Liputan6.com, Jakarta Kondisi politik Indonesia saat ini tengah berjalan ke arah yang lebih baik, kondusif dan damai. Hal ini menjadi pertanda baik untuk berjalannya roda pembangunan di Indonesia.
Sementara itu di media sosial, wacana perpolitikan begitu dinamis karena meningkatnya partisipasi masyarakat, terutama generasi Y yang akrab dengan perkembangan teknologi.
Baca Juga
Dahulu partisipasi masyarakat dikancah politik bentuk fisik, seperti demo. Sekarang mulai berubah sejak munculnya gadget dan media sosial. Demikian diungkapkan oleh Prabu Revolusi, saat membuka acara diskusi dengan tema "Partisipasi Politik Generasi Y Di Media Sosial" yang digelar Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) di Energy Building, Lt.21, SCBD Sudirman, Jakarta, Selasa (17/5) lalu.
Advertisement
Acara diskusi terbuka ini menghadirkan nara sumber; Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno dan Dosen Komunikasi Politik PGSC, Gun Gun Heryanto. Turut hadir Rektor Paramadina, Prof. Firmanzah, sedangkan Prabu Revolusi yang merupakan News Anchor dan Mahasiswa PSGC bertindak sebagai moderator diskusi.
Gun Gun menjelaskan bahwa interaksi dan ekspresi partisipasi generasi Y telah mengkonfirmasi adanya fenomena demokrasi siber (Cyberdemocrazy). Hal ini berdasarkan literatur Andrzej Kaczmarczyk, dalam buku Cyberdemocracy Change of Democratic Paradigm in the 21st Century (2010).
"Fenomena ini ditandai empat faktor penting. Pertama, trend global dalam mempraktikkan model demokrasi partisipatoris. Kedua, komunikasi politik interaktif. Ketiga, konflik sering kali dimediasi oleh pengguna informasi berbasis teknologi komunikasi. Dan keempat, transformasi politik yang terhubung ke internet dan memberi akses pada informasi yang bersifat personal," jelas Gun Gun.
Generasi Y dijelaskan oleh Gun Gun adalah generasi yang lahir tahun 1977-1997. Sebelum itu disebut generasi X (1965-1976) dan sesudah generasi Y adalah generasi Z (yang lahir 1998-sekarang). Hal ini berdasarkan literatur dari Don Tapscott.
Sebagai dosen dan seorang peneliti, Gun Gun Heryanto berharap partisipasi generasi Y tidak hanya semata-mata bicara pemilu, tapi menjadikan media sosial sebagai ruang publik baru.
"Karakteristik (generasi Y) yang menjadi pengontrol dan penekan ini seharusnya diarahkan ke ruang publik baru sehingga menjadi pengontrol yang strategis," harap Gun Gun.
Sebab opini publik saat ini, menurut Gun Gun, bukan hanya dibentuk media mainstream seperti koran dan televisi karena ada beberapa keterbatasan mulai individu, organisasi hingga ideologi.
"Media sosial bisa menjadi penekan dan pengontrol. Terbukti KPK bisa kuat karena resonansi dan gerakan masyarakat di media sosial," kata Gun Gun.
Untuk menciptakan generasi Y yang lebih aktif dalam berpartisipasi politik, Gun Gun memiliki tips jitu yakni melalui pendekatan berbasis komunitas.
"Penting untuk membangun komunitas, tidak hanya berbasis fisik tapi juga online. Selain itu, dari komunitas harus ada upaya lebih konkrit dan inisiatif untuk diskusi di media sosial. Kemudian terhubung kembali dengan realitas," ungkapnya.
Realitas yang dimaksud Gun Gun adalah mengumpulkan orang dalam mengkritisi kebijakan publik. Singkatnya satukan kesadaran bersama di media online, kemudian kopdar (kopi darat).
Generasi Y Dimata Sandiaga Uno
Sementara itu, menurut Sandiaga Uno, partisipasi politik generasi Y sangatlah penting. Berdasarkan data world bank, 50% penduduk Indonesia berusia dibawah 30 tahun. Jumlah populasi generasi muda ini menentukan kebijakan baik dalam pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan lain-lain.
"Generasi Y dimasa depan akan menjadi decision makers. Di Trenggalek wakil Bupati berusia 25 tahun, dia sudah memimpin. Kalau tidak ada generasi Y yang di politik nanti enggak nyambung. Generasi Y berpikir seperti anak-anak saya. Sementara yang membuat kebijakan berpikir seperti angkatan saya," kata Sandiaga Uno.
Generasi Y, menurut pandangan Sandiaga Uno adalah generasi yang telah diselimuti dengan teknologi maju dan dikelilingi media sosial. Generasi ini juga dihubungkan dengan hal-hal yang lebih konsumtif. Sementara Sandiaga merasa dirinya termasuk generasi The Baby Boom (lahir 1946-1964).
Sandiaga mencontohkan soal kebijakan transportasi berbasis online yang ramai beberapa waktu lalu. "Generasi Y berpikir tak peduli dengan regulasi, yang penting saya butuh akses transportasi secara online. Ini terjadi karena regulasi tidak diperkenalkan sehingga tidak terjadi koneksi," ujar Sandiaga Uno.
Jika generasi Y tidak berpartisipasi dalam politik, lanjut Sandiaga Uno, maka pembuat kebijakan yang notabene angkatan tua tidak akan mengerti sedang terjadi gap. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagaimana parpol, pemerintah dapat mengajak generasi Y berpartisipasi dalam berpolitik.
Dihadapan mahasiswa dan peserta diskusi, Sandiaga Uno juga mengatakan tantangan yang harus di perhatikan generasi Y dalam partisipasi politiknya.
"Generasi Y harus lebih kritis dalam mengevaluasi informasi dan berita di media sosial. Sebab, generasi muda yang aktif dalam ranah media sosial belum mendapatkan kesempatan memadai untuk berpartisipasi dalam proses politik," kata Sandiaga Uno.
Di akhir presentasinya, Sandiaga berpesan supaya generasi Y tidak alergi terhadap politik.
"Generasi muda jangan alergi politik. Karena harga beras, minyak goreng, pendidikan adalah bagian dari kebijakan politik," kata Sandiaga Uno.
Diskusi terbuka yang mengundang para pakar merupakan kegiatan rutin yang digelar Paramadina Graduate School untuk menambah wawasan mahasiswa sekaligus menjadi momen berkomunikasi langsung dengan para pakar dan
tokoh politik.
Advertisement
Beasiswa S2 di Paramadina
Keprodi Paramadina Graduate School of Communication (PGSC), Dr. Suraya, MM menjelaskan, proses pembelajaran di Paramadina diutamakan pada diskusi studi kasus, sharing pengalaman dan memecahkan permasalahan dengan pendekatan creative thinking dalam bentuk program yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Sesuai dengan tagline kami yaitu "Transforming knowledge, Inspiring creativity",” kata Suraya.
Mata kuliah bagi peminatan Corporate Communication, lanjut Suraya, terdiri dari ekonomi politik, media relations, komunikasi strategik dan manajemen krisis, periklanan, dan komunikasi persuasif. Sedangkan peminatan Political Communications ada mata kuliah yang sama dengan Program Corporate yaitu ekonomi politik, komunikasi persuasif, juga ada mata kuliah khas Program Komunikasi Politik yaitu media dan kampanye politik, pemilu dan perilaku politik.
Mata kuliah di PGSC diberikan oleh tenaga pengajar berkualitas berlatar belakang pendidikan Komunikasi dan Ilmu Politik.
“Tenaga pengajar juga berpengalaman sebagai praktisi di bidangnya masing-masing seperti PR, media, psikologi, konsultan PR dan politik, periklanan, komunikasi politik dan se-bagainya,” kata Suraya.
Didukung oleh fasilitas pembelajaran yang modern. PGSC menawarkan program master, untuk mendorong karir bagi para professional yang saat ini telah berkarya dibidang komunikasi serta mengasah kemampuan dan keahlian bagi mereka yang ingin berkarir dibidang komunikasi.
Saat ini, Paramadina Graduate School (PGS) masih membuka program beasiswa S2 bagi kalangan Jurnalis, Aktivisi NGO dan Guru. Beasiswa dalam bentuk bebas biaya kuliah selama 2 tahun masa kuliah dan beasiswa parsial. Besar nilai beasiswa ditentukan dari hasil tes dan wawancara dengan tim panel.
Program beasiswa ini sudah berlangsung sejak tahun 2009 sebagai bentuk kepedulian Universitas terhadap pekerja media, karena mereka adalah "The Silent Teacher" bagi masyarakat. Informasi lebih lanjut silahkan mengunjungi website kami di http://gradschool.paramadina.ac.id
(Adv)