Liputan6.com, Jakarta Hollywood boleh bangga punya film franchise sukses Terminator yang mengangkat nama Arnold Schwarzenegger. Namun, kita pun tak perlu berkecil hati. Indonesia punya film sejenis, Lady Terminator.
Tapi kualitasnya? Hm, agak susah menjawabnya. Mending kamu baca terus artikel ini.
Pertengahan Juli 1989. Di bioskop Tanah Air rilis film anyar, Pembalasan Ratu Laut Selatan dengan tambahan judul bahasa Inggris Lady Terminator. Film tersebut segera menyulut kontroversi. Bukan lantaran judulnya mirip film Arnold Schwarzenegger, Terminator yang rilis empat tahun sebelumnya. Melainkan karena filmnya banyak mengumbar adegan seks dan kekerasan dengan vulgar.
Advertisement
Baca juga: REVIEW Terminator Genisys, Setia pada Dua Film Pertama
Majalah Tempo edisi 15 Juli tahun itu menulis resensi begini, "Film Indonesia yang dibuat oleh karyawan Indonesia dengan beberapa bintang bule ini hadir dalam kemasan nafsu dan kekerasan. Dengan pemain utama darah dan payudara, ceritanya tidak penting. Bahkan ada kesan sengaja disederhanakan, agar tidak menyulitkan otak. Kemampuan bermain bukan saja tak diperlukan, tapi tampil buruk."
"Yang menonjol adalah sosok manusia sebagai daging. Penonton didudukkan sebagai obyek yang tak boleh menerima rangsang pada otaknya. Film--kualitas teknisnya lumayan--ini menghamba formula 'komersial': sadisme dan berahi. Baik elemen-elemennya maupun keseluruhan film terasa 'jorok'."
Resensi film yang ditulis Putu Wijaya tersebut juga menyebutkan hal ini: "Saya heran, alasan apa yang menyebabkan sensor mempersilakan makhluk ini gentayangan."
Di bagian lain majalah edisi itu ada artikel yang mempertanyakan kenapa lembaga sensor waktu itu, BSF (Badan Sensor Film) meloloskan Lady Terminator. Pekan setelahnya, majalah yang sama menurunkan laporan utama perihal Lady Terminator--yang setelah diprotes sana-sini--akhirnya ditarik dari peredaran, dengan sampul muka "Astagfirullah Film Indonesia!".
Sebenarnya, seperti apa sih film Lady Terminator itu?
Nasib Lady Terminator
Putu Wijaya dengan baik menggambarkan bagaimana muatan cerita filmnya.
"FILM ini dibuka dengan adegan sanggama Ratu Laut Selatan. Adegan yang disampaikan dengan brutal itu diakhiri dengan mampusnya sang pejantan. Darah muncrat dari arah alat vitalnya, melumuri muka.
Tak lama kemudian korban kedua muncul. Ratu yang digambarkan sebagai budak nafsu merengut surjan pemuda itu, lalu menyeretnya ke peraduan. Adegan yang sama berulang. Tapi kali ini pihak lelaki menang. Seekor belut hitam keluar dari 'anu' Ratu yang berubah jadi keris di tangan lelaki sakti itu. Nyi Roro Kidul mengancam akan membalas pada keturunan seterunya.
Kemudian Antropolog Tania, yang dimainkan bintang cantik-seksi Barbara Constable, ditarik ke dasar laut ketika mengadakan penyelidikan. Tokoh ini kemudian jadi terminator Ratu Kidul. Ia naik kembali ke darat dengan perangai buas dan membunuh dua lelaki yang lagi iseng di pantai, dengan bercinta.
Dihajar dengan berondongan peluru, tembakan laser dari helikopter, bahkan juga sodokan panser, wanita itu jadi remuk redam. Toh ia melabrak terus. Baru setelah ditikam oleh keris yang pernah diperkenalkan pada bagian awal film, wanita itu mampus."
Sebetulnya Lady Terminator mengambil secuil plot dari Terminator dan meramunya dengan nuansa mistis dan supranatural khas Indonesia. Anda mungkin hapal, Terminator karya James Cameron punya premis, saat perang antara mesin dan manusia di masa depan pihak mesin mengirim robot tangguh ke masa lalu dengan misi membunuh ibunda dari calon pemimpin di masa depan.
Sedang Lady Terminator memiliki premis, seorang wanita bule yang dirasuki Ratu Laut Selatan ingin membalaskan dendam atas penghinaan yang diterima sang ratu seratus tahun lalu pada keturunan pria yang menghinanya dulu.
Lady Terminator juga punya mise-en-scene yang mengingatkan kita pada rivalnya sang Terminator. Seperti robot pemusnah, Lady Terminator muncul telanjang dan sebelumnya didahului kilatan-kilatan halilintar.
Menontonnya lagi sekarang tentu saja kelihatan filmnya terlihat seperti film aksi kelas B. Beda dengan Terminator rilisan 1984 yang ditonton lagi sekarang pun terlihat masih keren.
Namun yang menarik, Lady Terminator yang dibuat dengan bujet Rp 1 miliar (termasuk termahal di masanya) menemukan takdirnya yang unik bertahun-tahun kemudian. Lady Terminator malah diterima publik luar negeri. Bersama film-film kelas B era 1980-an lainnya, macam Jaka Sembung hingga Ratu Ilmu Hitam, Lady Terminator malah diedarkan di luar negeri oleh distributor film-film cult macam Mondo Macabro DVD, Troma Team, ZDD, VideoAsia, Maia, dan sebagainya. Film-film kelas B diedarkan dengan judul Inggris dan di-dubbing ke bahasa Inggris pula.
Distributor asing juga mengubah nama pemain dan kru. Di Lady Terminator, misalnya, nama sutradara Tjut Djalil diubah jadi Jalil Jackson.
Baca juga: Nonton Jaka Sembung, Merayakan Film Kelas B Orde Baru
Ya, Lady Terminator yang dicerca dan diprotes saat edar di bioskop, kemudian menemukan penggemarnya sendiri di luar negeri. Filmnya masuk kategori cult, dirayakan dan dipuja.
Dalam sebuah diskusi yang saya hadiri tahun lalu di Kineforum Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, pengamat film Ekky Imanjaya menyebut publik luar negeri menyukai film-film kelas B Indonesia karena, "Mereka merayakan keanehan, eksotisme, dan otherness (kelainan)."
Dan memang demikian adanya, Lady Terminator menawarkan semua itu. Hal-hal yang tak ada di Terminator-nya Arnold Schwarzenegger bikinan Hollywood. (Ade/Fei)
Advertisement