Liputan6.com, Jakarta Seorang gadis muda muncul di kehidupan Jaya (Tyo Pakusadewo) tanpa diundang. Namanya Laras (Julie Estelle), datang jauh-jauh dari Indonesia mengantar satu kotak kayu kecil titipan ibunya yang baru almarhum, ke apartemen sederhana milik Jaya yang terletak di satu sudut kota Praha.
Wasiat ibunya, bila kotak kayu tersebut telah sampai ke tangan Jaya, barulah Laras bisa menguasai segala warisan yang ditinggalkannya. Ternyata, Jaya menolak mentah-mentah kotak kayu itu dan mengusir Laras dari tempat tinggalnya. Baru setelah Laras pergi, Jaya duduk tersedu bersama Bagong, anjing peliharaannya, sambil memanggil nama ibunda Laras. “Sulastri seda, Gong,” ujarnya di sela air mata, menangisi kematian perempuan yang dicintainya tanpa putus sejak dulu.
Advertisement
Petikan di atas, adalah salah satu adegan dalam film terbaru sutradara Angga Dwimas Sasongko, Surat dari Praha. Ya, film ini memang bercerita soal cinta, tema yang bolak-balik diangkat oleh sineas mana pun. Namun, Angga bersama penulis naskah film ini, M. Irfan Ramli, berhasil keluar dari segala hal klise dan picisan tentang cerita cinta.
Lihat saja dua tokoh utamanya, Jaya dan Laras. Jaya adalah laki-laki tua yang kehilangan kewarganegaraan gara-gara menolak mengakui pemerintahan Soeharto saat ia menjadi mahasiswa ikatan dinas di Praha, sehingga ia tak bisa pulang ke Indonesia. Tak hanya keluarga, ia juga kehilangan kekasihnya Sulastri, yang hanya bisa ia kirimi surat setelah 20 tahun menghilang.
Sementara Laras, adalah seorang gadis muda 'kekinian' yang memandang banyak hal dengan sinis. Ia juga memendam kemarahan pada ibunya yang ia anggap tak pernah peduli pada keluarga. Ibu yang di matanya hanya bisa senang saat melihat tukang pos datang untuk mengantar surat dari Jaya.
Beban akting dalam film ini bisa dikatakan bertumpu sepenuhnya pada dua tokoh utama, Julie Estelle dan Tyo Pakusadewo. Keduanya, menjawab tantangan ini dengan memberikan performa terbaiknya. Tarik menarik emosi antara dua tokoh ini berlangsung mulus, baik melalui baku dialog maupun adegan-adegan tanpa kata. Termasuk dalam menampilkan hubungan keduanya yang terasa ambigu.
Baca Juga
Terutama Tyo, yang berhasil menampilkan lapisan demi lapisan tokoh Jaya secara begitu apik. Sebagai lelaki tua yang kesepian, sebagai seorang eksil dengan masa lalu yang pahit, dan juga sebagai seorang pecinta. Semua layer dari tokoh ini ia eksekusi dengan sama baiknya.
Selain bicara cinta, film ini juga memberikan tempat untuk musik dan sejarah politik. Angga berhasil meramu seluruh tema ini sehingga masing-masing dapat muncul bersama tanpa terasa janggal. Termasuk tema ‘berat’ sejarah dan politik, yang ia sajikan secara humanis lewat tokoh Jaya dan teman-temannya.
Kematangan Angga yang lain, terlihat dari ketegasannya dalam mengolah Praha sebagai lokasi syuting. Semua tahu bahwa ibu kota Republik Ceko ini penuh dengan lokasi indah yang menggiurkan. Namun Angga menahan diri untuk mengambil gambar-gambar penyedap mata ini secara berlebihan. Dan ini, adalah satu keputusan yang tepat.
Ketimbang bergenit-genit memamerkan pemandangan indah yang sebenarnya tak perlu, Angga memilih fokus dalam menjaga narasi. Hasilnya, film ini terasa lebih kuat dalam menampilkan relasi tokoh-tokohnya.
Surat dari Praha yang dirilis pada 28 Januari besok, memperlihatkan bahwa Angga adalah salah satu sineas muda Indonesia dengan rekam jejak yang terjaga. Setelah Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Filosofi Kopi, dan kini Surat dari Praha, Angga membuktikan bahwa ia layak untuk dimasukkan pada daftar sutradara Indonesia yang karya-karyanya selanjutnya, tak boleh dilewatkan dari radar.