Liputan6.com, Jakarta Namanya Tupon, perempuan asal Gunung Kidul, Jawa Tengah. Rumahnya terbuat dari gedek bambu beralas tanah, dengan genteng yang bocor kala hujan. Jangankan ijazah perguruan tinggi, membaca saja ia tak mampu. Cita-citanya hanya satu. Terdengar sederhana, namun begitu tinggi buat dia.
“Aku ingin Sekar jadi anak pintar,” begitu kata Tupon tentang harapannya mengenai Sekar Palupi, putri semata wayangnya.
Baca Juga
Sayang, Sekar ternyata tak suka bersekolah. Ia lebih senang bermain ke rumah tetangga. Apalagi teman-teman kelasnya kerap mengejek dirinya. Tak lama, kemalangan menimpa keluarga kecil Tupon. Surip suaminya, tewas saat sedang menambang batu di bukit kapur.
Advertisement
Kini Tupon harus berjuang sendirian meraih mimpinya tersebut, yang juga menjadi amanat terakhir sang suami.
Baca Juga
Cerita Tupon—yang diperankan oleh Kinaryosih—tertuang dalam film MARS, yang kepanjangannya adalah Mimpi Ananda Raih Semesta. Selain Kinaryosih, Acha Septriasa juga berperan dalam film ini sebagai Sekar Palupi dewasa. Sementara Sekar versi bocah dimainkan oleh aktris cilik Chelsea Riansy. Ada pun Surip, dimainkan dengan baik sekali oleh Teuku Rifnu Wikana yang harus berlogat Jawa medhok dalam film ini.
Dari sinopsisnya, jelas terlihat bahwa MARS adalah film dengan satu misi khusus. Yakni memberikan inspirasi bagi penontonnya, melalui jatuh bangun Tupon, seorang wanita kuat, dalam mengantarkan anaknya meraih pendidikan.
Gunung Kidul yang dijadikan latar MARS, berbicara banyak dalam film ini. Fakta bahwa Gunung Kidul adalah daerah miskin di Indonesia, sangat terlihat dalam film ini, namun tak terasa terlalu dilebih-lebihkan. Lihat saja bagaimana Tupon yang nyeker alias berjalan tanpa alas kaki ke mana pun ia pergi. Atau kala Tupon harus menjual kambing yang ditukar dengan setumpuk uang lecek, modalnya membeli seragam sekolah untuk Sekar. Hal ini terlihat begitu kontras dengan setting lain film MARS, yakni London.
Film MARS menandai debut penyutradaraan Sahrul Gunawan. Ia berhasil membawa Gunung Kidul dan segala permasalahannya menjadi begitu dekat dengan penonton. Ia juga sudah memiliki visi yang jelas mengenai visualisasi yang diinginkannya dalam film ini. Hasilnya, gambar-gambar cantik bertebaran di MARS.
Hanya saja, ada satu masalah mendasar dalam MARS. Film ini kerap mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan problem dalam plot cerita. Contohnya saja, saat Sekar tak bisa mendaftar sekolah. Di puncak ketegangan ini, saat penonton mengantisipasi bagaimana Sekar bisa bersekolah, tiba-tiba saja di adegan selanjutnya masalah ini selesai hanya dengan satu kalimat dari Tupon. Yakni bahwa mereka banyak dibantu oleh seorang ustad di desanya.
Ada beberapa kasus lain dalam MARS, di mana sebuah persoalan diselesaikan lewat jalan yang mudah, yakni pemaparan. Terutama lewat dialog.
Padahal dalam sebuah storytelling, ada satu kunci emas yang ada baiknya dipegang erat setiap penutur dalam karyanya—baik dalam bentuk tertulis atau sinema—yakni show, don’t tell. Perlihatkan, jangan dijelaskan. Pengalaman penonton dalam menginterpretasi setiap laku dan emosi aktor, akan membuat mereka merasa lebih terlibat, dibanding dengan langsung disuapi dengan isi cerita.
Meski begitu, MARS masih berhasil memagut hati penonton. Terutama, di bagian akhir cerita, kala tokoh Sekar bertemu dengan seorang mbok tua di kampungnya. Di sini, Sahrul berhasil mengaktifkan kunci show, don’t tell dengan baik. Hasilnya, adegan ini menjadi gong yang sangat manis dan emosional dalam film MARS.
Dirilis berdekatan dengan Hari Pendidikan Nasional, yakni 4 Mei 2016, film MARS adalah sebuah film yang ramah untuk seluruh anggota keluarga, dan mampu menginspirasi tentang pentingnya nilai edukasi. Siapa tahu, penonton akan tergerak untuk bisa sekuat Tupon, atau menjadi Sekar berikutnya. (Rtn/fei)