Liputan6.com, Jakarta SPOILER ALERT: PERINGATAN! Ulasan ini mengandung bocoran cerita karena membincangkan inti film Inside Out.
Film teranyar persembahan studio animasi Pixar milik Disney, Inside Out sebetulnya punya jalan cerita begini: seorang bocah berusia 11 tahun bernama Riley (suaranya diisi Kaitlyn Dias) punya kehidupan bahagia di kota asalnya, Minnesota.
Baca Juga
Ia punya orangtua yang menyayanginya, teman-teman terbaik serta hobinya main hoki es tersalurkan di lingkungan Minnesota yang bersalju tebal bila musim dingin.
Advertisement
Tapi, suatu hari, orangtuanya memutuskan pindah ke San Francisco. Di kota yang baru, Riley begitu merindukan Minnesota dan segala kebahagiaannya di sana. Rumahnya di San Francisco begitu sempit. Ia canggung berteman dengan orang-orang baru. Mendadak pula, keahliannya berhoki seperti hilang.
Syahdan, Riley lalu berniat kabur. Bila semua kebahagiaannya ada di Minnesota, maka satu-satunya cara ia bisa bahagia kembali ya dengan kembali ke sana. Begitu ia berpikir.
Tekad sudah bulat. Ia kabur dari rumah. Namun, saat bus melaju ia berubah pikiran. Riley kembali ke rumah, ke pelukan ayah-ibunya. Tamat.
Begitu saja sebetulnya cerita Inside Out. Meski begitu, tentu bagi yang sudah menontonnya, yang saya tuliskan di atas hanya setengah dari yang disampaikan filmnya. Jika film keluaran Pixar ini hanya menyuguhkan cerita di atas saja, filmnya takkan jadi suguhan istimewa.
Namun, yang kita bicarakan ini adalah film keluaran Pixar. Studio animasi ini sudah sejak 20 tahun lalu melahirkan film-film animasi istimewa yang langsung jadi klasik, mulai dari Toy Story, The Incredibles, Monster Inc., Finding Nemo, Up, Ratatouille hingga Wall-E.
Inside Out juga bukan animasi biasa.
Kesan pertama usai nonton film yang dibesut Pete Docter ini bagi saya persis ketika menyaksikan Wall-E (2008).
Saya begitu terpukau ketika nonton Wall-E di bioskop dahulu. Wall-E membuktikan makna film sebagai film bergerak alias motion picture. Setengah jam pertama filmnya tanpa dialog, namun kita tetap memahami ceritanya.
Bagi saya pula, film tersebut sama kelasnya dengan 2001: A Space Odyssey (1968), masterpiece-nya Stanley Kubrick. Wall-E punya makna filosofis yang setara, bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam kosmos.
Yang lebih membuat Wall-E terasa unggul, ia film animasi yang ditujukan bagi semua umur. Bukan jenis film berat kelas festival. Artinya, ia berhasil menjelaskan hal filosofis dengan cara sederhana. Itu jelas satu nilai lebih.
Hal semacam itu pula yang kemudian saya temukan lagi usai nonton Inside Out. Filmnya semacam anti-tesis dari Inception-nya Christopher Nolan. Bukan maksud saya hendak bilang dua film itu punya tema serupa. Melainkan, bila Nolan menyampaikan gagasannya dengan njelimet—membuat penonton yang memahami filmnya merasa pintar—tak demikian dengan Inside Out. Film Pixar ini justru ingin menyederhanakan apa yang terasa rumit.
Saya teringat sebuah adegan di film Margin Call (2011) yang berkisah soal detik-detik keruntuhan finansial global, saat sang pengusaha yang perusahaannya hendak kolaps (diperankan Jeremy Irons) bertanya pada karyawannya, minta penjelasan. “… (P)lease, speak as you might to a young child. Or a golden retriever,” katanya.
Dan demikianlah Inside Out berbicara.
Teori Psikoanalisis Versi Pixar
Setengah dari Inside Out berlangsung di dalam kepala Riley. Dan bagian ini yang membuat cerita sederhana yang saya paparkan di awal tulisan ini jadi istimewa.
Filmnya mengandaikan di dalam setiap individu terdapat lima emosi yang terdiri dari Joy atau Senang, Takut atau Fear, Sedih atau Sadness, Marah atau Anger dan Jijik atau Disgust. Dibilang mengandaikan lantaran pada kenyataannya, manusia memiliki beragam emosi, tak hanya lima. Para ilmuwan masih berdebat tentang jumlahnya. Film ini hanya memilih lima demi kepentingan cerita.
Dalam kepala seseorang, film ini juga mengandaikan ada semacam ruang kendali seperti di anjungan pesawat antariksa di film Star Trek. Di tempat itu, kelima emosi menentukan sikap dan tindak tanduk Riley di dunia nyata. Saat Senang yang memegang kendali, Riley akan bahagia. Begitu seterusnya saat ia marah, takut, sedih atau merasa jijik.
Setiap ingatan, entah sedih, bahagia dan sebagainya menghasilkan bola bersinar yang kemudian terbang ke tempat yang dinamakan ingatan jangka panjang. Yang tak diingat dibuang ke jurang yang persis tempat pembuangan sampah akhir. Di situ, ingatan hilang bagai asap dan bola jadi menghitam.
Selain ingatan jangka panjang, ada pula ingatan-ingatan inti yang kemudian membentuk jati diri seseorang. Ingatan inti lahir dari sebuah momen krusial dalam hidup.
Pada diri Riley ada momen-momen penting yang jadi ingatan inti,seperti saat ia kecil bermain hoki, bercanda dengan ayah-ibu, main dengan sahabat, mengaku memecahkan benda dan beberapa lagi. Ingatan-ingatan inti membentuk pulau-pulau tersendiri—dinamakan pulau kepribadian--yang terhubung lewat sebuah jalur dengan ruang kendali. Ada Pulau Canda, Pulau Sahabat, Pulau Khayalan, Pulau Hoki, Pulau Jujur dan Pulau Keluarga.
Entah bagaimana, Sedih bergerak di luar kontrol. Ia tampak ingin mengendalikan panel kendali serta memegang bola-bola ingatan, mengubah bola bahagia jadi sedih bila disentuh. Yang artinya, Riley bakal sedih dan muram.
Senang tak ingin itu terjadi. Tugas para emosi adalah membuat hidup Riley bahagia. Ia tak butuh kesedihan.
Hingga suatu ketika, Senang dan Sedih terlempar dari ruang kendali. Maka, tersisa Takut, Marah dan Jijik saja. Hal itu menjelaskan tingkah laku Riley di dunia nyata yang di luar kelaziman. Ia mendadak tak pandai main hoki, tak bisa mengendalikan amarah, hingga kemudian mengambil keputusan kabur dari rumah.
Polah Riley itu pada gilirannya juga menghancurkan pulau-pulau kepribadiannya. Maka, Senang harus segera ke ruang itu dengan bantuan Sedih dan Bing Bong, sahabat khayalan Riley ketika balita.
Pertanyaannya, apakah demikian adanya yang terjadi di dalam kepala kita?
Hm, saya tak yakin begitu. Tapi coba bayangkan bila film ini rilis sebelum tahun 1890-an saat Sigmund Freud belum menuliskan teori psikoanalisis. Bisa jadi, apa yang dibayangkan Pete Docter di Inside Out bakal diterima sebagai kebenaran ilmiah: hanya ada 5 emosi inti dalam kepala kita berikut pulau-pulau kepribadian yang terhubung dengan ruang kendali macam di Star Trek.
Saya bayangkan psikologi dan neurologi sebagai cabang ilmu pasti bakal terasa lebih menyenangkan mirip sebuah film kartun.
Tapi, sejatinya, Inside Out bukan semata hendak berteori soal isi kepala manusia berikut pikiran dan emosinya. Ada pesan mulia yang disampaikan filmnya pada penonton: terkadang kita perlu sedih untuk kemudian merasa bahagia.
Ya, bila di awal film, kita melihat bagaimana Sedih merasa tak diperlukan. Dan bukankah demikian adanya? Tujuan hidup bukan untuk bersedih, melainkan bahagia. Di awal kisah, Senang tampak membatasi gerak Sedih agar Riley bahagia terus.
Namun pada akhirnya, Senang menyadari peran penting emosi Sedih dalam diri Riley. Kita melihat, di akhir, Senang membiarkan Sedih mengendalikan panel emosi. Di dunia di luar kepala, kita melihat Riley menumpahkan kesedihannya. Ia lalu merasa lega dan bahagia.
Percayalah, pesan demikian mulia itu rasanya hanya bisa disampaikan dengan baik oleh film-film bikinan Pixar. Studio animasi lain bakal lebih mementingkan kelucuan tanpa kedalaman makna untuk jadi pesan hidup.
Saya nonton Inside Out dua kali di bioskop bersama dua orang berbeda. Usai nonton dua kawan ini menyukai filmnya. Tapi, kedua orang yang tak saling kenal ini rupanya punya pandangan sama: Apa film tentang dunia emosi ini bakal dimengerti anak-anak?
Pertanyaan menarik. Dan jawabannya mungkin bisa iya, bisa tidak. Dikatakan iya bila kita melihat kenyataan bahwa film rilisan Pixar yang paling digemari anak-anak adalah Cars (bisa terlihat dari berbagai atribut Cars yang lebih banyak dari film Pixar lain), yang justru film Pixar yang kurang difavoritkan kritikus dibanding Wall-E, Up, Ratatouille atau Finding Nemo.
Namun bisa juga dikatakan tidak. Saya percaya, dengan caranya sendiri anak-anak akan menyerap pesan yang disampaikan Inside Out. Mengira mereka takkan mengerti apa isi film Inside Out seperti mengerdilkan potensi kecerdasan anak-anak.
Bagi saya, Inside Out tontonan cerdas bagi semua umur, sebuah masterpiece yang sekali lagi dilahirkan Pixar. *** (Ade/Feb)
Advertisement