Sukses

KALEIDOSKOP 2015: 10 Film Indonesia Terbaik

Kami memilih 10 film Indonesia terbaik tahun 2015. Apa saja?

Liputan6.com, Jakarta - Mengacu ke laman filmindonesia.or.id, di tahun 2015 ini terdapat 117 judul film yang diproduksi, naik sedikit dari tahun sebelumnya yang berjumlah 113 judul film. Angka itu bukan jumlah produksi terbanyak sepanjang sejarah. Di tahun 1970-an, dalam setahun pernah diproduksi 130-an film.

Meski begitu, jumlah film tak mencerminkan jumlah penonton, apalagi kualitasnya. Tahun ini kita menyaksikan ada dua film yang melewati angka 1 juta penonton (Surga yang Tak Dirindukan dan Comic 8: Casino Kings part 1).

Persoalan perfilman kita masih sama, saat bioskop makin banyak, penonton film nasional justru menurun. Persebaran penonton film nasional masih tak merata. Angka 1 juta penonton lebih pada dua film tak mencerminkan jumlah penonton film nasional secara keseluruhan.

Fakta yang membuat miris, film pemenang Piala Citra Film Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) dan Apresiasi Film Indonesia (AFI) tahun ini justru tak pernah beredar di bioskop secara komersil. Ya, film itu berjudul Siti, sebuah film hitam-putih yang lebih banyak diputar di festival-festival film di luar negeri ketimbang di bioskop negeri sendiri.

Kendati demikian, bukan berarti tak banyak film bagus tayang di bioskop komersil yang terdapat di mal-mal. Sesekali muncul film bagus buatan anak negeri yang bisa bersanding dengan terhormat bersama film-film Hollywood.

Hanya saja, penonton kita kebanyakan melewatkannya. Film-film bagus itu biasanya tenggelam oleh ingar-bingar film-film nasioanl yang disuka kaum alay dan film blockbuster Hollywood. Yang biasa terjadi, ketika filmnya jadi pembicaraan di media sosial, sudah terlambat untuk dapat penonton lebih banyak lantaran sudah telanjur turun dari layar bioskop.

Nah, di ujung tahun ini, saatnya kami mengingat lagi film-film nasional apa saja yang bikin kami terpesona saat menontonnya di bioskop. Ini 10 film terbaik pilihan kami tahun 2015 ini.

2 dari 6 halaman

10 & 9

10. Jenderal Soedirman

Sungguh menyenangkan sineas kita masih diberi kesempatan membuat film dengan production value yang megah. Membuat film perjuangan macam Jenderal Soedirman tak murah. Film ini didukung penuh oleh jajaran purnawirawan TNI AD. Sejak lama, militer memang kerap terlibat pembuatan film. Jadi, sebetulnya ini hanya melanjutkan praktik yang sudah dilakukan bertahun-tahun.

Lantas, kenapa dipilih memfilmkan Jenderal Soedirman? Selama Orde Baru, sang jenderal digambarkan ditaruh di pinggir dalam narasi besar heroisme Soeharto dalam aksi Serangan Umum 1 Maret. Soedirman digambarkan sebagai sosok lemah yang sakit-sakitan. Lewat film karya Viva Westy ini, untuk pertama kalinya, sang jenderal seolah diberi tempat untuk 'membela diri'. Perang gerilya yang dilakukannya menghindari aksi polisionil Belanda yang ingin menguasai kembali Republik tergambar jelas. Soedirman (di film diperankan Adipati Dolken) bukan lagi jenderal lemah yang sakit-sakitan.

 

Film Filosopi Kopi dibintangi Chicco Jerikho, Rio Dewanto dan Julie Estelle.
9. Filosofi Kopi The Movie

Filosofi Kopi The Movie berangkat dari cerpen panjang Dewi Lestari alias Dee. Sebagaimana layaknya sebuah cerpen, banyak elemen yang perlu ditambahkan bila ingin difilmkan. Maka, ada elemen-elemen tambahan di film yang tak terdapat di cerpennya. Bagusnya, jika Madre--yang juga diangkat dari cerpen panjang Dee--hal tersebut merusak film, pada Filosofi Kopi hal demikian tak terjadi.

Film ini jadi enak ditonton tentu saja berkat hasil kerja Angga Dwimas Sasongko berikut aktor dan aktrisnya. Membaca cerpennya, kita akan melihat Dee sebenarnya sedang bergenit ria mencari-cari makna filosofis dari kopi. Sedang di filmnya, Angga memberi asupan emosi dan jiwa yang lebih dari sekadar paparan mencari kopi terenak. Alhasil, menonton Filosofi Kopi versi film seperti menyeruput kopi ditemani pisang goreng atau penganan lain. Rasanya lebih lengkap dan nikmat.

3 dari 6 halaman

8 & 7

8. Tanah Mama

Tidak banyak film dokumenter bisa tayang di bioskop komersil. Awal tahun ini rilis Tanah Mama yang diproduseri Nia Dinata. Saya yakin, lobi dan nama besar Nia yang akhirnya membikin film dokumenter ini bisa tayang di bioskop. Namun, kita justru patut syukuri hal tersebut.

Ini menandakan satu hal. Jenis film ini masih diberi tempat, seberapa pun minimnya penonton jenis film begini. Yang sempat menonton Tanah Mama di bioskop sungguh beruntung sebab ini tontonan penting. Sutradara Asrida Elisabeth merekam kehidupan 'mama' di Papua bernama Halosina. Ia menghidupi empat anaknya sementara suaminya kawin lagi. Di balik kisah penderitaan Halosina terdapat pula gugatan keras pada budaya patriarki. Pesan film ini jelas, adat yang membelenggu dan berlaku tak adil pada perempuan harus diakhiri.

 

Adegan film Nay. (dok. istimewa)

7. Nay

Film ini terutama dikritik habis-habisan lantaran formatnya menjiplak Locke (2014) karya Steven Knight. Seperti Locke, Nay juga hanya menyorot seorang tokohnya yang bernama Nay (Ine Febriyanti) mengendarai mobil sendirian sambil bertelepon dengan orang-orang. Dari segi format, Nay menggugat toleransi kita, sejauh mana kita akan menganggap karya yang berformat serupa sebagai karya jiplakan atau tidak? Bagaimana bila film Nay memang paling cocok dibuat dengan format cerita seperti Locke? Lalu, andai Anda tak pernah menonton atau mendengar tentang film Locke, bagaimana Anda menilai film Nay?

Ya, cara terbaik menikmati Nay dengan membuang segala pikiran filmnya menjiplak Locke. Maka, Anda akan temukan bahwa filmnya layak disebut salah satu 'mutiara' perfilman kita tahun ini. Penyutradaraan Djenar Maesa Ayu sangat rapi. Ia meng-casting orang-orang yang tepat. Ine bermain teramat bagus. Kita seperti melihatnya dalam monolog-monolog teaternya. Sementara itu, Ninik L Karim juga menyumbangkan suaranya yang berwibawa. Kita merasakan kehadirannya walau tak melihat wujudnya.

4 dari 6 halaman

6 & 5

6. Kapan Kawin?

Komedi romantis genre yang susah-susah gampang dibuat. Sineas kita berkali-kali membuat tontonan jenis ini. Tapi sering berakhir sebagai produk gagal. Tahun ini ada satu film jenis ini yang bolehlah dianggap berhasil: Kapan Kawin?.

Kapan Kawin? berangkat dari pertanyaan yang sering diajukan pada mereka yang dirasa sudah siap menikah, tapi belum kunjung menikah. Filmnya bercerita tentang Dinda (Adinia Wirasti) yang terpaksa menyewa seorang aktor miskin sok keren tapi idealis, Satrio (Reza Rahadian) pura-pura jadi pacarnya, untuk ia kenalkan kepada orang tuanya. Film karya Ody C Harahap ini unggul berkat semua faktor yang terbangun dengan baik di film ini: skenario jempolan yang ditulis Monty Tiwa bareng Ody dan Robert Ronny serta chemistry Adinia dan Reza.

 

Adegan film Toba Dreams. (dok. istimewa)

5. Toba Dreams

Toba Dreams menjadi comeback bagi Benni Setiawan. Lewat film ini ia seakan membuktikan pada kita bahwa ia sebetulnya sutradara yang bisa menggarap film dengan hasil baik (Bukan Cinta Biasa, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta). Kalaupun ada filmnya yang tak nikmat ditonton, well, kita percaya saja itu bukan kesalahannya semata. Toba Dreams tampaknya lahir dari idealismenya (ia yang menulis skenarionya dari novel TB Silalahi).

Hasilnya, sebuah drama keluarga yang sudah jarang dibuat sineas kita. Konflik ayah dan anak banyak dibuat di film-film drama era 1980-an seperti yang dibuat Buce Malawau atau Frank Rorimpandey. Toba Dreams melanjutkan tradisi itu. Kita beruntung melihat Benni Setiawan comeback tahun ini. Semoga saja ia tak mengkhianati kita lagi dengan film-film pas-pasan lagi.

5 dari 6 halaman

4 & 3

4. Surga yang Tak Dirindukan

Surga yang Tak Dirindukan dibuat oleh produser yang menghasilkan Ayat Ayat Cinta (AAC, 2008). Maka, boleh dibilang film ini meneruskan tradisi yang sudah digagas sejak AAC tersebut, yakni persoalan umat Islam hari-hari ini bukan lagi persoalan kesalehan komunal (seperti era film Al Kautsar), melainkan kesalehan personal macam mengatasi masalah poligami tanpa mengingkari perintah Tuhan tersebut.

Memang seolah persoalan umat Islam jadi tak beranjak dari sekitar 7 tahun lalu. Namun, Surga yang Tak Dirindukan tetap menjadi tontonan asyik. Kuntz Agus, sutradaranya, berhasil menelurkan karya yang melodramatis sebagaimana Hanung Bramantyo dulu lewat AAC. Ia pintar mengaduk emosi penonton atas praktik poligami yang dilakukan tokoh-tokohnya (Fedi Nuril yang mempraktikkan poligami pada Laudya Cynthia Bella dan Raline Shah). Di luar itu, Surga yang Tak Dirindukan juga menampilkan wajah kelas menengah muslim Indonesia hari ini. Itu rasanya nilai penting satu lagi film ini bagi studi perfilman kita.

 

Guru Bangsa, Tjokroaminoto

3. Guru Bangsa: Tjokroaminoto

Selalu menggoda untuk menyaksikan karya Garin Nugroho. Kita seakan dibuat penasaran pada apa yang bakal disajikannya lantaran kita tahu ia takkan menyuguhkan film yang biasa-biasa saja. Lewat Guru Bangsa: Tjokroaminoto, Garin kembali ingin memyampaikan isu kontemporer. Ia mengajak kita berkaca pada sejarah. Kita misalnya melihat, bagaimana pesan Tjokro (Reza Rahadian) atas isu SARA.

Film ini unggul karena production value yang megah. Sungguh menyenangkan masih ada yang mau berinvestasi, sedemikian serius membuat 'period movie' atau film berlatar sejarah. Film macam begini masih dibuat tahun ini menandakan harapan untuk membuat film serius, dengan apa pun risikonya, di Tanah Air belum sirna.

6 dari 6 halaman

2 & 1

2. Mencari Hilal

Mencari Hilal dituding menjiplak plot Le Grand Voyage (2004) sebuah film Prancis tentang perjalanan ayah dan anak yang tak akur dari Prancis ke Mekkah lewat darat. Kisahnya memang mirip. Di Mencari Hilal kita bertemu Heli (Oka Antara) yang terpaksa menemani ayahnya, Pak Mahmud ( Deddi Sutomo) yang ingin mencari hilal dengan caranya sendiri. Pun juga, hubungan ayah dan anak ini tak akur. Tapi apa dengan begitu lantas nilai film ini jadi minor lantaran punya kemiripan dengan Le Grand Voyage?

Bagi saya tidak. Mencari Hilal tetaplah sebuah karya yang asyik. Filmnya juga memperlihatkan akting jempolan dua bintang utamanya, sesuatu yang tak bisa dijiplak. Namun di luar itu, Mencari Hilal dengan amat tepat menggambarkan bagaimana kehidupan beragama kita di akar rumput. Ia menunjukkan Islam Nusantara tak pernah tunggal. Selalu warna-warni. Lewat film ini, Ismail Basbeth membuktikan ia sutradara cemerlang yang punya masa depan cerah.

 

Adegan film Siti. (dok. istimewa)

1. Siti

Amat disayangkan hingga tulisan ini dibuat tak semua orang Indonesia berkesempatan menonton film ini di bioskop komersil. Siti memang lebih berjaya di festival film dan jadi tontonan kesayangan di komunitas-komunitas film.

Well, Siti memang tampak diniatkan sebagai sebuah karya mandiri. Formatnya saja hitam-putih dengan rasio gambar 4:3. Siti mengisahkan kehidupan satu hari seorang perempuan bernama Siti (diperankan Sekar Sari), 24 tahun. Ia seorang ibu muda, mengurusi ibu mertuanya, Darmi; anaknya, Bagas (Bintang Timur Widodo); dan suaminya, Bagus (Ibnu widodo). Pilihan hitam-putih kemudian memang membuat Siti terlihat artistik. Akting Sekar sebagai Siti juga total dan paling banyak dapat pujian. Film ini begitu memihak pada perempuan, kaum yang kerap termarjinalkan.

Kemenangan Siti di ajang AFI dan FFI tahun ini dianggap simbol kemenangan sinema independen. Kabarnya tahun depan Siti bakal dirilis di bioskop komersil di luar bagian acara sebuah festival film. Bagi saya, itu kemenangan film ini sesungguhnya.(Ade/Feb)*