Sukses

REVIEW Pentas Nyonya Nomor Satu, Apa di Balik Tawa Tiada Henti?

Kenapa lakon Nyonya Nomor Satu yang dipentaskan sebagai program Indonesia Kita ke-18 ini mengangkat kisah kelompok tonil yang bangkrut?

Liputan6.com, Jakarta Baiknya saya kutip dahulu sinopsis dari rilis pers yang dibagikan ke media sebelum nonton pentas Nyonya Nomor Satu yang berlangsung Jumat (27/11/2015). Begini sinopsisnya:

"... (D)engan latar belakang kelompok tonil/stamboel yang mulia bangkrut. Para bintang lama di kelompok itu mulai gelisah, karena kini mereka bagai hanya tinggal sebagai ssebuah monemen kenangan. Sementara mereka terus berusaha untuk tetap eksis dalam dunia hiburan panggung.

"Di tengah situasi yang menggelisahkan seperti itu, muncul pemain kelompok Stamboel Komedi yang membuat kaget kelompok tersebut. Ia yang dulu hanya kebagian peran-peran kecil, kini telah kaya raya dan menganggap dirinya sebagai Nyonya Nomor Satu, selalu ingin menjadi yang utama dan menjadi primadona. Ia mau menolong menghidupkan kembali kelompok kesenian itu dengan satu syarat: ia menjadi primadona utama. Dengan kekayaan yang dimilikinya, ia merasa bisa mengatur segalanya, termasuk cerita dan lakon yang akan dipentaskan.

"Sementara itu, ada tokoh calon primadona yang lebih disukai dan diharapkan menjadi bintang di kelompok itu. Maka persaingan di antara keduanya pun terjadi, tak hanya perebutan peran sebagai primadona, tapi juga perebutan kisah cinta yang membuat suasana kelompok itu makin kusut. Upaya permainan dukun, jampi-jampi bahkan intrik-intrik antar pemain membuat situasi bertambah konyol dan kocak. Hingga akhirnya, terbongkarlah rahasia yang selama ini ditutup-tutupi."

Pementasan teater Nyonya Nomor Satu, Jumat (27/11/2015). (foto: Faisal R. Syam/Liputan6.com)

Sinopsis itu pegangan kami sebelum menonton pentas. Namun, yang kami saksikan di panggung bikin kami lupa sinopsis ceritanya.

Pentas dimulai suguhan nyanyi luar biasa menawan dari Koes Hendratmo. Ia mengenakan tuksedo hitam mendendangkan "Payung Fantasi" ditemani penari-penari latar yang bergoyang sambil membawa payung warna warni. Bagi genrasi 1980-an dan awal 1990-an, lagu ini paling dikenal sebagai pengiring kuis Siapa Dia yang pertama hadir di TVRI dengan liriknya, "Wajah sembunyi di balik payung fantasi/hey-hey siapa dia..."

Tentu saja, yang mengerti sejarah musik Indonesia, lagu itu digubah Ismail Marzuki, seorang pelopor musik Indonesia modern yang namanya didedikasikan sebagai kompleks kesenian di Jakarta, tempat pentas Nyonya Nomor Satu berlangsung. Melihat Koes Hendratmo bernyanyi "Payung Fantasi", saya melihatnya seperti Frank Sinatra bernyanyi. Hanya bedanya, Koes tampak lebih banyak senyum dan kelewat riang dibanding Sinatra. Ia seperti Sinatra versi lebih dandy.

Pementasan teater Nyonya Nomor Satu, Jumat (27/11/2015). (foto: Faisal R. Syam/Liputan6.com)

Usai Koes Hendratmo menyanyi, muncul Titiek Puspa, salah satu legenda hidup musik kita. Seperti menolak tua, ia mendendangkan dengan riang lagu miliknya, "Mari ke mari."

Begini katanya, "Marilah kemari hey hey hey hey/ hey kawan/ Akulah di sini hey hey hey hey/ hey kasih/ Mari bergembira, bersama-sama/ Hilangkan hati duka lara."

Pementasan teater Nyonya Nomor Satu, Jumat (27/11/2015). (foto: Faisal R. Syam/Liputan6.com)

Lagu Titiek Puspa tersebut menjadi petunjuk yang akan kita saksikan berikutnya dalah pentas yang riang, mengajak "bergembira bersama" untuk "hilangkan hati duka lara." Seketika kita bertemu sebuah panggung dengan properti berupa pintu gerbang sebuah panggung pertunjukan komedi stamboel Bintang Timur. Loket karcis diberi pengumuman bertuliskan "Tutup". Kita melihat tiga bekas karyawan kelompok komedi itu luntang lantung tak karuan di depan gedung.

Di sini, kita melihat para aktornya bercanda mulai mengocok perut kita. Kepada kita, penonton, kita tahu mereka sedang resah lantaran kelompok tonil mereka bangkrut. Tapi alih-alih bersedih, mereka malah melawak, berkomedi ria pada kita. Lalu muncul Tarsan, sebagai bos mereka hendak menawarkan pesangon.

Di lain waktu, muncul seorang perempuan paruh baya dengan dandanan menor. Si nyonya ini wanita kaya raya, yang ditemani dua pelayan. Ia hendak membeli kelompok pertunjukan tonil demi memenuhi ambisnya tadi, jadi nomor satu. Tapi rupanya, Tarsan juga punya putri jelita yang digadang-gadangkan hendak pula jadi nomor satu, sang primadona baru.

Cerita persaingan antar primadona adalah kisah klasik bagi sebuah latar cerita sebuah kelompok seni pertunjukan. Kisah begini sudah lazim di mana-mana. Novel roman Primadona milik N. Riantiarno, misalnya, bercerita tentang persaingan sang primadona lama dengan primadona baru.

Di Nyonya Nomor Satu hanya muncul sedikit kesan persaingan itu. Yang mendominasi adalah lawakan ala Srimulat yang berhasil mengocok perut kami tiada henti semalam.

Maka kemudian saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa lakon yang dipentaskan sebagai program Indonesia Kita ke-18 ini mengangkat kisah nasib gedung pertunjukan yang tengah bangkrut serta persaingan dua idola, lama dan baru?

Pementasan teater Nyonya Nomor Satu, Jumat (27/11/2015). (foto: Faisal R. Syam/Liputan6.com)

Di luar segala tawa yang mengocok perut--sebagaimana ciri khas pementasan Indonesia Kita garapan trio Butet Kartaredjasa, Agus Noor dan Djaduk Ferianto--bolehlah kita memaknai pementasan Nyonya Nomor Satu sebagai komentar atas dunia komedi kita. Bila dihubungkan dengan dunia komedi saat ini, yang tengah digandrungi orang dan kini jadi budaya pop mainstream adalah lawakan model stand up comedy. Kepopuleran jenis komedi begini selama tiga tahun terakhir boleh dikata meminggirkan jenis-jenis komedi lain, termasuk gaya Srimulatan.

Nah, pentas Nyonya Nomor Satu hendak membuktikan, sejatinya gaya komedi kita tak pernah satu. Dan di situ justru yang bikin Indonesia kaya. Di ranah budaya pop mainstream (baca: tontonan TV), gaya Srimulatan mungkin kini tak sedang jadi primadona. Tapi bukan berarti model komedi begitu tak lagi bisa menghibur kita.

Pementasan teater Nyonya Nomor Satu, Jumat (27/11/2015). (foto: Faisal R. Syam/Liputan6.com)

Tarsan, Cak Lontong, Susilo Nugroho, Yu Ningsih, Trio GAM (Gareng, Joned, Wisben) dan lainnya plus Happy Salma, sebagai si primadona baru, telah berhasil meyakinkan kita model komedi Indonesia sejatinya kaya, tak tunggal.

Di panggung Nyonya Nomor Satu, Butet Kartaredjasa menyebut kerja yang dilakukannya sebuah "ibadah berkesenian." Saya hendak menambahinya, yang mereka lakukan bareng Djarum Apresiasi Budaya ini semalam dan hari ini, Sabtu (28/11/2015) juga upaya merawat model komedi kita. Di balik bahak tawa ada niatan mulia tersebut.** (Ade/Adt)