Sukses

Motor di Film-film Kita, dari Moge hingga Motor Bebek

Aksi ugal-ugalan motor gede atau moge juga terekam dalam film nasional sejak era 1970-an. Sepertia apa wujudnya?

Liputan6.com, Jakarta Seorang pengendara sepeda bernama Elanto Wijoyono, mencegat rombongan iring-iringan motor gede (moge) di perempatan Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (15/8/2015) kemarin.

Aksi tersebut segera berdampak viral di dunia maya. Banyak orang yang mendukung aksi berani Elanto lantaran aparat kepolisian dinilai kerap tak adil membiarkan moge melanggar lalu lintas.

Elanto Wijoyono meminta pengendara moge untuk mundur dari zebra cross di perempatan Ringroad Utara Condongcatur, Yogyakarta, Sabtu (15/08/2015). (foto: Suryo Wibowo)

Sesungguhnya, moge bukan fenomena kemarin sore. Aksi ugal-ugalan moge bahkan juga terekam dalam film-film nasional sejak 1970-an. Seperti apa wujudnya?

Sudah nonton film Darah Muda yang dibintangi Rhoma Irama? Di awal film yang rilis 1977 itu ada penggambaran begini.

Jalanan yang damai itu tiba-tiba dibikin ribut oleh deru suara motor. Beberapa motor gede melintas. Pengendaranya ugal-ugalan. Ada yang naik motor sambil berdiri. Kamera lalu menyorot rambu lalu lintas dilarang masuk seolah hendak mengatakan mereka telah melanggar hukum.

Geng motor tersebut berhenti di sebuah bar. Menjemput teman yang minum-minum lalu bayar hanya 100 rupiah. Mau latihan band, kata salah seorang dari mereka. Mereka mengusai jalanan lagi seolah milik nenek moyangnya.

Ada tukang roti melintas mereka ganggu sampai si tukang roti kabur. Ke tukang rokok pinggir jalan, mereka ambil rokok satu dus tanpa membayar. Sepanjang jalan geng motor ini ugal-ugalan tiada henti. Jalan meliuk-liuk, ciuman di tengah jalan, sampai berhenti di lampu merah bikin jalanan macet.

Itulah bagian awal film Darah Muda yang dibintangi Rhoma Irama yang sedang menapaki karier menuju tahta sang raja dangdut. Tentu, bukan Rhoma yang bertingkah ugal-ugalan di jalanan itu. Justru Rhoma yang kemudian berhadapan dengan geng motor kelompok musisi rock Apache, tempatnya dulu bernaung sebagai anggota band sebelum akhirnya memilih dangdut.

Filmnya utamanya berkisah soal konflik musisi rock versus penyanyi dangdut. Namun, menarik juga menengok bagaimana moge dan pengendaranya digambarkan di film itu.

2 dari 5 halaman

Rocker Bermotor

Pertama-tama, sineasnya (film ini disutradarai Maman Firmansjah dan skenarionya ditulis Sjuman Djaya) melabelkan motor identik dengan musisi rock. Kayaknya nggak keren kalau anak rock tak pakai motor. Tapi pakai motor saja tak cukup. Rocker kalau pakai motor menguasai jalanan selayaknya raja. Di jalan, rocker bertingkah ugal-ugalan seenaknya dengan moge mereka.

Bagi kebanyakan anak muda hingga tahun 1970-an, motor adalah impian. Hanya segelintir anak muda yang punya motor. Kebanyakan mereka ke sekolah naik sepeda atau naik angkutan umum becak, opelet, atau bus. Tak jarang anak muda zaman itu memajang gambar motor di kamar. Motor telah menjadi citra cowok gagah. Mereka terkesan pada geng motor yang bertingkah ugal-ugalan seperti di film-film Hollywood, seperti dicitrakan geng motor Hells Angels.

Hells Angels menjadi nama yang tenar karena kebrutalannya. Mereka disebut sebagai outlaw motorcycle club, geng motor liar yang pertama dibentuk di California, AS, pada 1948. Catatan buruk mereka terpatri hingga kini ketika Hells Angels disewa menjaga keamanan konser grup rock Rolling Stones di Altamont, California, pada 1969.

Kerusuhan oleh gang motor Hells Angels saat konser Rolling Stones.(dok.istimewa)

Bukannya menjaga keamanan, konser itu malah rusuh hingga jatuh korban tewas. Namun, peristiwa itu malah makin membuat nama Hells Angels makin dikenal. Mereka dianggap sebagai counter culture, simbol anti kemapanan, tak takut hukum. Pengaruh anti kemapanan geng motor motor klop dengan citra rocker. Maka, rocker pun bermotor agar citra yang disampaikannya makin kentara.

Namun, di era Orde Lama Soekarno sikap anti kemapanan ini relatif berhasil dibendung. Soekarrno melarang musik Barat yang disebutnya “ngak ngik ngok” hingga memenjara Koes Plus segala. Saat Soekarno jatuh dan Orde Baru yang lebih pro Barat berkuasa di akhir 1960-an, pengaruh budaya Barat, termasuk counter culture-nya pula ikut terimpor tanpa filter ke sini.

Namun, karena pada dasarnya kita orang Asia, pasar motor kemudian dikuasai Jepang, bukan Amerika atau Eropa. Produk Jepang yang relatif lebih murah dan ukuran motornya lebih sesuai dengan postur orang Asia, membuatnya jadi pilihan. Produk motor Jepang muncul sejak awal tahun 1960-an. Waktu itu yang punya motor masih sedikit, hanya anak muda dari kalangan menengah atas.

Di paruh kedua 1960-an, motor Jepang makin mengusai jalanan menyingkirkan motor-motor Eropa seperti BMW, Harley Davidson, Norton, Ducatti, dan beberapa merek lain. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an, saat Orde Baru semakin membuka hubungan baik dengan Jepang, motor-motor Jepang juga semakin banyak di jalanan jadi tunggangan pribadi anak-anak muda.

3 dari 5 halaman

Roy Marten dan Ali Topan, Simbol Anak Muda ’70-an

Salah satunya Roy Marten. Aktor gaek ini mengalami masa muda di era 1960-an dan 1970-an di Salatiga, Jawa Tengah. Roy termasuk anak muda yang punya motor di kota itu. “Saya hitung waktu itu anak muda Salatiga yang punya motor hanya 9 orang. Jadi, dengan mendengar suara motornya saja, saya tahu itu motor siapa,” kata Roy seperti dikutip Kompas, 20 November 2005.

Dari kecintaannya pada motor, Roy mereka-reka cerita dengan Masmbez membuat skenario film Roda-roda Gila pada 1978. Dibesut Dasri Yacob, film itu melibatkan Roy dan Yati Octavia sebagai bintang utama. Roy mengisahkan seorang superstar balap motor yang egois bernama Troy yang diperankannya sendiri. Dia tidak saja jago balap motor, tapi juga jago merayu cewek. Salah satu pengagumnya, Inggrid (Yati Octavia) dikencaninya lalu hamil. Tapi, Troy ogah tanggung jawab. Kakak Ingrid, Yopie (Rudy Salam) yang juga pembalap ingin menghancurkan Troy.

Menarik menyimak bagaimana Troy yang sombong dan ogah bertanggung jawab pada cewek yang dihamilinya justru tetap ditempatkan sebagai protagonis di film ini. Penonton diajak berpihak padanya, walau sifatnya tak terpuji. Sineasnya malah tetap mencitrakan Troy dan motornya sebagai sosok keren. Seolah-olah dengan tampang ganteng dan tunggangan motor keren, bertingkah sombong dan tak bertanggung jawab pun tak mengapa.

Aksi ugal-ugalan motor gede atau moge juga terekam dalam film nasional sejak era 1970-an. Sepertia apa wujudnya?

Roy Marten di era 1970-an memang sosok hero pujaan di layar lebar. Para wanita menginginkannya, sedang para pria mendamba ingin seperti dirinya. Remaja zaman itu melihatnya lagi jadi sosok keren penakluk cewek di film Kampus Biru maupun Badai Pasti Berlalu.

Motor yang digunakan Roy di Roda-roda Gila adalah jenis motor yang saat itu lazim disebut motor trail, jenis motor hyang digunakan di lomba motocross yang mulai ngetren di tahun 1970-an. Jenis motor ini pula yang digunakan Ali Topan si anak jalanan. Di film Ali Topan Anak Jalanan, Ali dan kawan-kawannya mengarungi jalanan dengan motor trail. Filmnya yang rilis 1977 diangkat dari cerita bersambung di majalah Stop pada awal 1970-an karya Teguh Esha.

Baik di novel dan filmnya, Ali Topan digambarkan sebagai anak yang dibesarkan di jalanan. Ibunya sibuk dengan urusannya sendiri, sedang ayahnya keluar masuk hotel dengan perempuan lain. Di jalan, dengan motornya, Ali menemukan jati dirinya.

4 dari 5 halaman

Si Joni dan Motornya

Sinema Indonesia tahun 1970-an menempatkan motor sebagai atribut pemberontakan kaum muda maupun ekspresi anti kemapanan mereka. Mobil dianggap sebagai kolot dan milik orangtua yang berduit. Anaknya yang memberontak memilih motor ketimbang mobil.

Beberapa dekade kemudian, saat motor semakin bejibun, citra motor pun berubah. Dari sini kami mengajak Anda menengok film lain, Janji Joni (2005).

Jauh setelah era Roy Marten dan Ali Topan si anak Jalanan, kita bertemu Joni (Nicholas Saputra) si pengantar rol film di debut penyutradaraan Joko Anwar ini. Joni bukan anak orang kaya, bukan pembalap, tak diceritakan pula lahr dari keluarga berantakan. Tapi, demi bisa bekerja dengan baik, ia harus memakai tunggangan yang dulu di pakai si Troy maupun Ali Topan. Meski jenisnya beda namanya tetap sama: motor.

Sebelumnya Anda harus tahu dulu, sebuah film yang tengah tayang di bioskop yang jaraknya berdekatan menggunakan copy film yang sama yang dipakai bergantian di antara 2 bioskop. Sebuah film yang terdiri dari 6 rol. Setiap giliran diputar 2 rol. Dan tugas pengantar film mengantarkan rol film dari bioskop A ke bioskop B dan sebaliknya. Joni, sang pengantar rol film, berjanji menjalankan pekerjaannya dengan baik. Nah, untuk menepati janjinya itu Joni mengandalkan motor sebagai tunggangannya untuk bolak-balik.

Adegan film Janji Joni (2005). (dok. istimewa)

Yang sudah menontonnya pasti tahu Joni mendapat berbagai halangan saat mengantarkan dua rol terakhir filmnya (motornya dicuri, ia harus menolong orang melahirkan, menjadi figuran film, dan berusaha merebut tas berisi rol film yang dicuri orang).

Bukan petualangan Joni yang hendak ditelisik di sini, tapi betapa bedanya fungsi motor di film 1970-an dengan pertengahan 2000-an. Jika di tahun 1970-an motor jadi lambang pemberontakan kaum muda, di era 2000-an, motor untuk pertama kalinya sekadar dipakai agar pekerjaan dilakukan dengan baik.

Di era si Joni, Jakarta telah menjadi neraka urban yang oleh warganya sendiri sudah diterima sebagai kewajaran. Macet wajar. Banjir juga wajar. Penghuninya kemudian dipaksa bersiasat, pandai-pandai berpolah tingkah di jalanan yang semrawut dan macet.

Meminjam istilah pengamat budaya pop Hikmat Darmawan saat mengulas komik Kartun Motor: Berkah atau Bencana (Kompas, 10 April 2011), “motor adalah siasat”. Ditulisnya, “di kota yang semakin kusut ini, jarak menjadi neraka: kepadatan tak memungkinkan perhitungan waktu normal. Manusia bergerak dari sendat ke sendat.” Dalam kaitannya seorang pengantar rol film, mengantarkan dengan mobil sama sekali tak efektif. Motor tak ayal menjadi pilihan paling logis.

5 dari 5 halaman

Yang Muda Masih Berontak

Lantas, apa film era sekarang tak memberi tempat bagi motor sebagai tunggangan si muda nan pemberontak?

Oh, masih. Tengok Liar (2008) karya Rudi Soedjarwo yang menampilkan Raffi Ahmad sebagai pembalap liar. Balapan motor liar masih kerap dilakoni pemuda di segala zaman. Pemuda zaman kiwari bermimpi jadi pembalap seperti jagoan mereka di sirkuit MotoGP. Maka, motor biasa untuksehari-hari pun dipakai sebagai tunggangan di arena balap liar.

Selepas era 1960-an yang terinspirasi Hells Angels, kita juga mrlihat fenomena geng motor masih marak. Dengan sentuhan komedi, sineas kita meresponnya dengan The Tarix Jabrix (2008, sutr. Iqbal Rais). Film ini seakan menjadi antitesis dari geng motor yang brutal. Sekumpulan remaja pecinta motor (diperankan grup band The Changcuters) mendirikan geng motor baik-baik bernama Tarix Jabrix. Dalam perjalanannya, Tarix Jabrix harus berhadapan dengan geng motor jahat yang terdiri dari anak-anak orang kaya, The Road Devil.

Adegan film Tarix Jabrix (2008)

Sebagai antitesis, The Tarix Jabrix menawarkan kisah pertentangan kelas di antara pecinta motor. Di era sekarang, saat harga motor semakin terjangkau, semua kalangan bisa membeli motor. Film ini melandasi pada nilai-nilai bahwa kecintaan pada motor bisa berangkat dari kelas berpunya maupun kelas bawah.

Kita melihat Tria ingin bergabung dengan geng motor elit, tapi ia ditampik. Ia akhirnya mengajak teman-temannya satu kelas di SMA yang juga satu “kelas sosial” dengannya membentuk geng motor sendiri.

Makin mewabahnya motor juga bisa disaksikan lewat Bebek Belur (2010, sutr. Adrianto Sinaga). Film ini berlatar sebuah desa bernama Cibebek. Film ini terinspirasi dari iklan motor bebek Yamaha yang menampilkan kehidupan sebuah desa.

Poster film Bebek Belur.

Kisahnya tentang seorang kaya raya (Torro Margens) ingin menikahi kembang desa (Rini Yulianti). Padahal si kembang desa sudah punya kekasih, Dadan (Irwinsyah).

Film ini bukan tentang motor, namun motor sedikit banyak ikut berperan di film ini. Setidaknya, motor-motor yang bersliweran itu hendak mengatakan kini kendaran roda dua itu sudah merambah hingga pelosok desa. Sampai di sini kita melihat sebuah evolusi dari kendaraan si kaya yang memberontak menjadi milik semua kalangan hingga pelosok desa.*** (Ade/Feb)