Liputan6.com, Jakarta Finalis Putri Indonesia 2011, Shinta Indra Maya tampil apik memerankan tokoh Fatmawati dalam sebuah pementasan teater berjudul Bung Dimana Bung. Padahal, diakui olehnya jika persiapan dalam pementasan tidak dilakukan dalam waktu lama. Shinta dan rekan-rekannya di komunitas budaya Guntur 49 hanya memiliki waktu 10 hari untuk berlatih.
“Tapi, untungnya saat hari H, semua berjalan lancar, dan alhamdulillah pementasannya sempurna," kata Shinta usai pementasan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, baru-baru ini.
Baca Juga
Puteri Indonesia Lingkungan Sophie Kirana Cuek Bantu Steam Pakaian sampai Memijat Finalis Miss International 2024 Jelang Final
Pesona Puteri Indonesia Lingkungan 2024 Sophie Kirana Berkebaya Saat Mengikuti Karantina Miss International
Harashta Haifa Zahra dalam Peran Jadi Miss Supranational 2024 dan Jurus Advokasi Sampah Makanan
Advertisement
Awalnya, dikatakan Shinta, dirinya didapuk memerankan karakter Utari yang juga istri Soekarno. Tapi, karena waktu yang terbatas, durasi pementasan dikurangi, sehingga ia berganti peran menjadi Fatmawati.
“Referensi saya banyak baca tentang Fatmawati. Kebetulan saya juga kuliah di Universitas Bung Karno jadi biasa lihat tentang beliau. Baik di perpustakaan, teman juga dosen," kata dia.
Selain Shinta, pementasan "Bung... di Mana Bung" juga diperankan sejumlah nama lain. Di antaranya Krt Agus Istijanto, Eko Winardi, Ika Medika, Sunarto, J Sumarlin Hadi Joban, dan lainnya.
Pementasan teater sendiri dipentaskan oleh Komunitas Budaya Guntur 49. Pementasan berlangsung di sela-sela pengukuhan Dewan Pengurus Pusat Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Pementasan disutradarai oleh seniman yang juga aktivis Isti Nugroho ini bercerita tentang perjalanan Sukarno, seorang bapak bangsa yang justru mendapat tekanan di akhir masa hidupnya.
Cerita dimulai ketika Sukarno tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto. Di situ, Sukarno muda menyerap, memahamim, dan mendalami pemikiran Islam dari sang guru besar tersebut.
Sukarno muda yang kerap terlibat langsung dan kuyub dalam pergolakan politik kemerdekaan saat itu mengawali proses pendewasaan dan kematangan berpikirnya di rumah yang juga disebutnya sebagai "Dapur Revolusi".
Hingga, pada langkahnya menuju kemerdekaan, di rumah itulah Sukarno untuk pertama kalinya mendapatkan pengalaman mengenai gairah dan energi politik untuk mempersiapkan perlawanan terorganisasi melawan pemerintah kolonial Belanda.