Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: SPOILER ALERT! Esai film ini, selain panjang, juga membincangkan inti cerita dua film yang edar di libur Lebaran tahun ini, Mencari Hilal dan Surga yang Tak Dirindukan.
I.
Saya masih ingat pernah mewawancarai Manoj Punjabi, bos MD Pictures di kantor lamanya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 2013 silam. Di ruangannya yang luas, saya menanyai Manoj soal proses pembuatan film Ayat-ayat Cinta yang rilis 2008 untuk membantu seorang kawan yang sedang melakukan penelitian tentang film Islam/islami.
Advertisement
Saya masih ingat alasannya mengadaptasi novel karya Habiburrahman El-Shirazi itu ke layar lebar. Katanya, novel Ayat-ayat Cinta memiliki potensi sebuah melodrama yang bakal mengharu biru penonton.
Yang ia maksud melodrama di novel tersebut adalah bagian saat tokoh utamanya, Fahri kemudian melakukan poligami pada dua wanita yang mencintainya, Aisha dan Maria.
Dan memang, ketika filmnya jadi, bagian poligami tersebut menjadi momen dramatis yang ditekankan pada klimaks film. Di filmnya, Fahri (Fedi Nuril) terpaksa melakukan praktek poligami dengan Aisha (Rianti Cartwright) dan Maria (Carissa Putri).
Praktek poligami juga kemudian menjadi tema utama film yang baru dirilis Manoj di musim libur Lebaran tahun ini, Surga yang Tak Dirindukan. Tujuh tahun pasca Ayat-ayat Cinta berhasil mengharu biru penonton hingga mendatangkan 3,7 juta orang ke bioskop, Manoj tampaknya ingin mengulang suksesnya dahulu.
Berhasilkah ia mengulang sukses rekor jumlah penonton Ayat-ayat Cinta dahulu? Hm, bukan hal itu yang jadi fokus tulisan ini. Saya lebih tertarik menganalisis bagaimana potret keberislaman Indonesia direpresentasikan lewat film Surga yang Tak Dirindukan.
Selain itu, di momen yang sama, beredar pula film bertema Islam lain di bioskop, Mencari Hilal karya Ismail Basbeth. Sungguh menarik melihat betapa bedanya Islam Indonesia ditunjukkan dalam dua film tersebut.
Dari pra-Islamisasi ke post-Islamisasi di Indonesia
II.
Baiknya memulai dengan menjawab pertanyaan, kenapa film bertema religi terus dibuat sejak 2008 hingga kini? Apa hubungan kelahiran film-film religi sejak 2008 dengan kondisi masyarakat Islam di Indonesia kontemporer?
Ada buku bagus yang edisi terjemahannya baru beredar untuk menjawab pertanyaan krusial di atas. Judulnya Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (KPG, Juni 2015) yang ditulis Ariel Heryanto. Di salah satu bab buku tersebut, Ariel menjelaskan kelahiran Ayat-ayat Cinta pada 2008 tak terlepas dan kondisi sosio-politik Indonesia saat itu.
Kondisi yang dimaksud adalah periode yang disebutnya post-Islamisme. Teori ini dipinjamnya dari telaah Asef Bayat yang menganalisis kondisi sosial-politik di Timur Tengah pada 2000-an. Kata Ariel, apa yang terjadi pada kecenderungan konsumsi budaya popular di Iran, Mesir dan banyak negara Timur Tengah lain paralel dengan yang terjadi di Indonesia kini.
Menurut Ariel, kebangkitan kaum menengah Muslim pada 2000-an hingga kini adalah fenomena global. Dan terdapat pola yang mirip di antara negara mayoritas penduduk Muslim.
Jika meminjam periodisasi post-Islamisme Bayat, Indonesia telah memasuki berbagai tahapan Islamisasi sesuai kondisi sosio-politik yang dilalui bangsa ini. Kita bisa menyebut di masa Orde Baru Soeharto, terutama di tahun 1970-an dan 1980-an, dengan pra-Islamisasi. Saat itu, Islam dianggap musuh oleh rezim. Partai Islam dan Islam politik disingkirkan, dianggap ancaman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita tentu ingat, Islam politik dianggap ekstrem kanan, yang sama berbahayanya dengan ekstrem kiri (baca: komunis) bagi rezim Orde Baru. Di periode ini pula berbagai gesekan rezim dengan Islam terjadi, mulai dari Komando Jihad, tragedi Tanjung Priok, pemboman Borobudur dan BCA hingga tragedi Lampung.
Kemudian memasuki 1990-an, Soeharto mengambil langkah politik 180 derajat dari sebelumnya. Ia merangkul kalangan Islam dengan mendirikan ICMI serta disimbolkan pula dengan ia naik haji. Islam diberi tempat dalam kancah perpolitikan nasional. Periode ini bolehlah disebut Islamisasi.
Namun, Islamisasi Soeharto toh tak bisa menyelamatkannya dari kejatuhan di tahun 1998. Seketika umat Islam kehilangan pelindungnya. Namun, di masa itu, Islamisasi tak bisa lagi dibendung apalagi diberangus. Tanpa patron politik, Islam toh tetap menjadi pemenang percaturan politik di awal era Reformasi.
Gerakan politik Poros Tengah yang digagas Amien Rais mampu menjegal Megawati Soekarnoputeri, yang partainya jadi pemenang Pemilu 1999, ke tampuk kekuasaan. Kemenangan Abdurrahman Wahid (dan kemudian pula kejatuhannya) adalah bukti kemenangan politik Islam.
Setelah kemenangan politik Islam, ada fenomena menarik yang terjadi di masyarakat Muslim Indonesia. Melihat kecenderungan dunia politik yang kotor, korup dan penuh rekayasa demi kepentingan pribadi dan golongan, lambat laun—entah disadari atau tidak—warga Muslim Indonesia menjauh dari Islam politik.
Yang dikejar warga Muslim Indonesia bukan lagi pencapaian politik (baca: presiden islami atau partai Islam berkuasa di parlemen), melainkan kesalehan pribadi. Di masa ini, utamanya memasuki dekade 2000-an, bermunculan pendakwah-pendakwah yang tak lagi mendengungkan umat Islam harus berkuasa secara politis, tapi memfokuskan umat Islam harus saleh, rajin ibadah, dan menjalankan pola hidup islami secara individual.
Di masa itu, kita melihat tumbuhnya para pendakwah macam Aa Gym, Jeffri Al-Buchori, Yusuf Mansyur dan Arifin Ilham. Mereka memanfaatkan dengan jenius perangkat komunikasi modern (utamanya televisi) untuk merengkuh umat. Tumbuh di era televisi pun kemudian membuat mereka dipuja bak rock star dan jadi selebriti, bukan lagi sekadar pendakwah. Gaya berpakaian mereka, misalnya, mencipta tren tersendiri.
Di sinilah umat Islam Indonesia telah memasuki periode post-Islamisasi. Di saat periode ini dimulai, masyarakat Indonesia merasakan kemunculan kelas menengah baru yang jumlahnya begitu banyak.
Konsep kelas menengah baru ini tentu saja problematis. Sebab, berbeda dengan konsep kelas menengah sebagai katalisator perubahan sebagaimana diteorikan para sosiolog, kelas menengah baru Indonesia lebih merupakan buah keuntungan jumlah usia produktif yang masif atau bonus demografi, hingga yang terlihat lebih merupakan pola konsumsi mereka yang meningkat. Para ekonom kemudian merasa lebih pas menyebut mereka sebagai kelas konsumen baru. Nah, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, otomatis pula mayoritas kelas menengah baru/kelas konsumen baru ini beragama Islam.
Datanya seperti ini. Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), kelas menengah adalah kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 24-240 ribu sehari. Selama kurun waktu 1999-2009, jumlahnya melonjak hampir dua kali lipat. Kini jumlahnya diperkirakan 130 juta orang atau sekitar 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan terus bertambah 8-9 juta orang per tahun. Karena 87 persen lebih penduduk Indonesia adalah Muslim (sensus 2010), maka kaum Muslim jelas mendominasi kelas ini (Tempo, 3 Agustus 2014).
Kelas menengah baru Muslim ini kemudian mempraktekkan gaya hidup modern tanpa harus melepas ketakwaan mereka sebagai umat Islam. Mereka umumnya berhijab tapi tetap bergaya; mereka mengonsumsi kosmetik halal; mereka menyekolahkan anak-anak mereka bukan di pesantren tradisional, tapi sekolah Islam modern unggulan; mereka hobi berwisata umrah; serta tak lupa pula rajin berzakat dan bersedekah. Bagi golongan ini menjadi saleh bukan berarti harus melepas tata cara hidup modern.
Advertisement
Islam Indonesia di Surga yang Tak Dirindukan
III.
Dari kenyataan seperti di atas Ayat-ayat Cinta hingga Surga yang Tak Dirindukan lahir. Tak penting lagi bahwa pengusung film-film tersebut seorang non-Muslim keturunan India. Juga tak penting pula bila motifnya menekankan pada melodrama yang mengharu-biru.
Yang lebih penting adalah bagaimana tampilan filmnya. Yakni, bagaimana umat Islam kontemporer, yakni kelas menengah baru, ter-representasi-kan di film tersebut.
Di bukunya, Ariel Heryanto (2015) merekam bagaimana kelahiran Ayat-ayat Cinta tahun 2008 mendatangkan kontroversi. Bagi pembaca setia dan penulis novelnya, versi film Ayat-ayat Cinta dianggap mengurangi elemen dakwah dari karya aslinya. Pilihan untuk bergaya ala Hollywood dan Bollywood ditentang mereka yang ingin aspek dakwah lebih dikedepankan.
Kemudian, Ayat-ayat Cinta melahirkan tontonan tandingannya sendiri. Hanung Bramantyo, sutradara Ayat-ayat Cinta, membuat versi film dari novel feminis Muslim, Abidah El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban (2009). Film itu mengkritik lembaga keagamaan yang patriarkis. Sementara itu, dengan kontrol yang lebih ketat pada konten versi filmnya, Habiburrahman El Shirazi turut membidani versi film novelnya yang lain, Ketika Cinta Bertasbih yang dibagi jadi dua film (sutradara Chaerul Umam, 2009).
Baik Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih serta Surga yang Tak Dirindukan sesungguhnya lahir dari rahim komunitas yang sama. Tiga novel itu lahir dari Forum Lingkar Pena atau FLP, yakni komunitas, yang saya kutip dari Ariel (2015), “(J)aringan penulis paling sukses dengan komitmen mendalam terhadap ketakwaan Islam dan dakwah.” Dikatakannya pula, “Kebanyakan karya mereka berdakwah kepada orang-orang yang baru memeluk Islam atau menegaskan kembali keislaman mereka.”
El Shirazi adalah anggota terkemuka Forum Lingkar Pena. Sedang Asma Nadia, pengarang novel Surga yang Tak Dirindukan, termasuk salah satu anggota komunitas tersebut. Sungguh menarik bahwa tujuh tahun setelah Ayat-ayat Cinta versi film mendapat tentangan dari komunitas itu, kini produser yang sama bekerjasama lagi dengan komunitas tersebut.
Saya menduga saat ini telah ada komunikasi yang kondusif antara penulis novel dengan produser film. Itu sebabnya kelahiran Surga yang Tak Dirindukan versi film tak mendatangkan kontroversi.
Sampai di sini, kita bisa katakan, muatan versi filmnya tak melenceng dari novelnya. Selain itu, saya bisa katakan pula, umat Islam Indonesia kontemporer telah cukup ter-representasi-kan di versi filmnya.
Pertanyaannya kemudian menjadi, umat Islam Indonesia yang mana?
Melihat film karya Kuntz Agus ini, tentu saja kelas menengah Muslim baru sebagaimana ciri-cirinya telah diuraikan di atas. Di film kita melihat keluarga kelas menengah Muslim yang terdiri dari Pras (Fedi Nuril) dan istrinya, Arini (Laudya Cynthia Bella) serta putri mereka, Nadia. Pras punya pekerjaan bagus di bidang arsitektur. Rumahnya juga asri. Ia punya dua mobil.
Drama yang menjadi pangkal konflik film terjadi saat Pras menolong seorang wanita bernama Mei Rose (Raline Shah) yang hendak bunuh diri. Ia mengucap sumpah akan menikahi Mei Rose bila ia urung bunuh diri.
Kemudian kita melihat Pras melakoni praktek poligami. Ia menyembunyikan hal itu dari istrinya. Tapi sang istri pada ujungnya tahu juga suaminya punya istri lagi.
Pada hakikatnya, hukum Islam memang menyuratkan praktek poligami. Ada firman Tuhan yang jelas-jelas menerangkan pria boleh punya 2, 3 atau 4 istri. Kendati begitu, praktek poligami tak ayal pula bakal melukai perempuan. Sebab, wanita umumnya tak ingin membagi cinta dengan wanita lain. Di sinilah, secara jeli, persoalan poligami kerap diangkat dalam novel atau film. Sebab, poligami juga berpotensi melahirkan drama atau konflik sebagai pra-syarat sebuah kisah fiksi.
Dalam Surga yang Tak Dirindukan konfliknya adalah sejauh mana seorang perempuan ikhlas menerima ketetapan hukum Tuhan, menerima suaminya punya istri lagi.
Pada titik ini, gaya hidup modern dipertemukan dalam bentuknya yang paling ekstrem dengan wujud kesalehan sebagai seorang Muslim. Memakai hijab yang gaya mungkin mudah saja bagi seorang Muslimah, namun apakah ia ikhlas pula menerima hukum Tuhan tentang poligami?
Yang sudah nonton tentu tahu, film ini akhirnya berujung bahagia. Kita mendapati sang Muslimah menerima hukum Tuhan, namun di lain pihak si perempuan lain melepaskan diri dari jadi istri kedua. Penonton pun pulang dengan wajah tersenyum. Mereka bahagia mendapati hukum Tuhan tak dilanggar, namun juga puas bahwa cinta sejati akhirnya menang. Pola order-disorder-order pun telah tersampaikan dengan baik.
Pertanyaannya lagi, apa Muslim Indonesia hanya cukup direpresentasikan oleh golongan kelas menengah baru ini berikut kesalehan dan gaya hidup modern mereka?
Islam Indonesia di Mencari Hilal
IV.
Dari sini kita beranjak pada film satunya lagi, Mencari Hilal.
Sejatinya, umat Islam Indonesia tak pernah homogen. Kelas menengah baru yang lahir sebagai produk post-Islamisme bukan satu-satunya golongan umat Islam Indonesia. Sejak dahulu, kaum cerdik pandai sudah menggolongkan umat Islam Indonesia ke dalam berbagai kategorisasi.
Anda mungkin ingat, Clifford Geertz, seorang Indonesianis, membagi umat Islam (khususnya Jawa) ke dalam tiga kelompok, abangan, priyayi dan santri. Konsep Geertz rasanya tak cocok bila diterapkan pada film Surga yang Tak Dirindukan. Kelas menengah baru Muslim tak bisa disebut golongan santri meskipun menerapkan gaya hidup Islami. Mereka juga tidak pas disebut sebagai priyayi. Lebih-lebih abangan.
Namun, bila kategorisasi yang diterapkan adalah sebagaimana pengelompokkan kaum Muslim Indonesia versi Deliar Noer (Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1982) mungkin masih masuk. Noer mengelompokkan umat Islam Indonesia ke dalam dua golongan: “Islam modern” dan “Islam tradisional”.
Menurut defenisi Noer, golongan Islam tradisional lebih menghiraukan pada soal-soal agama dalam hal ibadah belaka. Bagi mereka, Islam sama dengan fiqih, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taklid dan menolak ijtihad. Walaupun golongan ini mengaku bermazhab, umumnya Syafi’I, mereka tidak mengikuti ajaran pendiri mazhab itu secara langsung, melainkan dari imam yang datang kemudian, sering pula ulama yang menyimpang dari pendiri mazhab itu (Noer, 1982). Secara sederhana, dalam golongan ini muncul praktek yang tidak muncul dalam Qur’an dan hadits seperti tahlilan, yasinan, dll.
Sementara itu, Islam modernis ia kontruksikan demikian positif. Katanya, golongan pembaharu (modernis) memberikan perhatian pada sifat Islam pada umumnya. Bagi mereka, Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains dan kedudukan wanita. Bagi kelompok ini, Islam agama universal yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para Nabi (Noer, ibid). Secara sederhana pula, golongan ini hanya melakukan ibadah yang terdapat dalam Qur’an dan hadits, di luar itu namanya bidah—praktek yang ditengarai sering dilakukan kaum tradisionalis.
Menengok pendikotomian di atas, kita bisa katakan kelas menengah baru Muslim di Surga yang Tak Dirindukan tergolong kaum modernis. Namun, ciri-ciri kaum modernis ala Deliar Noer sedikit buyar bila diterapkan pada Mencari Hilal.
Di Mencari Hilal kita bertemu dengan Pak Mahmud (diperankan dengan amat matang oleh Deddi Sutomo). Ia mempraktekkan pola hidup islami yang total. Selain taat ibadah dan jadi imam mesjid di lingkungannya, Pak Mahmud menerapkan praktek dagang dengan kejujuran luar biasa. Baginya, berdagang adalah ibadah. Bukan cari untung.
Selain itu, Pak Mahmud pun gerah melihat bagaimana pemerintah menghabiskan miliaran rupiah hanya untuk mencari hilal sebagai pertanda berakhirnya bulan Ramadan. Ia lalu mengambil langkah ekstrem—sebagai wujud totalitasnya sebagai Muslim—mencari hilal sendiri.
Pak Mahmud tipe golongan Muslim modern sekaligus skripturalis yang unik. Ia seorang fundamentalis, namun bukan penganut fundamentalisme ala Arabisasi yang ingin menegakkan syariat Islam dan negara Islam. Totalitas keislamannya pada level pribadi, sebagai ciri periode post-Islamisasi.
Di lain pihak, kita juga dipertemukan dengan Heli (Oka Antara), putra Pak Mahmud. Ia mewakili kelas menengah Muslim kota. Namun, Heli bukan seorang Muslim yang taat beribadah. Ia tidak puasa dan salat. Beda sekali dengan ciri kelas menengah Muslim baru yang saleh sebagaimana digambarkan lewat Surga yang Tak Dirindukan.
Semula, saya mengira Heli seorang Islam yang berpandangan liberal. Namun, kategorisasi Islam liberal pun tak cocok baginya. Ia memang mempertanyakan doktrin agama yang dianut ayahnya. Namun, ia terlihat seperti seorang pemberontak tanpa sebab (rebel without a cause) ketimbang aktivis JIL (jaringan Islam Liberal). Pada akhirnya, yang ia tentang bukan pilihan keberagamaan sang ayah, melainkan bagaimana pilihan keberagamaan tersebut membuatnya terluka. Heli tidak marah pada doktrin Islam, melainkan marah pada ayahnya.
Film ini adalah road-movie alias film perjalanan. Dalam rangka mencari hilal, dua insan ini (ayah dan anak) bertemu dengan masalah keberagamaan masyarakat Indonesia yang kompleks.
Pak Mahmud dan Heli bertemu dengan kelompok Islam abangan yang mempraktekkan budaya/tradisi leluhur. Mereka juga bertemu kaum Islam fundamentalis yang meneror kaum agama lain. Dengan amat baik, Mencari Hilal menawarkan solusi pada dua persoalan itu. Pak Mahmud menjadi toleran pada praktek yang sebelumnya ia anggap bidah. Sedang untuk persoalan kaum agama lain yang diteror, Heli mendapat jalan keluar meminta bantuan politisi Islam yang sedang butuh dukungan suara.
V.
Jika kemudian pertanyaannya diubah menjadi, mana yang lebih tepat menggambarkan kompleksitas Islam Indonesia, Surga yang Tak Dirindukan atau Mencari Hilal?
Kedua film itu sama-sama telah menggambarkan Islam Indonesia dengan baik. Kita tak bisa menyangkal saat ini terdapat kaum Muslim urban kelas menengah baru yang mengawinkan kesalehan pribadi dengan gaya hidup modern.
Di saat bersamaan, kita pun tak bisa menyangkal praktek keberislaman santri, priyayi dan abangan ataupun tradisionalis masih terdapat dalam masyarakat kita. Islam Indonesia memang tak pernah satu warna. Selalu warna-warni. Dan itu yang membuatnya istimewa. Wallahu’alam.*** (Ade/Fir)
Baca juga esai film lainnya:
Hubungan Kritikus dan Pembuat Film
Advertisement