Sukses

The 90’s Festival: Big Reunion, Nostalgia Dekade Terbaik Terakhir

Wartawan kami, seorang generasi 1990-an, nonton konser musik The 90’s Festival: Big Reunion. Ini ulasannya.

Liputan6.com, Jakarta Jakarta diguyur hujan deras, Sabtu (7/11/2015) siang hingga sore kemarin. Wilayah sekitaran Senayan, Jakarta Pusat tak kebal guyuran air dari langit. Namun, hujan tak mampu membendung orang-orang berdatangan ke Istora Senayan. Sore kemarin ada hajatan besar di sana: konser musik 1990-an alias The 90’s Festival: Big Reunion.

Siapakah yang boleh menyebut diri generasi 1990-an?

Merujuk buku Generasi ‘90-an karya Marchella FP (terbit 2013) yang penuh ilustrasi keren, generasi ini adalah mereka yang tumbuh di era 1990-an, khususnya yang di dekade itu masih duduk di bangku sekolah (SD-SMP-SMA).

Jika di tahun ’90-an masih di bangku SD, maka menginjak 2015 mereka rata-rata berusia di atas 25 tahun hingga akhir 30-an. Dan memang wajah-wajah berusia seperti itu yang kebanyakan datang ke arena festival. Kebanyakan datang berkelompok-kelompok atau berpasangan. Semuanya, sekitar 5 ribuan orang, ingin bernostalgia, mengenang lagi masa kecil dan ABG yang indah.

Hujan kemarin tak ayal membuat acara nostalgia sedikit terganggu. Jadwal konser di tiga panggung musik yang tersedia molor menunggu hujan usai. Saat rintik hujan mulai reda, keriaan sesungguhnya baru dimulai.

Protonema manggung di The 90's Festival: Big Reunion, Sabtu (7/11/2015). (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Diawali di panggung utama dalam gedung Istora. Protonema membuka konser. Bagi generasi ’90-an, band ini paling diingat lewat lagunya “Rinduku Adinda” dan “Kiranya”. Band ini telah ditinggal sang vokalis, Micko yang tutup usia tahun 2008 silam akibat serangan jantung.

Di panggung, istri Micko, Vivie muncul berduet dengan vokalis anyar. Dua lagu hits itu pun dinyanyikan dengan nuansa berbeda. Ada rasa haru, selain nostalgia.

Refrain lagu “Rinduku Adinda” jadi terasa lain maknanya: “Adinda, coba rasa cintaku di dada/Sesungguhnya cukup lama rinduku kutunda/Oh adinda oh cintaku/Coba renungkan aku/ Aku rindu padamu.”

Protonema usai manggung kami beranjak ke luar gedung. Langit sore masih tersisa. Kami memanfaatkan momen mengitari venue yang tak hanya diisi dua panggung di luar gedung dan satu panggung di dalam gedung. Berbagai stand suvenir, makanan dan minuman tersebar.

Melewati stand-stand suvenir saya seperti diajak naik mesin waktu, masuk ke era 1990-an. Di sana saya melihat mainan masa kecil macam game watch atau game boy, Nintendo era ’90-an yang biasa memainkan game Mario Bros, arena Tamiya, dingdong, hingga jajanan 1990-an yang dijual dalam kotak merchandise dari kardus.

2 dari 3 halaman

Budaya Pop 1990-an

Budaya Pop Dekade 1990-an

Mari bicara sejenak tentang dekade 1990-an. Wajah dunia terasa berbeda di tahun 1990-an. Perbedaan itu yang kadang bikin kangen. Memangnya, kenapa dekade ’90-an bikin kangen?

Oh, banyak alasannya. Rasanya di tahun 1990-an suhu Bumi tak sepanas sekarang. Jalanan juga tak semacet saat ini. Hidup juga terasa nyaman dan teratur. Untuk janjian dengan teman atau pacar, misalnya, harus tepat waktu. Dulu tak bisa SMS, BBM atau Whatsapp sebelum ketemuan.

Dan terutama, budaya pop 1990-an paling keren dan paling bikin kangen. Bagi anak kecil masa itu ada majalah Bobo, komik Donal Bebek, Doraemon, Kung Fu Boy yang jadi teman setia.

Anak-anak 1990-an juga punya hiburan musik yang lebih sehat dibanding anak kecil zaman sekarang. Dulu, lagu anak-anak ya untuk anak. Tidak ada anak kecil menyanyikan lagu dewasa, apalagi lagu anak bertema pacaran. Nggak ada itu. Dulu, ketika kecil kami dihibur Trio Kwek Kwek, boneka Susan dan Ria Enes, Enno Lerian serta Joshua.

Mainan Tamiya khas 1990-an. (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Sedikit beranjak remaja bacaan kami adalah tabloid Fantasi, majalah Gadis dan majalah Hai. Mainannya dingdong. Koleksinya kartu basket pemain NBA. Yang sedikit berada koleksi mainan mobil Tamiya dan Nintendo.

Tontonannya kartun Doraemon, Sailor Moon, Candy Candy, Saint Seiya atau juga Kstaria Baja Hitam. Sinetron kesukaannya Tersanjung, Gara Gara, Si Manis Jembatan Ancol dan tentu saja, Si Doel Anak Sekolahan. Serial film Barat favoritnya Mac Gyver, Knight Rider, Airwolf, Miami Vice, Beverly Hills 90210, Melrose Place, Friends dan The X-Files. Dari Jepang, generasi ini jatuh cinta dengan Rika Akana di Tokyo Love Story. Di bioskop, anak 1990-an terpesona Ghost, Pretty Woman, Terminator 2: Judgement Day, Speed, Forrest Gump, Titanic dan The Matrix.

Buat yang di Jakarta, nongkrongnya di mal Pondok Indah (kini PIM 1), Blok M Plaza serta Plaza Senayan. Atau juga sempat jajan malam-malam di warung tenda, terutama di warung tenda Semanggi.

Masa itu juga dikenang saat demo mahasiswa malah dapat simpati, bukan maki-maki. Kita ingat gara-gara krismon (krisis moneter) dollar melambung tinggi. Jakarta rusuh pada 1998. Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa menumbangkan Soeharto dan rezim Orde Baru.

Mainan khas 1990-an, dingdong. (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Sabtu (7/11/2015) kemarin, kami, generasi ’90-an, mengenang yang serba menyenangkan dari era itu. Terutama dari suguhan musiknya.

Almarhum pengamat musik Denny Sakrie di buku 100 Tahun Musik Indonesia (2015) menyebut pada era ini musik pop berkembang pesat. Ia menyebut tiga band paling berjaya masa itu dengan penggemar fantastis: Kla Project, Dewa dan Slank.

Tentu, 1990-an bukan cuma milik mereka bertiga. Perkembangaan dunia televisi kala itu berpengaruh besar membentuk wajah musik kita. Kelahiran televisi swasta membawa angin segar bagi jagat musik. Musisi jadi punya tempat lebih banyak menyalurkan kreasinya.

Videoklip menjamur. Kita kenang dekade ’90-an sebagai masa paling produktif Richard Buntario dan Rizal Mantovani. Ya, kebanyakan videoklip tahun-tahun itu dibikin mereka berdua. Kita ingat, misalnya, Richard biasa bikin videoklip dengan dominasi nuansa warna putih, sedang Rizal nuansa merah dan kadang futuristis.

Generasi 1990-an sebetulnya mudah saja bila ingin bernostalgia dengan musik dan videoklip era mereka. Situs berbagi video macam YouTube menyediakan ratusan videoklip era tersebut. Saya yakin, kita semua, yang mengaku diri generasi ’90-an, pasti kerap membuka YouTube entah di telepon genggam, tablet, laptop atau komputer di kantor nonton videoklip-videoklip lawas.

3 dari 3 halaman

Nostalgia dan Usia

Nostalgia Ingat Usia

Maka, sejatinya, festival musik macam The 90’s Festival ini memindahkan apa yang kita bisa lihat saban waktu di You Tube ke dunia nyata. Kita diajak lagi melihat idola kita di masa lalu secara langsung. Maka pula, yang kita lihat adalah Iwa K tambah 20 tahun, personel Coboy tambah 25 tahun, Bening tambah 20 tahun, Jingga, Rida, Sita, Dewi (RSD), P Project, Kla Project, Bayou, Base Jam dan seterusnya.

Sungguh menarik menyaksikan para idola 1990-an menyanyi lagi di panggung. Selain bernostalgia dengan masa muda, tema utama obrolan di setiap panggung yang saya saksikan adalah usia. Para pengisi acara kerap mengingatkan bahwa mereka dan kami penontonnya tak lagi muda. “Nggak apa-apa nih sampai malam nonton konser musik?” kata Sigit, salah satu vokalis Base Jam di tengah pentas Base Jam Reunion. “Sudah cek kolesterol?” katanya berkelakar.

Reuni Base Jam jadi salah satu penampilan konser paling baik di antara para penampil malam kemarin di mata saya—walau minus personel favorit saya, Anya. Energi personel Base Jam masih sama seperti tahun 1990-an. Terutama Adon. Tenaganya seolah tak berkurang dimakan usia. Adon masih akrab menyapa penonton konser selayaknya ia sedang manggung di tahun 1990-an. Ia, misalnya menyapa penonton begini, “Siapa yang malam ini bawa gandengan atau pacar?”

Base Jam manggung di The 90's Festival: Big Reunion, Sabtu (7/11/2015). (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Hm, kebanyakan dari kami tak bawa pacar semalam, tapi suami atau istri yang dulu sama-sama suka musik Base Jam.

Di panggung kelihatan, faktor usia tak bisa membohongi penampilan para pementas. Iwa K dan rapper alumni Pesta Rap, Neo dan Sweet Martabak memang mampu menggoyang panggung, bikin penonton berjingkat dan lupa usia dengan lagu-lagu rap era ’90-an macam, “Nombok Dong”, “Malam Ini Indah”, “Bebas” milik Iwa K atau “Cewek Matre”, “Ti did it (pager)”, “Borju”, “Tono Tini”, dan “Boss”.

Iwa K dan para rapper telah tampil maksimal bikin kita berjingkrakan. Tapi kelihatan Iwa tampak letih. Alhasil lagu paling favorit Iwa versi saya, “Batman Kasarung” pun tak dimainkan. “Mungkin karena (faktor) usia juga,” kata seorang penonton pada saya.

Iwa K saat tampil di The 90's Festival: Big Reunion, Sabtu (7/11/2015) di Istora Senayan, Jakarta Pusat. (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Reuni Rida, Sita, Dewi di panggung utama juga kerap mengingatkan kita betapa jauhnya masa-masa 1990-an dari sekarang. “Lagu-lagu RSD itu banyak yang galau, sebelum kata galau ngetop,” begitu kata Dewi. “Semoga yang dulu galau, sekarang sudah nggak galau lagi,” katanya juga disambut tawa.

Personel RSD menunjukkan di panggung perubahan fisik nyata dari masing-masing. Rida Farida kini berhijab. Baik wajah dan fisik Rida, Dewi Lestari dan Sita Nursanti kian menunjukkan usianya. Di jeda lagu, mereka kerap minum, mengatur napas, dan rehat sejenak.

Meski usia telah menggerus kekuatan fisik para idola ‘90-an, kita masih bisa melihat bekas-bekas pesona fisik mereka di balik tubuh yang kini kian gemuk atau rambut yang sudah ditutupi hijab (selain Rida RSD, Dita dari Bening juga berhijab). Adon dan Sigit dari Base Jam masih seperti dulu kita ingat mereka. Begitu juga personel Coboy, Ferry, Ali, Ponco dan Gilbert.

Aksi Coboy di The 90's Festival: Big Reunion, Sabtu (7/11/2015). (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Ada momen lucu saat saya nonton Coboy beraksi semalam. Para wanita menyoraki para personel tapi kemudian mereka tertawa. Mungkin mereka malu sendiri, mengingat masa jadul meneriaki nama sang idola dulu, dan tersadar berapa usia mereka kini.

Perubahan fisik juga terlihat dari para personel P Project. Daan, Denny, Iszur dan Iang tampak sebagaimana pria yang menginjak usia 40-an tahun. Namun, selain fisik, kepiawaian mereka membanyol tetap tak hilang. Maka, selain disuguhi lagu-lagu parodi seperti “Antrilah di Loket”, “Mencontek” ataupun “Kalau Sempet”, kita juga disajikan lawakan yang mengocok perut.

Generasi sekarang boleh saja dibuat tertawa oleh lawakan cerdas ala stand up comedy, tapi generasi 1990-an dulu sudah punya lawakan cerdasnya sendiri, terutama antara lain dari kelompok P Project.

P Project manggung di The 90's Festival: Big Reunion, Sabtu (7/11/2015). (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Yang juga fisiknya tampak berubah dari era 1990-an adalah Frente. Di atas panggung kita menyaksikan Simon Austin dan Angie Heart. Tapi Simon tampak kian tambun, sedang Angie yang dulu imut dan manis kini tampak menua. Rambutnya juga tak lagi pendek, tapi panjang menggerai.

Yang tidak berubah, suara dan musikalitasnya. Frente berhasil menyajikan penampilan panggung yang asyik walau kebanyakan lagu mereka bahkan terasa asing bagi generasi 1990-an. Suara Angie masih manis. Cengkoknya masih sama seperti saat kita mengenalnya dulu bertahun-tahun lalu. Dan ketika lagu kebangsaan 1990-an “Bizarre Love Triangle” dinyanyikan band asal Australia ini semua penonton kompak nyanyi.

Frente manggung di The 90's Festival: Big Reunion, Sabtu (7/11/2015). (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Puncak pertunjukkan di 90’s Festival diisi Kla Project. Band ini, tentu saja, salah satu penguasa lanskap musik pop kita di tahun 1990-an. Meski lahir 1988, Kla Project bersinar terang benderang sepanjang decade berikutnya. Mereka memang yang paling pantas memuncaki acara reuni akbar generasi yang turut membesarkan mereka pula.

Para personel Kla Project tampil di panggung sambil menolak tua. Katon berjingkrakan menyanyikan lagu Kla Project. Setelah empat lagu, Katon turun panggung. Posisi vokal diisi Lilo. Ia menyanyikan lagu Kla Project bernunsa rock. Setelah dua lagu, Lilo istirahat. Adi mengisi panggung dengan permainan kibornya. Setelah lima menitan, Katon dan Lilo muncul lagi di panggung.

Kla Project mengajak penonton bernostalgia dengan lagu-lagu hits mereka seperti “Menjemput Impian”, “Terpurukku di Sini” dan ‘Tak Bisa ke Lain Hati”. Acara nostalgia anak ’90-an ditutup oleh Kla Project dengan dua lagu sekaligus “Yogyakarta” dan “Tentang Kita”.

Segala genre musik pop dan hip hop yang tersaji di 90’s Festival, Sabtu (7/11/2015) jadi bukti dekade 1990-an menginggalkan warisan berupa harta karun musik berkualitas. Musik pop kreatif ala Kla Project, Bunglon, Java Jive, RSD,dan Jingga, pop rock ala Base Jam, Bayou, dan Protonema, rap ala Iwa K, Neo dan Sweet Martabak, serta musik parodi P Project tak kita temukan lagi di era sekarang.

Kla Project manggung di The 90's Festival: Big Reunion, Sabtu (7/11/2015). (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Jika ada yang bilang kualitas musik zaman sekarang mengalami kemunduran dibanding era 1990-an benar adanya.

Izinkan saya menutup ulasan ini sambil menyitir sebuah studi yang mengiringi tayangan seri dokumenter spesial The 90’s: The Last Great Decade? di saluran National Goegraphic beberapa waktu lalu.

Dalam survey yang dilakukan National Geographic Channel dengan Kelton Global, masyarakat AS percaya, dekade 1990-an adalah “the last of the good old days.” Sebanyak 77 persen merasa negeri mereka lebih baik pada dekade 1990-an dibanding sekarang, lalu 74 persen merasa pada 1990-an lebih aman daripada saat ini.

Saya pun merasa hari-hari terbaik paling akhir kita rasakan di tahun 1990-an. Bagi kami, yang nonton The 90’s Festival: Big Reunion kemarin, 1990-an adalah dekade terbaik terakhir.** (Ade/Feb)