Liputan6.com, Jakarta - PERINGATAN: SPOILER ALERT! Ulasan ini memuat bocoran cerita film Ip Man 3.
I.
"Guru yang baik melindungi muridnya dari pengaruhnya sendiri."
—Bruce Lee—
Advertisement
Kenapa ada begitu banyak film Ip Man dibuat sineas Hong Kong?
Syahdan, kita pertama bertemu Ip Man (dibaca “Yip-Man” dalam dialek Kanton) di bioskop tahun 2008 silam. Setelahnya kita menyaksikan Ip Man, sang jago kung fu di lima film yang sudah dibuat: Ip Man 2 (2010), Ip Man: The Legend is Born (2010), Ip Man: The Final Fight (2013) dan The Grandmaster (2013). Saat ini kita di bioskop di suguhi film Ip Man anyar, Ip Man 3.
Pertanyaan di atas saya tanyakan pada Dennis To, mantan atlet wushu yang juga pemeran Ip Man muda di Ip Man: The Legend is Born, ketika ia berada di Indonesia di tengah turnamen wushu dunia November silam.
Baca Juga
"Pertama karena Ip Man adalah guru Bruce Lee," jawab Dennis. Ya, sebelum jadi bintang film kung fu yang mendunia, Bruce Lee berguru pada Ip Man. Makanya, orang penasaran seperti apa orang yang berjasa melatih Bruce Lee kung fu.
Kedua, katanya, aliran kung fu yang dibawa Ip Man: wing chun. "Orang mungkin sudah bosan dengan gerakan kung fu yang itu-itu melulu. Mereka butuh sesuatu yang baru. Hal itu ada pada aliran kung fu wing chun."
Jawaban Dennis sungguh jitu. Tapi dari telusuran di dunia maya saya menemukan artikel di laman National Public Radio (NPR) yang memberi tahu kenapa sineas Hong Kong banyak memfilmkan kisah Ip Man.
"Ip Man kurang dikenal publik sampai dibuat filmnya," kata Grady Hendrix, pendiri New York Asian Film Festival. "Waktu itu belum ada orang yang bilang, 'Duh, semoga ada yang memfilmkan kisah hidup Ip Man!'"
Katanya lagi, sebetulnya sineas Hong kong awalnya ingin memfilmkan kisah hidup sosok yang lain: Bruce Lee. Tapi keluarga Lee sangat mengontrol imej sang aktor kung fu legendaris itu. Aturan ruwet dan ketat mereka terapkan. (keluarga akhirnya merestui sebuah film tentang Bruce Lee muda di Bruce Lee, My Brother, rilis 2010.)
Kemudian sineas Hong Kong mengarahkan target pada apa yang disebut "the next big thing" yakni, ya itu tadi: Ip Man, guru Bruce Lee.
Pendeka kata, prinsipnya, “Tak dapat muridnya, gurunya pun jadi.”
Film Ip Man pertama rupanya sukses besar. Film itu meroketkan kembali nama Donnie Yen sebagai bintang kung fu. Selama ini Donnie berada di bawah bayang-bayang Jet Li atau Jackie Chan. Lewat Ip Man (2008), ia bisa duduk dalam satu barisan bintang kung fu.
Bila Anda ingat, jagat sinema Hong Kong selalu mencari tokoh jagoan baru dari dunia nyata untuk difilmkan. Selama bertahun-tahun pada akhir 1980-an dan 1990-an dibuat film-film kung fu yang mengangkat tokoh pahlawan Tiongkok, Wong Fei Hung dan Fong Sai Yuk. Jet Li angkat nama sebagai Wong Fei Hung di Once Upon a Time in Chine (Kung Fu Master, 1989) karya Tsui Hark. Film itu dibuat sampai beberapa jilid di tahun 1990-an. Selain itu ia juga jadi Fong Sai Yuk di The Legend of Fong Sai Yuk (King of Kung Fu, 1993) karya Corey Yuen.
Menginjak dekade 2000-an, Jet Li sebetulnya berpotensi mengangkat jagoan kung fu dari tokoh nyata jadi franchise baru. Pada 2006 ia memerankan Huo Yuanjia di Fearless. Namun, penggambaran sang jagoan di film itu malah berujung gugatan dari pihak keluarga. Huo Yuanjia pun tak bernasib seperti Wong Fei Hung.
Ip Man lain. Pihak keluarganya sepertinya tak mempermasalahkan kisah hidup sang jago kung fu difilmkan sebegitu rupa.
Bila Anda mengikuti semua film tentang Ip Man bakal ketemu kepribadian sang jago kung fu yang kurang mengenakkan bagi pandangan umum. Di beberapa filmnya, Ip Man diceritakan bukan tipe pria setia pada sang istri. Penggambaran macam begini pada sebuah tokoh legendaris yang telah tiada membutuhkan kedewasaan tersendiri dari pihak keluarga sebagai ahli waris.
Film-film Ip Man bila dicermati terdiri atas tiga jalur. Tiga film Ip Man yang dibintangi Donnie Yen (termasuk Ip Man 3) berada di jalur cerita yang disutradarai Wilson Yip. Jalur kedua kisah Ip Man yang disutradarai Herman Yau, yakni Ip Man: The Legend is Born dan Ip Man: The Final Fight. Jalur ketiga kisah Ip Man yang dibesut sutradara arthouse Hong Kong, Wong Kar Wai, The Grandmaster.
Cerita berbagai versi dari satu tokoh nyata yang pernah hidup bukan kali pertama terjadi di perfilman Hong Kong. Mengecek laman Wikipedia, Anda bakal ketemu Wong Fei Hung berkali-kali diceritakan kisah hidupnya di film dan serial TV sejak 1970-an, bukan hanya lewat Once Upon a Time in China-nya Jet Li saja.
Nasionalisme Tiongkok
II.
Pertanyaannya lalu, bagaimana kita kemudian meletakkan kisah hidup Ip Man di film-filmnya?
Kisah Ip Man seperti juga kisah klasik seorang pendekar. Takdir seorang pendekar adalah jalan pedang. Tak peduli betapa keras sang pendekar menghindarinya, takdir itu tetap hinggap. Jalan hidup pendekar memang harus melalui jalan pedang. Dengan berduel. Bersimbah darah. Bahkan, membunuh atau terbunuh.
Saat kita berkenalan di film pertama tahun 2008, kita bertemu Ip Man sebagai seorang aristokrat kaya di kota Foshan, Guang Zhou, Tiongkok bagian selatan. Bapak seorang anak dari seorang istri cantik.
Foshan dikenal sebagai ibu kota beladiri. Banyak aliran kung fu berasal dari kota ini. Salah satunya wing chun. Di film, wing chun digambarkan sebagai kung fu yang lemah lembut, seperti gerakan tari. Gaya kung fu ini bahkan diejek sebagai beladiri untuk perempuan.
Sampai film Ip Man rilis, tak banyak orang yang kenal aliran kung fu wing chun. Bila Anda ingat, di tahun 1990-an, gaya kung fu film Hong Kong mengandalkan efek debu untuk menggambarkan hasil dahsyat sebuah pukulan atau tendangan. Hal ini yang membedakan dengan trik silat dekade sebelumnya yang mengandalkan adu jurus satu lawan satu tanpa efek debu.
Di era 2000-an akhir, saat perfilman Hong Kong telah demikian maju lewat pemanfaatan komputer grafis pada duel silat (lihat film A Man Called Hero [1999] atau Zu Warriors [2001]), sineas negeri itu kembali ke akar, menyajikan duel kung fu yang lebih realistis, tanpa embel-embel efek khusus komputer.
Di luar gaya kelahinya, Ip Man jadi propaganda supremasi Tiongkok atas negara lain. Harus Anda ingat, film Ip Man lahir di era Tiongkok menyongsong kejayaannya sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia. Film pun mereka gunakan sebagai alat propaganda.
Pada Ip Man pertama dengan latar saat Tiongkok dijajah Jepang, kekuatan asing yang dilawan adalah tentara Jepang jago karate. Di Ip Man 2, dengan latar Hong Kong, kekuatan asing yang jadi lawan adalah orang Inggris jago tinju.
Pertarungan Ip Man si jago kung fu melawan orang asing dengan aliran beladiri bukan dari Tiongkok bisa dimaknai macam-macam: kebaikan lawan kejahatan, bangsa terjajah lawan penjajah, pribumi lawan asing, kung fu lawan karate dan kung fu lawan tinju.
Film pertama bisa diartikan lebih jauh sebagai pertanda Tiongkok ingin mengambil alih peran Jepang dari panggung geo-politik dan ekonomi global. Anda tentu mafhum, dengan kekuatan ekonomi dan pengaruhnya saat ini di panggung global, Tiongkok telah menggusur Jepang.
Sedangkan di film kedua, yang disasar lebih besar lagi: dominasi Barat. Tiongkok ingin menjadi negara superpower dunia. Satu-satunya lawan mereka ya Barat.
Advertisement
Keunggulan Ip Man 3
Di sini kita kemudian sampai pada film ketiga yang saat ini sedang edar di bioskop. Apa lagi yang tersisa bagi film ketiga di jalur cerita Ip Man versi Wilson Yip ini?
Kita masih lihat pesan filmnya sebagai wujud nasionalisme Tongkok di layar lebar. Musuh yang dihadapi Ip Man (untuk ketiga kalinya dimainkan Donnie Yen) antara lain orang asing yang ingin menguasai tanah Hong Kong (baca: dataran Tiongkok). Musuh tersebut dimainkan Mike Tyson, mantan petinju kelas berat.
Tentu bukan kali pertama ada sosok tenar di Barat main film Hong Kong. Di puncak kariernya, Bruce Lee pernah mengajak bintang basket Kareem Abdul Jabbar di filmnya Game of Death (1972) serta jago beladiri yang juga aktor Chuck Norris di The Way of the Dragon (1972).
Mengajak serta bintang yang sudah punya nama di Hollywood tentu menaikkan pamor filmnya. Pada Ip Man 3 orang dibikin penasaran seperti apa jadinya bila jago kung fu dan tinju berduel.
III.
Lalu, apa sekali lagi kita melihat kung fu (baca: Tiongkok) kembali menunjukkan superioritasnya pada tinju (baca: Barat)?
Di sini, Ip Man 3 terasa ambigu. Filmnya tak hendak meninggalkan pesan sebagai sarana propaganda Tiongkok menghadapi negara lain, namun filmnya ingin melangkah lebih jauh dari sekadar film kung fu.
Di Ip Man 3 Anda menyaksikan bobot drama lebih besar daripada aksinya. Di film yang ini, Ip Man sadar jalan pedang seorang pendekar memang tak mungkin ia hindari. Namun demikian, ia sebisa mungkin menyempatkan membagi waktu untuk keluarga, terutama merawat istrinya yang sakit.
Kita melihat, adegan terbaik Ip Man 3 bukan saat duel melawan Mike Tyson ataupun duel melawan penantang kung fu lain yang sama-sama beraliran wing chun. Sekali lagi bukan. Melainkan saat Ip Man memilih berdansa dengan istrinya (Lynn Hung) di saat ia ditantang duel. Di situ kita melihat Ip Man dan istri tampak bahagia. Akting Donnie Yen pun tampak lepas. Ia melunturkan perangai penuh wibawa Ip Man si jago kung fu menjadi Ip Man pedansa yang gemulai.
Pada akhirnya, Ip Man 3 unggul bukan karena duel kung funya. Pun juga bukan karena muatan propaganda superioritas Tiongkok-nya. Melainkan karena drama keluarganya. Sebuah film kung fu yang berhasil mengikat penonton bukan dengan adegan kung fu-nya sungguh patut diacungi jempol.** (Ade/fei)