini sepi ditinggal penghuninya. Di saat yang sama pula, dunia yang kita tinggali sedang menuju kiamat akibat perang, kelaparan, bencana alam, hingga eksploitasi yang berlebihan pada sumber daya alam.
Di sini kita lantas mendapati inti kisahnya, bahwa ada koneksi antara dunia yang kita tinggali dengan Tomorrowland.
Baca juga: Interstellar, Cerita Manusia Bertahan dalam Kosmos
Brad Bird dan rekan penulis skenario Damon Lindelof punya argumen, dalam lima puluh tahun terakhir dunia tidak bergerak membangun peradaban masa depan yang maju. Yang dilakukan justru merusak alam dan membawa peradaban manusia pada kiamat. Seperti diterangkan filmnya, kemajuan umat manusia dihambat oleh orangtua maupun guru yang tak menghargai kreativitas anak-anak hingga politik, birokrasi, maupun ketamakan kita yang membuat Bumi rusak.
Harapan akan masa depan yang cerah telah sirna dari peradaban yang dibangun manusia.
Pada titik ini kita mungkin telah menemukan jawaban kenapa dunia yang begitu maju seperti dibayangkan dalam 2001: A Space Odyssey tak pernah terjadi pada 2001. Pada 2001, yang kita temukan justru Tragedi 11 September yang memulai perang baru abad ke-21.
Lewat Tomorrowland, Brad Bird (yang membuat film The Iron Giant, The Incredibles dan Ratatouille) ingin mengajak kita jangan mematikan api harapan dan optimisme demi masa depan umat manusia yang cerah. Sebuah pesan yang mulia di balik kejar-kejaran mengasyikkan dan efek memanjakan mata. ** (Ade/Feb)
Baca juga esai film lainnya:
Resensi Senyap (The Look of Silence) dan Bandingkan dengan Jagal
Advertisement