Sukses

REVIEW Black Mass, Johnny Depp dan Glorifikasi Gangster di Film

Di Black Mass, Johnny Depp berperan sebagai sosok nyata bernama James “Whitey” Bulger, gangster Boston nan kejam.

Liputan6.com, Jakarta SPOILER ALERT! PERINGATAN Ulasan Black Mass ini bagi sebagian orang akan dianggap mengandung bocoran cerita.

Ketika menonton Black Mass, yang sedang diputar di bioskop, mudah sekali fokus kita tersita pada bintang utamanya, Johnny Depp (52).

Di film tersebut, Depp memang tampil lain sekali dari yang sudah-sudah—setidaknya dalam 13 tahun terakhir kariernya di jagat sinema.

Pada suatu masa, Johnny Depp pernah dianggap sebagai salah satu aktor terbaik dari generasinya. Dari satu film ke film lain, ia kerap menampilkan akting yang berbeda dengan hasil maksimal. Sosoknya persis bunglon.

Satu kali ia seorang robot berhati manusia (Edward Scissorhand), pria udik pemurung (What’s Eating Gilbert Grape?), penegak hukum yang larut dalam kehidupan gangster (Donnie Brasco), atau pemabuk penuh daya khayal (Fear and Loathing in Las Vegas).

Namun, sepanjang dekade 2000-an, masa saat berada di puncak karier, Depp justru terkungkung dalam satu peran tipikal: pria nan nyentrik yang ogah dewasa. Peran macam begitu pertama ia mainkan di Pirates of the Caribbean: Curse of the Black Pearl (2003), sebagai bajak laut Kapten Jack Sparrow.

Tiga aktor resmi bisa beradu akting dengan Johnny Depp dan Brenton Thwaites dalam Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales.

Peran tersebut begitu mengakar pada sosoknya (ia sampai memainkannya empat kali dan kini sedang syuting yang kelima). Meski main berbagai film selain waralaba Pirates of the Caribbean, kita kemudian hanya melihat satu sisi Johnny Depp, entah di Charlie and the Chocolate Factory, Alice in Wonderland, maupun Lone Ranger.

Sebuah tulisan di majalah Total Film pernah mengulas mengapa Johnny Depp terperangkap pada peran yang itu-itu saja. Jawabannya adalah ketenaran. Peran-peran kekanak-kanakan yang ia mainkan di Pirates of the Caribbean dan yang lain-lain telah membuatnya memuncaki karier, menjadikannya aktor dengan bayaran termahal, paling membuat untung studio film dan pada akhirnya membuat ia kaya raya.

Tapi untunglah, setelah kegagalan beberapa film terakhirnya, Depp sadar bahwa ia masih memiliki potensi sebagai Aktor dengan “A” besar. Ia sadar pernah jadi bunglon.
Dan kemampuannya itu kini diperlihatkannya lagi lewat Black Mass.

Trailer film Mortdecai menampilkan kekonyolan Johnny Depp sebagai tokoh utamanya.

Ya, Black Mass jadi pembuktian—terutama bagi generasi yang hanya mengenalnya sebagai Jack Sparrow—kalau ia aktor terhebat dari generasinya—generasi yang melahirkan Sean Penn, Robert Downey Jr., dan Tom Cruise.

Di Black Mass, Johnny Depp berperan sebagai sosok nyata bernama James “Whitey” Bulger, gangster Boston nan kejam.

Seperti kebanyakan film-filmnya, peran Bulger ini pun membutuhkan riasan wajah untuk menghidupkannya. Wajah tampannya nyaris terbenam di balik kepala setengah botak yang menyisakan rambut warna perak, serta hidung palsu.

Namun bedanya, kali ini Depp tak semata mengandalkan riasan. Sosok kekanak-kanakannya hilang berganti sifat bengis yang bikin ngeri penonton.

 

2 dari 3 halaman

Saat Gangster Jadi Pahlawan

Namun, masak sih Black Mass hanya patut diberi jempol lantaran penampilan Johnny Depp semata?

Bagi saya teramat mubazir bila film karya Scott Cooper (sebelumnya membesut Crazy Heart) ini hanya dinilai sebatas akting pemain utamanya. Akting sejatinya hanya salah satu unsur dalam film. Hanya peduli pada akting pemain seolah mengerdilkan unsur-unsur lain pembentuk sebuah film.

Black Mass adalah jenis film yang sudah langka dibuat Hollywood hari-hari ini. Mengangkat kisah gangster sesuatu yang jarang dilakukan Hollywood saat ini. Kita mafhum, film jenis ini kemungkinan membuat untung Hollywood sangat kecil. Mereka kini lebih senang membuat film yang berbujet maksimal macam film-film superhero.

Film Black Mass yang dibintangi oleh Johnny Depp. (Warner Bros. Pictures)

Padahal, pencinta sinema tentu takkan pernah lupa, Hollywood juga pernah menghasilkan film-film bertema gangster yang kini jadi klasik macam trilogi The Godfather, Once Upon a Time in America, The Untouchables, Goodfellas, Gangs of New York, serta The Departed. Terakhir kali, yang saya ingat, film macam begini yang rilis adalah American Gangster (2007) yang mempertemukan Denzel Washington dan Russell Crowe.

Jauh sebelum Hollywood kepincut dengan film superhero, mereka pernah begitu jatuh cinta pada gangster. Di buku kecil nan penting seri Sinema dalam Sejarah: Gangster dan Detektif (edisi terjemahan diterbitkan KPG, 2010) diterangkan, Hollywood jatuh cinta lebih dulu pada gangster ketimbang penegak hukum.

Salah satu film cerita awal yang dibuat tahun 1912 saat era film bisu oleh D.W. Griffith, The Musketeers of Pig Alley mengisahkan gangster dan kejahatan terorganisasi di kawasan kumuh New York. Filmnya menampilkan aksi kejahatan gangster berupa adegan baku tembak, perampokan dan korupsi di kepolisian.

Alex Rocco dalam film The Godfather.

Di era Depresi Besar dan terutama setelah undang-undang anti miras atau Prohibition diterapkan, gangster menjadi bagian kehidupan tak terpisahkan dari masyarakat Amerika masa itu. Film-film gangster menjadi populer setelah baku tembak mafia menjadi berita utama koran-koran dan muncul film bersuara di Amerika pada 1930-an. Masa itu, lahir film-film gangster macam Little Caesar (1930), The Public Enemy (1931), Scarface (1932), hingga The Roaring Twenties (1939).

Khawatir para gangster yang sejatinya pelanggar hukum kian dijadikan pahlawan di layar lebar, pemerintah kemudian mengeluarkan apa yang disebut Peraturan Produksi Hays tahun 1934 yang membatasi seks dan kekerasan di layar lebar. Cara pandang Hollywood pun lalu berubah. Mafia atau gangster ditempatkan sebagai penjahat dan polisi yang tadinya tak berdaya menjadi pahlawan Hollywood.

Salah satu film yang lahir sebagai buah peraturan itu adalah G-Men, rilis 1935, yang mendokumentasikan kelahiran Biro Penyelidik Federal atau FBI. Filmnya menggunakan gaya sinematik film gangster namun menempatkan penegak hukum sebagai pahlawan hebat.

Pada perkembangannya kemudian yang dilahirkan sinema tidak selalu hitam putih. Gangster tak selalu digambarkan sebagai penjahat. Pun polisi tak selalu baik.

Nah, jika demikian adanya, bagaimana lantas mendudukkan Black Mass-nya Johnny Depp ini?

 

3 dari 3 halaman

Kenapa Kita Suka Film Gangster?

Sebelum mengulasnya lebih jauh, mari kita bicarakan satu hal di film lain.

Ada satu momen di film lain yang saya ingat ketika menonton Black Mass. Momen itu dari film The Godfather part II (1974). Adegan di The Godfather part II tersebut yakni saat pebisnis yang juga mafia Kuba, Hyman Roth berulang tahun. Ia merayakannya dengan para bos mafia lain, termasuk Michael Corleone (Al Pacino). Di beranda kamar hotelnya, Roth membagi-bagikan kue ulang tahun pada para tamunya. Uniknya, kue ultahnya bergambar peta negeri Kuba.

Adegan itu kerap ditafsirkan saat para mafia membagi-bagi Kuba, yang baru akan lahir kembali oleh revolusi, sekehendak hati mereka seperti sebuah kue yang dipotong-potong.

Adegan tersebut juga yang membedakan fokus film The Godfather kedua dengan yang pertama. Jika film pertama berfokus pada drama keluarga, film kedua sejatinya drama bisnis. Film pertama tentang bagaimana anak yang sebetulnya tak disiapkan jadi pewaris kerajaan mafia, mengambil alih tampuk pimpinan dengan terpaksa. Tapi kemudian ia tampil menjadi pemimpin mafia yang disegani, sama terhormatnya dengan pendahulunya.

Sementara itu, film kedua berkisah bagaimana sang pemimpin tersebut melebarkan sayap bisnisnya, memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya.

Al Pacino sebagai Michael Corleone dalam The Godfather (Foto: parade.com)

Sampai di sini, Black Mass dapat dilihat sebagai drama bisnis dengan sedikit bumbu drama keluarga khas film mafia/gangster.

Jika dicermati, kisah Black Mass dapat disederhanakan begini. Seorang penjahat kelas teri di wilayah Boston Selatan direkrut menjadi informan penting FBI demi membekuk penjahat lain. Yang terjadi kemudian, si penjahat kelas teri ini berkembang biak jadi kelas kakap. Pertama, lantaran posisinya sebagai informan FBI membuatnya seolah kebal hukum; kedua, FBI menggulung penjahat lain yang jadi saingannya dan membuatnya jadi penguasa sendirian.

Dikatakan, Black Mass punya sedikit bumbu drama keluarga lantaran kita melihat hubungan erat seperti saudara antara si gangster Whitey Bulger (Johnny Depp) dengan si agen FBI John Connolly (Joel Edgerton). Mereka sama-sama tumbuh di Boston Selatan.

Satu hal yang juga mencuri perhatian di film ini selain akting Depp, terdapat pula karakter yang dimainkan Edgerton. Sebagai agen FBI yang terlibat terlalu dalam dengan Bulger, Connolly susah membedakan mana baik dan buruk, mana penjahat mana orang baik. Pada akhirnya pula, ia disebutkan tak pernah memberi kesaksian yang memberatkan Bulger dan memilih meringkuk di penjara.

Film Black Mass yang dibintangi oleh Johnny Depp. (Warner Bros. Pictures)

Balik lagi ke tradisi film gangster Hollywood, apakah Black Mass jadi bagian dari glorifikasi kehidupan gangster dalam sinema?

Di laman Newyorker pada 16 September lalu, Maria Konnikova menulis artikel pendek berjudul “Why Do We Admire Mobsters?”. Ia menganalisis akar kecintaan kita pada sosok gangster, mafia, atau mobster.

Bertanya pada James Finckenauer, profesor emeritus di Rutgers University yang juga menulis buku Mafia and Organized Crime: A Beginner’s Guide, kecintaan masyarakat pada sosok gangster dimulai pada masa Prohibition, yakni saat miras diharamkan sebagai pelaksanaan UU Volstead.

Artinya, hal itu seturut dengan dimulainya film-film bertema gangster seperti diterangkan di atas. Asal tahu saja, undang-undang anti miras bukan undang-undang populer di Amerika pada dekade 1920-an. Para gangster yang kemudian menjadi penjual gelap miras lantas dianggap pahlawan.

Penyebab lain, tulis Konnikova, berkaitan dengan perangai gangster. Meski sejatinya seorang pelanggar hukum, para gangster biasanya penyayang keluarga dan pelindung dari lingkungan tempatnya tinggal. Tengok saja film The Godfather, Don Vito Corleone (Marlon Brando) digambarkan sebagai kepala keluarga yang mencintai anak-anaknya. Ia juga membantu banyak keluarga keturunan Italia lainnnya di lingkungannya. Di awal The Godfather, Don Corleono, yang tengah menikahkan putrinya, diminta bantuan oleh seseorang yang putrinya baru saja dipukuli berandalan.

Gaun Pengantin The Godfather. (foto: popsugar)

Pun begitu dengan sosok James “Whitey” Bulger ini. Ia begitu menyayangi anak semata wayangnya. Ia juga melindungi lingkungan tempatnya tinggal. Di film digambarkan, ia menolong seorang wanita renta.

Penyebab lain lagi, kata Konnikova, alasan psikologis menyertai rasa kagum kita pada sosok gangster. Katanya, para gangster adalah bagian dari masa lalu yang indah. Kehidupan para gangster—berikut kode dan tata perilakunya—bagian dari romantisisme. Ia menggambarkan kehidupan masa lalu yang lebih teratur dan tertata ketimbang zaman sekarang yang kacau, semrawut, tanpa aturan maupun tata perilaku.

Saat menonton Black Mass, saya duduk di sebelah seorang teman yang tak sanggup nonton film horor. Saya bertanya padanya, “Nggak takut atau ngeri nonton film penuh bunuh-bunuhan begini?”

Dia menjawab, “Kalau bunuh-bunuhan nggak, tapi kalau dikagetin setan saya takut.”

Hm, mungkin kita senang nonton film gangster, macam Black Mass, ini se-simple lantaran filmnya menawarkan hasrat bawah sadar kita nan primitif yang gemar kekerasan. Mungkin.*** (Ade/Rul/Sar)