Liputan6.com, Jakarta - Pengantar: Bulan Desember 2015 rilis Star Wars: The Force Awakens, film ke-tujuh seri Star Wars setelah Star Was: Episode IV – A New Hope (1977), Star Wars: Episode V – The Empire Strikes Back (1980), Star Was: Episode VI – Return of the Jedi (1983), Star Wars: Episode I – The Phantom Manace (1999), Star Was: Episode II – Attack of the Clones (2002), dan Star Was: Episode III – Revenge of the Sith (2005). Wartawan kami—seorang penggemar berat Star Wars—menuliskan reportase dan catatannya tentang pelik-melik Star Wars, dari hulu sampai hilirnya, dari “zaman dahulu kala… di galaksi nun jauh di sana” hingga masa kini. Ini tulisan pertama. (redaksi)
Jatuh Bangun Mimpi George Lucas dan Star Wars-nya
Advertisement
I. Prolog
George Lucas merana. Ia nyaris frustasi.
Kejadiannya berlangsung tahun 1976, saat syuting film Star Wars pertama, A New Hope. George Lucas (waktu itu 32 tahun) sudah bermuka pucat menatap penuh pikiran pada set Star Wars di Pinewood Studio, dekat London, Inggris.
Ia cemas. Siapapun tahu, termasuk dirinya, film yang tengah dibuatnya bakal berujung kacau. Robot rekaannya R2-D2 dan C-3PO rusak melulu. Para pemain justru cerewet minta diurus. Perusahaan miliknya yang ditugasi membuat efek khusus, Industrial Light & Magic (ILM) belum juga bisa kerja -- karena komputernya mesti dibuat dulu. Para petinggi dari studio pemberi dana, 20th Century Fox malah mengirimi Lucas memo tak perlu (kayak saran agar Chewbacca sang Wookie pakai celana).
Lalu, bos Fox Alan Ladd Jr. malah meminta Lucas menyingkat waktu syuting. Kala itu, Lucas berkesimpulan kalau yang ada di kepalanya takkan bisa diwujudkan. Mark Hamill, pemeran Luke Skywalker, ingat betul bagaimana raut wajah Lucas waktu itu. "Dia kayak orang yang akan menangis," ingatnya.
II. Zaman Itu
Hal itu terjadi sebelum Star Wars mengubah lanskap perfilman dunia. Tapi, pertanyaannya, tahukah Anda seperti apa lanskap perfilman dunia, terutama Hollywood, sebelum Star Wars rilis?
Jika Anda ingat, memasuki 1970-an Amerika diguncang prahara hebat. Tentara negeri Paman Sam tengah berperang di Vietnam. Alih-alih dapat dukungan rakyat, perang itu dikecam. Protes merajalela. Negeri terbelah.
Di jagat politik, kewibawaan pemerintahan Presiden Richard Nixon berada di titik nadir. Skandal Watergate membuat lembaga kepresidenan tak lagi dapat rasa hormat dari rakyat. Bantahannya (“I’m not a crook—saya bukan penjahat.”) tak didengar. Nixon kemudian menjadi presiden AS pertama, dan satu-satunya hingga kini, yang mengundurkan diri di tengah masa jabatan.
Hal itu terjadi tahun 1974. Suasana zaman yang tengah berubah juga berimbas ke Hollywood. Film-film yang diproduksi Hollywood masa itu mencerminkan perubahan zaman yang tengah terjadi di AS.
Yang dibuat Hollywood adalah film-film realis, dengan semangat memberi tahu khalayak dunia nyata bukanlah surga. Kenyataan bisa menyakitkan. Film bukan sarana pelarian untuk mimpi sejenak dari beban hidup. Justru, film masa itu kian menegaskan realitas kehidupan sehari-hari.
Film-film seperti The French Connection atau bahkan The Godfather I dan II sejatinya menggambarkan masyarakat yang tak ikut aturan hukum, memilih cara main hakim sendiri serta menciptakan aturan main sendiri di kelompoknya.
Di awal 1970-an pula, studio-studio film Hollywood mendapati diri mereka sudah harus berubah seiring zaman. “Di tahun itu, para pendiri dan pemimpin studio Hollywood sudah tua dan pensiun,” kata George Lucas di dokumenter pembuatan Star Wars, Empire of Dreams: The Story of the Star Wars Trilogy.
Bila Anda cermati sejarah Hollywood, di tahun 1950-an dan 1960-an, bisnis film lesu lantaran bioskop sepi pengunjung. Kotak ajaib bernama televisi kian jadi pilihan utama hiburan masyarakat AS.
Agar masyarakat kembali ke bioskop, produser film menyiasatinya dengan menyuguhkan film-film yang tak mungkin dibuat oleh stasiun TV: film kolosal. Di masa itu lahirlah film-film kolosal macam The Ten Commandments, The Greatest Story Ever Told, Ben Hur, Lawrence of Arabia, The Bridge of River Kwai hingga Cleopatra-nya Elizabeth Taylor. Upaya itu berhasil menggiring orang kembali ke bioskop. Namun, membuat film kolosal tak murah. Produser sadar strategi itu tak bisa terus-terusan mereka pakai.
"Francis Ford Coppola, Brian de Palma, Martin Scorsese, Steven Spielberg dan George Lucas adalah deretan sineas baru"
Maka dicarilah siasat baru. Para pemilik studio Hollywood yang baru, yang menggantikan generasi tua para pendiri, bergerilya ke kampus-kampus dan stasiun TV mencari orang yang berpotensi membuat film dengan baik. Orang-orang muda terpilih ini tak punya uang, tapi mereka punya keterampilan teknis (lantaran kuliah di jurusan film maupun belajar autodidak di televisi) dan gagasan untuk membuat film sesuai selera.
Pencarian bakat baru itu kemudian yang melahirkan generasi pembuat film baru Hollywood. Francis Ford Coppola, Brian de Palma, Martin Scorsese, Steven Spielberg dan George Lucas adalah deretan sineas baru yang lahir dari strategi industri film Hollywood tahun 1970-an.
Mereka memberi darah segar berupa film-film yang tak pernah lahir di Hollywood sebelumnya. Mereka membuat film yang sukses secara komersil maupun disukai kritikus lantaran mampu merepresentasikan keresahan masyarakat AS di tahun-tahun penuh gejolak itu.
Yang paling penting pula buat pihak studio, yang mereka ciptakan bukan film kolosal yang menghabiskan kocek studio, namun film yang tetap menarik minat penonton ke bioskop.
Syahdan, jika Anda ingat, Coppola membuat The Godfather pada 1972, De Palma membuat film horor Carrie pada 1976, Scorsese membuat Mean Streets pada 1973 dan Taxi Driver pada 1976, Spielberg membuat Jaws pada 1976, sedangkan Lucas membikin Star Wars pada 1977.
Jika Anda perhatikan, film yang paling terasa lain dari deretan film garapan sineas pembaharu masa itu hanya Star Wars bikinan George Lucas. Semuanya film realis, hanya Lucas yang membuat film fantasi berlatar petualangan di luar angkasa.
A New Hope
III. Sebuah Harapan Baru
Di akhir 1960-an, George lulusan jurusan film University of Southern California. Ia dianggap mahasiswa jenius.
Film pendek buatannya berdurasi 15 menit, THX 1138: 4EB/Electronic Labyrinth, memenangkan piala pertama National Student Film Festival ketiga. Ia mendapat kesempatan belajar dan dapat beasiswa dari Warner Bros.. Pada waktu itu pula ia mengenal Marcia Griffin, seorang editor film yang kemudian ia nikahi (mereka bercerai 1983) serta Coppola.
Coppola lalu meminta Lucas membantunya mengurus perusahaan film yang baru ia dirikan, American Zoetrope. Coppola mengatakan pada Warner Bros. Lucas “penuh bakat” dan mengajukan THX 1138, film panjang yang berdasar film pendek Lucas. Coppola bertindak sebagai produser di bawah bendera American Zoetrope.
Bulan Mei 1970, film hasil besutan Lucas ditayangkan pada bos-bos Warner Bros.. Salah satu dari mereka berkata pada Coppola. “Francis, film apaan ini? Ini bukan film komersil.” Coppola menimpali, “Saya juga tak tahu ini apa.”
Menurut Peter Biskind di bukunya, Easy Riders, Raging Bulls (terbit 1998), Coppola mengatakan apa yang ingin didengar para bos Warner Bros., sementara itu, pada Lucas ia bilang, “Lakukan sesukamu, hasilnya pasti bagus.”
"George Lucas mengarahkan wajahnya ke langit, mewujudkan mimpinya yang lain."
Berikutnya, pihak studio memutuskan memotong film Lucas. Hal yang sangat bikin ia kecewa. “Mereka memotong jemari bayi saya.” Hubungan Lucas dengan Coppola merenggang. Lucas menganggap sahabatnya itu tak cukup membelanya di depan petinggi-petinggi Warner Bros..
Lucas lalu beralih ke Universal Pictures, membuat American Graffiti (rilis 1973) tentang pemuda-pemuda di kota kecil menghabiskan waktu sebelum kuliah. Saat itu Coppola dan Lucas sudah berbaikan. Melihat hasil filmnya, pihak studio semula ingin merilisnya langsung ke TV. Tapi Coppola melawan niatan itu.
Hasilnya, American Graffiti tetap rilis di bioskop pada 1 Agustus 1973. Di luar dugaan, filmnya meraup untung besar, mengumpulkan USD 55.123.000. Biaya produksi filmnya hanya USD 775 ribu ditambah USD 500 ribu untuk biaya iklan, cetak film dan promosi. Yang artinya, film itu mengembalikan investasi 4.300 persen. Lucas membawa pulang USD 7 juta, well, tepatnya USD 4 juta setelah dipotong pajak.
Lewat American Graffiti, sutradara pemula yang punya sifat kikuk itu jadi percaya diri. Ia mengarahkan wajahnya ke langit, mewujudkan mimpinya yang lain: membuat film fantasi berlatar angkasa raya.
Ide awalnya, Lucas ingin membuat ulang serial TV Flash Gordon yang ditontonnya waktu kecil di tahun 1930-an. Sayangnya, niat itu mesti dibatalkan Lucas. Pasalnya, pemegang hak cipta Flash Gordon, Dino De Laurentis, ingin turut campur dalam proses kreatif Lucas. Selain itu, royalti yang mesti dibayarnya juga kelewat mahal.
Lalu Lucas pun mengalihkan ide cerita Si Baik lawan Si Jahat ke dalam kisah rekaannya sendiri. Lucas menulis naskah setengah jadi setebal 14 halaman tentang kisah fantasi luar angkasa.
Namun, pihak Universal Pictures yang memodalinya membuat American Graffiti menolak naskah Lucas. Pun demikian dengan United Artists. Kedua studio itu berpandangan, film fiksi ilmiah (sampai waktu itu) tak punya banyak penonton. Kendati begitu, American Graffiti yang dibuat Lucas menarik minat Ladd yang jadi pimpinan kreatif Fox. Di penghujung 1973, Fox setuju mendanai kisah rekaan Lucas itu.
Tapi Lucas cuma dipercayai mengantongi dana minim untuk membuat filmnya. Ia menghabiskan setengah tahun untuk mengkasting para aktor utamanya. Tercatat aktor William Katt semula dikasting buat jadi Luke, Cindy Williams dan Terri Nunn jadi Leia, Kurt Russell dan Perry King jadi Han Solo. Akhirnya, pilihan Lucas jatuh pada Hamill (Luke), Carrie Fisher (Leia), dan Harrison Ford (Han Solo), bintang American Graffiti yang semula jadi pengumpan dialog aktor-aktor yang dikasting. Dengan dana minim, Lucas cuma dapat aktor-aktor yang belum dikenal seperti ketiganya. Aktor tenar yang dapat digaetnya cuma Sir Alec Guinnes, pemeran Obi-Wan Kenobi.
Setelah semua aktor siap, syuting pun dimulai. Tunisia di Afrika dan studio Pinewood di London, Inggris jadi pilihan lokasi syuting.
Begitu syuting kelar, masalah belum selesai. Gambar yang dihasilkan Lucas masih mentah dan, menurut Kevin Burns, sutradara film dokumenter pembuatan Star Wars, Empire of Dreams: The Story of the Star Wars Trilogy, "potongan pertama Star Wars sebuah bencana." Buntutnya, Lucas yang tak puas memecat tukang editnya. Ia merekrut 3 tukang edit baru termasuk istrinya, Marcia.
Kala itu, dada Lucas sudah sakit. Ia didiagnosis mengalami hipertensi dan kelelahan. Namun, Lucas tak punya waktu buat istirahat. Ia harus mengawasi efek khusus yang dibuat kru ILM. "Lucas kayak jenderal kami," ingat Ken Raltson, seorang staf ILM, "Kami ini tentaranya. Kami semua bertarung dalam perang supaya film ini selesai," lanjutnya.
Akhirnya, setelah melalui jalan terjal dan berliku, kisah Star Wars pertama, Star Wars: Episode IV -- A New Hope diputar perdana 25 Mei 1977. Ternyata, seperti semua orang tahu, Star Wars jadi film sukses. Bujet USD 11,5 juta buat produksi dan iklan langsung balik dalam 2 bulan. Di penghujung tahun itu, Star Wars jadi film paling banyak ditonton dan meraup keuntungan USD 200 juta. Film itu mengalahkan Jaws (1977) besutan Steven Spielberg setelah 6 bulan beredar.
Advertisement
The Empire Strikes Back
III. “George Lucas Strikes Back”
George Lucas tak mau berhenti. Ia kerap mengatakan ingin berhenti, namun pada kenyataannya ia tak pernah berhenti.
Sifatnya yang satu ini sudah kelihatan sejak dulu, saat Star Wars sukses besar. Alih-alih rehat, Lucas berfokus pada film lanjutan Star Wars yang ia beri judul The Empire Strikes Back.
Dibanding Star Wars: Episode IV – A New Hope, film kedua, yang diberi judul Star Wars: Episode V – The Empire Strikes Back (rilis 1980) adalah pertaruhan sesungguhnya. Bila filmnya gagal, maka gagal pula impian Lucas menjadikan Star Wars sebuah franchise.
“Saya sangat gugup saat memulai produksi film kedua,” aku Lucas seperti dimuat majalah film Empire edisi November 2004.
Lewat The Empire Strikes Back Lucas mempertaruhkan segalanya. Ada isu lain, kini Lucasfilm, perusahaan film miliknya, telah jadi perusahaan yang utuh. Ia juga harus mengawasi perusahaan lain miliknya, ILM yang pindah markas dari Los Angeles ke Marin County. Ia sadar harus mencari orang lain untuk menggarap filmnya. Ia tak bisa jadi sutradara lagi.
Meski begitu, tekadnya jelas. Kali ini ia mengontrol semuanya. Ia yang membiayai filmnya, meminjam USD 15 juta dan bersepakat dengan Fox sebagai pengedar saja. Jika ia berhasil, hasilnya bakal tak terbayangkan. Namun jika yang terjadi sebaliknya, ia dipastikan jatuh bangkrut.
“Awalnya saya terpikir untuk menjual semuanya pada Fox,” jelas Lucas. “Saya tinggal ambil bagian keuntungan saya dan tak memikirkan Star Wars lagi. Namun kenyataannya, saya merasa terikat pada film ini… dan saya tak bisa membiarkan bila segalanya berjalan tak sesuai yang saya inginkan. Saya paling tahu dunia (Star Wars) ini, saya tahu bagaimana karakternya bernapas dan bergerak.”
Dengan rangkaian cerita sudah tertanam di kepalanya, Lucas mengajak Leigh Brackett menulis bareng skenario dengannya. Namun, dua minggu setelah draf pertama selesai, Brackett meninggal akibat kanker. Jadwal produksi terancam mundur atau Lucas harus mencari penulis baru. Ia lalu meminta Lawrence Kasdan, penulis yang sebetulnya sudah ia sewa untuk menulis skenario Indiana Jones. Untuk kursi sutradara ia serahkan pada Irvin Kershner, sineas kawakan yang dikenalnya sejak masih mahasiswa.
Produksi The Empire Strikes Back betul-betul menguras koceknya. Mereka kehabisan uang, sementara film belum selesai. Padahal bujet yang dikeluarkan sudah melampaui USD 22 juta. Pihak bank yang membiayai Lucas memberi peringatan. Lucas lalu mencari pinjaman dari bank lain, serta meminta Fox sebagai penjaminnya. Ia memastikan bakal membayar semua utangnya. “Bahkan bila itu butuh waktu seumur hidup,”katanya.
Saat The Empire Strikes Back selesai dibuat uang yang dikeluarkan berjumlah USD 33 juta. Hasilnya, pertaruhan Lucas berhasil. Filmnya mengumpulkan USD 300 juta dari peredaran di seluruh dunia.
Selain pertaruhan finansial, film kedua Star Wars tersebut juga membuktikan hal lain. Ternyata, orang menerima kisahnya yang gelap. Berbeda dengan cerita pertama, film kedua berakhir dengan kemenangan di pihak jahat. Orang melihat para jagoan mereka kalah. Han Solo dibekukan dalam batu. Belum lagi kenyataan yang mengejutkan di film kedua, Darth Vader, si penjahat utama, mengaku kalau ia adalah ayah Luke Skywalker.
"Return of the Jedi adalah film terbaik Star Wars, dan bakal jadi yang tersukses."
Film Star Wars ketiga, Star Wars: Episode VI – The Return of the Jedi (rilis 1983) dibuat dengan skala lebih besar lagi. Menurut laporan majalah Time edisi 23 Mei 1983, film Star Wars pertama menggunakan 545 adegan efek khusus; The Empire Strikes Back memiliki 763 efek khusus; sedang The Return of the Jedi memiliki 942 efek khusus.
“Efek khusus di sini (Return of the Jedi) kurang lebih sesuai apa yang saya inginkan ada di Star Wars pertama, namun saya tak punya teknologi untuk membuatnya waktu itu,”kata Lucas.
Sahabat Lucas, Steven Spielberg memuji film ketiga Star Wars tersebut. “Saya merasa Jedi adalah film terbaik Star Wars, dan bakal jadi yang tersukses,” kata Spielberg. “Film pertama adalah perkenalan; Empire adalah konflik babak kedua. Namun babak ketiga ini tidak hanya penutupan cerita. Ini adalah juga inti cerita Star Wars sesungguhnya.”
Terbukti, Return of the Jedi meraih sukses paling banyak dibanding dua film sebelumnya, meraup total USD 572,6 juta lebih dari seluruh dunia. Di waktu itu, Star Wars telah jadi mitologi modern.
Prekuel Star Wars
IV. Setelah Tiga Film Star Wars
Kepada majalah Time tahun 1983 saat menyambut Return of the Jedi rilis, Lucas mengatakan tak punya rencana melanjutkan kisah Han Solo, Luke dan Putri Leia. Namun, di benaknya sudah ada bayangan mengisahkan prekuel atau cerita pendahulu sebelum tiga film Star Wars.
Akan tetapi, sebelum itu, ia ingin istirahat. Ia ingin membina keluarga bareng Marcia dan membangun Lucasfilm, perusahaan film yang ia dirikan mendanai film-film sesuai keinginannya.
Nyatanya, "Saya malah bercerai," kata Lucas datar. "Dan itu membuat kacau. Saya harus mulai dari awal lagi," lanjutnya. Yang ia maksud dari awal ya, secara emosional dan finansial. Perceraiannya dengan Marcia menghabiskan kocek Lucas sampai USD 50 juta.
Lucas lantas menghabiskan satu dekade berikutnya buat memproduksi beberapa film dan serial TV (di antaranya serial Young Indiana Jones, 1992) sambil mengubur keinginannya menyutradarai film lagi.
Tapi, pada 1994, setelah maju-mundur, Lucas kembali menengok kisah Star Wars yang dianggapnya belum kelar.
Sejak awal, di benaknya sudah ada gambaran kisah awal Star Wars alias prekuel. Kisah ini berfokus pada bagaimana asal mula Anakin Skywalker, ayah Luke malih rupa jadi Darth Vader. "Waktu itu cerita asal-usul ini hanya bagian dari cerita (Star Wars) keseluruhan," kenang Lucas. "Tapi susunannya nggak berubah," lanjutnya.
Pertanyaannya, kenapa Lucas nggak sekalian saja membuat kisah awal Star Wars dari dulu? Rupanya, gambaran cerita Lucas mengenai asal-usul itu sulit diwujudkan ke layar lebar. Kesulitan terutama pada efek khususnya. Menurutnya, teknologi saat itu belum bisa mewujudkan imajinasinya ke layar lebar.
Kendati tak tahu kapan imajinasinya bakal jadi kenyataan, rekan-rekan Lucas ingat betul kalau pria berjanggut ini sudah membicarakan kemungkinan membuat prekuel Star Wars selama 2 dekade lebih.
Rick McCallum, produser seri prekuel Star Wars, ingat waktu Lucas mengajaknya rapat selama 90 menit-membicarakan prekuel Star Wars, menentukan bujet dan lokasi. "Lalu dia ngeloyor pergi dan tak pernah membicarakannya lagi sampai dua tahun kemudian," kata McCallum.
Pada 1993, Lucas melihat pekerjaan efek komputer ILM lewat Jurassic Park. Maka, satu setengah tahun setelah keajaiban teknologi komputer itu, Lucas mulai mereka-reka cerita prekuel Star Wars.
Hasilnya, lahirlah prekuel pertama, Star Wars: Episode I -- The Phantom Manace pada 1999. Sebelumnya, sebagai pemanasan, Lucas mempermak trilogi pertama yang pernah dibuatnya dulu. Pada 1997, Lucas merilis Star Wars Trilogy: Special Edition.
Prekuel pertama menceritakan Anakin saat masih kecil. Prekuel kedua, Star Wars: Episode II -- Attack of the Clones (2002) mengisahkan Anakin remaja yang mulai beranjak dewasa. Ia terlibat cinta terlarang dengan Padme Amidala. Yang ketiga, Revenge of the Sith (2005), bercerita bagaimana Anakin jadi Darth Vader.
Sebelum membuat ketiganya, Lucas sudah dinasihati kalau yang ingin penonton lihat sebenarnya cuma bagaimana Anakin jadi Darth Vader. Namun, Lucas bersikukuh kalau Anakin berubah jadi jahat di Revenge of the Sith, bukan 2 episode lainnya.
Maka, kata Lucas, setelah Episode III rampung, hikayat rekaannya lengkap sudah. Generasi mendatang tak perlu menontonnya dari Episode IV keluaran 1977, lalu Episode V (1980) dan Episode VI (1983), baru Episode I, II, dan III. Lucas sudah mencobanya. Ia menonton tanpa henti dari I-VI.
Usai menonton, Lucas berkomentar, "Anakin tetap memenuhi ramalan tentangnya bagaimanapun juga! Dia yang membawa keseimbangan pada Force (kekuatan gaib di Star Wars)."
Kendati Lucas bersikukuh atas tiga prekuel Star Wars, bagi penggemar Star Wars kisah prekuel atau Episode I-III tetaplah sebuah produk yang gagal. Dibandingkan Star Wars Episode IV-VI, kualitasnya kalah jauh.
Kegagalan itu membuat reputasi George Lucas hancur sebagai pembuat film di Hollywood.
Advertisement
Akhir Mimpi
V. Epilog
George Lucas kembali merana. Ia mungkin frustasi.
Kejadiannya berlangsung 2012. Ia bersiap merilis film anyar yang diproduksinya. Kisahnya tentang para pejuang melawan kekuatan jahat, dengan efek khusus spektakuler yang belum dilihat orang sebelumnya. Namun, seperti dicatat koran New York Times 16 Januari 2002, para petinggi studio Hollywood menolak filmnya. Seorang petinggi studio bahkan tak hadir saat diundang menonton.
Film yang dimaksud bukan episode baru Star Wars. Melainkan film berlatar Perang Dunia II, Red Tails. Film tersebut mengisahkan cerita asli pilot-pilot pesawat tempur berkulit hitam di ketentaraan AS di masa PD II, dibintangi Terrence Howard dan Cuba Gooding Jr..
“Bukankah (menonton film) itu pekerjaan mereka (para petinggi studio),” keluh Lucas pada New York Times.
Red Tails menjadi film terakhir Lucas dengan bendera Lucasfilm, perusahaan film miliknya. Saat Red Tails rilis 20 Januari tahun itu, hal tersebut terjadi karena Lucas yang membayar semuanya, termasuk untuk membiayai copy filmnya di bioskop-bioskop.
Yang terjadi kemudian, bencana yang ditakutkan Lucas terjadi. Red Tails gagal di box office. Bujet USD 58 juta hanya menghasilkan USD 50 juta dari seluruh dunia. Penghasilan dari luar Amerika hanya menyumbang 1 persen atau USD 489 ribu.
Pada Oktober 2012, Lucas menjual Lucasfilm pada Disney senilai USD 4 miliar. Ini artinya hak memfilmkan Star Wars tak lagi berada di tangannya. Kursi bos Lucasfilm juga ia serahkan pada Kathleen Kennedy.
Di majalah Vanity Fair edisi Juni 2015, wartawan Bruce Handy berkisah, saat bersiap menjual perusahaan filmnya ke Disney, Lucas sempat membuat sketsa cerita baru Star Wars episode VII, VIII, dan IX. Ceritanya berlangsung beberapa puluh tahun usai Return of the Jedi. Lucas juga dikatakan sempat menghubungi para pemain asli Star Wars, seperti Harrison Ford, Carrie Fisher, dan Mark Hamill untuk bergabung main di film baru Star Wars.
Lucas membeberkan sketsa cerita Star Wars barunya pada Disney saat proses negosiasi penjualan berlangsung. Tapi setelah kesepakatan penjualan tercapai, "Disney dan Kathy memutuskan mempertimbangkan pilihan cerita lain," kata J.J. Abrams (yang waktu itu belum dilibatkan), sutradara film ke-tujuh Star Wars: The Force Awakens.
Kata Abrams cerita versi George Lucas menitik-beratkan pada karakter-karakter cilik--para ABG, kata orang Lucasfilm--yang membuat petinggi Disney merasa tak nyaman karena punya kemiripan dengan The Phantom Manace, tentang Anakin Skywalker cilik, 9 tahun, dengan Ratu Amidala, 14 tahun.
"Persoalannya adalah, karena pada akhirnya, saat mereka (mungkin yang ia maksud petinggi Lucasfilm dan Disney--red) melihat cerita (saya), mereka berkata, 'Kami ingin membuat sesuatu untuk para penggemar.'"
George Lucas tampaknya tak terima alasan itu. "Orang-orang tak sepenuhnya sadar, cerita (Star Wars) adalah tentang opera sabun berlatar luar angkasa, dan ceritanya tentang masalah keuarga. Ini bukan cerita perang pesawat luar angkasa. Jadi mereka memutuskan tak ingin menggunakan cerita saya, dan memilih cerita yang mereka bikin sendiri. Dari situ saya putuskan, 'Baiklah... saya mundur dan biarkan mereka memilih jalan sendiri.'"
Mimpinya tentang Star Wars pun berakhir.** (Ade/Put)