Sukses

REVIEW Jurassic World, Pentingkah Sebuah Film Baru Dinosaurus?

Yang patut dipuji, Jurassic World mengedepankan pesan seperti film pertama dahulu.

Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: SPOILER ALERT! Ulasan Jurassic World ini mungkin mengandung bocoran cerita.

"Semua buku tentang dinosaurus mengatakan penciuman makhluk ini payah, tapi dinosaurus yang ini sepertinya tidak. Lagipula, buku tahu apa, sih? Ini dunia nyata."
                                 —Michael Crichton, Jurassic Park—

Franchise Jurassic Park akhirnya beranak pinak jadi empat. Dimulai dari Jurassic Park yang mengguncang dunia di musim panas tahun 1993, berlanjut ke Jurassic Park: The Lost World tahun 1997 lalu ke Jurassic Park III di musim panas 2001. Kini kita disuguhi Jurassic World.

Ada rentang waktu 22 tahun sejak film pertama. Tidak hanya dunia sudah berubah banyak dibanding dua dekade lalu, tapi bagaimana kita memandang dinosaurus pun berubah. Di Jurassic World, lewat karakter Beth (diperankan Bryce Dallas Howard), filmnya menjelaskan sendiri pandangan dunia atas dinosaurus yang sudah berubah. "Dulu orang begitu kagum pada dinosaurus," katanya, “tapi kini anak kecil melihat stegosaurus seperti melihat gajah."

Betul. Dunia terpana saat Steven Spielberg membangkitkan makhluk yang sudah punah 65 juta tahun lalu itu ke layar lebar. Jurassic Park pertama adalah pencapaian historis jagat sinema. Di film itulah, untuk kali pertama, teknologi gambar komputer grafis alias CGI (computer graphic imagery) digunakan secara masif. Hasilnya, dinosaurus terlihat benar-benar hidup. Ia tak lagi terlihat kaku seperti robot, tapi gesit, lincah serta berbahaya.

Adegan film Jurassic World. (dok.Universal)

Baca juga: Video Ini Bukti Jurassic World Mirip Jurassic Park Rilisan 1993

Teknologi sinema yang dihasilkan Jurassic Park membuat bayangan terliar sineas sekalipun bisa diwujudkan ke layar. Sejak itu film Hollywood dan dunia tak sama lagi.

Di lain pihak, masyarakat awam kian familiar dengan dinosaurus. Jurassic Park mampu membuat subjek yang tadinya hanya menarik bagi bocah kutu buku, jadi digemari semua orang. Dinosaurus muncul di mana-mana, dari kaos hingga boneka bonus makanan cepat saji.

Lantas, kita juga makin sering disuguhi dinosaurus baik di film dan TV. Pasca-Jurassic Park, entah sudah berapa film atau tayangan dokumenter TV mengangkat kisah makhluk pra sejarah ini. Selain sekuel-sekuel Jurassic Park, kita sudah melihat animasi 3D bikinan Disney, Dinosaur (2000) tentang kehidupan 65 juta tahun lalu saat dinosaurus di ambang kepunahan usai asteroid menubruk Bumi; kita juga melihat dinosaurus melawan King Kong di versi baru King Kong (2005) bikinan Peter Jackson; dan berbagai seri dokumenter di saluran Discovery atau National Geographic yang mengandaikan seperti apa kehidupan saat dinosaurus masih hidup melata di Bumi.

Semua suguhan di atas membuat kita kian terbiasa dengan dinosaurus. Maka, ketika sineas hendak membuat lagi film Jurassic Park pertanyaan penting yang diajukan adalah: apa lagi yang baru dari dinosaurus agar membuat filmnya punya signifikansi untuk ditonton?

2 dari 2 halaman

Nostalgia Jurassic Park

Ketika film Jurassic Park ketiga dibuat, Joe Johnston, yang menggantikan Spielberg di kursi sutradara, menjawab pertanyaan di atas dengan menyuguhkan ketegangan yang lebih banyak dari dua film sebelumnya. Ia mengajak kita berkenalan dengan dinosaurus jenis lain yang lebih besar dan lebih ganas dari tyranosaurus rex (t-rex) yakni spinosaurus.

Filmnya pun tinggal menyisakan petualangan dan ketegangan di pulau dinosaurus. Tidak ada lagi uraian fiksi ilmiah ataupun filsafat etik tentang kuasa penciptaan makhluk lewat teknologi kloning. Mungkin lantaran itu pula Jurassic Park III (serta, sebetulnya juga Jurassic Park: The Lost World) mudah dilupakan orang.

Setelah 22 tahun lewat pertanyaan masih pentingkah sebuah film Jurassic Park baru kian terasa relevan untuk ditanyakan. Dan setelah menontonnya, jawaban dari pertanyaan itu: masih. Kita ternyata masih butuh hiburan segar yang fresh dari kadal-kadal raksasa tersebut.

Adegan film Jurassic World. (dok.Universal)

Jurassic World mengambil masa dua dekade pasca-film pertama. Ini artinya, filmnya hendak berupaya relevan dengan penonton yang tumbuh bersama film pertama, yakni mereka yang begitu terpukau dengan keajaiban teknologi sinema di awal 1990-an.

Maka, bila ditelisik lebih dalam, Jurassic World sejatinya adalah tontonan nostalgia dengan sentuhan baru.

Yang pertama terasa baru, di film keempat ini kita melihat pada akhirnya taman hiburan dengan atraksi dinosaurus di dalamnya dibuka untuk umum. Ya, sadarkah di tiga film terdahulu taman “Jurassic Park” tak pernah muncul sebagai atraksi taman hiburan.

Baca juga: Jurassic World Abaikan Cerita The Lost World dan Film Ketiga

Bila Anda masih ingat, film pertama mengambil plot saat taman hiburan “Jurassic Park” di Pulau Isla Nublar belum dibuka untuk umum, pemiliknya mengajak serta ilmuwan dan cucunya melihat-lihat terlebih dahulu. Film kedua mengambil tempat di pulau lain, Pulau Isla Sorna, pulau tetangga tempat dinosaurus dibiakan di alam bebas. Film ketiga mengambil jalan cerita ke Pulau Isla Nublar dengan misi menyelamatkan anak kecil yang tersesat di pulau tersebut.

Film keempat mengandaikan, pada akhirnya manusia bisa mengendalikan dinosaurus hidup dengan aman di sebuah taman hiburan.

Adegan film Jurassic World. (dok.Universal)

Namun, berbeda dengan sekuel pertama dan kedua, Jurassic World punya ambisi menyamai kedahsyatan film pertama. Sebagai tontonan nostalgik, kita bertemu kembali dengan berbagai hal-hal yang terasa familiar bagi yang tumbuh dengan Jurassic Park tahun 1993.

Tidak hanya setiap adegan seperti sebuah replikasi film pertama, karakter-karakternya pun bisa kita identikan dengan film aslinya. Kita melihat lagi sosok pengusaha yang merekayasa alam, ilmuwan gila, anak-anak kecil dalam bahaya, serta ilmuwan-petualang macam Indiana Jones. Dan, ah, coba dengar pula ilustrasi musik yang rasanya kita hapal itu.

Filmnya pun punya terobosan sains yang tujuannya, selain mengingatkan lagi dengan film pertama, juga ingin melampauinya. Jika film pertama mendasari kisahnya pada kloning dari jasad renik purba yang mengandung DNA dinosaurus, di Jurassic World sang "ilmuwan gila" merekayasa dinosaurus dari DNA t-rex dan velociraptor dengan berbagai unsur hewan masa kini.

Hasilnya adalah dinosaurus hibrida, mereka namai indominus rex, yang ukurannya seraksasa t-rex namun punya kecerdasan dan kegesitan velociraptor, plus berbagai sifat hewani lain seperti kemampuan kamuflase selayaknya bunglon.

Baca juga: Ganasnya Indominus Rex Terlihat di Trailer Jurassic World

Adegan film Jurassic World. (dok.Universal)

Maka, yang kita lihat di layar adalah dinosaurus yang sama sekali baru. Semacam makhluk buas nan ganas impian seorang sineas film-film monster. Di Jurassic World, sutradara Colin Trevorrow mengandaikan apa jadinya bila dinosaurus hibrida nan ganas ini terlepas dari kandangnya dan memporak-porandakan taman hiburan yang dipenuhi pengunjung.

Di samping itu, agar tetap relevan dengan geo politik global masa kini muncul juga wacana pengandaian, seperti apa jadinya bila dinosaurus yang dibiakan bisa dikendalikan untuk kepentingan militer, dilatih selayaknya jadi anjing pemburu yang menuruti perintah tuannya.

Pada akhirnya, yang patut dipuji, Jurassic World mengedepankan pesan seperti film pertama dahulu maupun novel aslinya karya Michael Crichton. Saat manusia merekayasa alam, dengan menghidupkan lagi makhluk yang sudah punah 65 juta tahun lalu atau dengan membuat dinosaurus hibrida kini, alam selalu punya cara mengatasi masalahnya sendiri. Untuk mengingatkan lagi pada kita soal itu, film dinosaurus baru ini terasa penting untuk kita tonton lalu renungkan.*** (Ade/Feb)