Liputan6.com, Jakarta Ada banyak alasan untuk melakukan ritual pemanggilan arwah. Seperti misalnya untuk "diwawancara"--selayaknya permainan jelangkung di Indonesia. Entah iseng, atau memang percaya makhluk gaib itu mampu memberikan jawaban yang diminta si penanya. Keluarga Zander, melakukan ritual ini demi alasan mencari uang.Â
Hanya saja, keluarga ini tak pernah benar-benar memanggil makhluk halus. Dengan berbagai trik mereka mengecoh orang yang datang ke rumah mereka, meyakinkan para tamu ini bahwa arwah orang yang mereka cintai benar-benar hadir di antara mereka.
Advertisement
Sampai suatu hari, sang ibu, Alice Zander (Elizabeth Reaser) membeli sebuah papan ouija. Saat mengetes papan yang sekilas terlihat tak berbahaya ini, tanpa sengaja ia memanggil makhluk gaib yang lantas menempel pada putri bungsunya, Doris (Lulu Wilson). Si anak sulung, Lina Zander (Annalise Basso), curiga dengan perubahan Doris. Tapi Alice malah merasa peristiwa yang dialami Doris adalah sebuah berkah.
Sampai peristiwa mengerikan mulai terjadi pada keluarga kecilnya.
Ini, adalah sinopsis singkat dari Ouija: Origin of Evil, film horor yang kabarnya akan dirilis di Indonesia dalam waktu dekat. Bila judul ini langsung mengingatkan Anda pada film Ouija di tahun 2014, maka Anda sama sekali tak salah. Ini, adalah prekuel dari film yang disutradarai Stiles White tersebut.
Di film teranyar ini, yang memegang komando sebagai sutradara adalah Mike Flanagan, yang sebelumnya mengarahkan Oculus dan Before I Wake. Flanagan, yang juga bertindak sebagai penulis naskah, memasukkan beberapa elemen dari film perdana Ouija ke dalam film ini. Contohnya para karakter yang mengintip dari balik kaca di bidak papan ouija, karakter yang mulutnya dijahit, atau tubuh yang tergantung di tengah rumah.
Meski begitu, kedua film ini terasa memiliki nuansa yang sangat berbeda. Tak hanya karena film Ouija kedua ini berlatar tahun 70-an, tapi juga memiliki pendekatan yang berbeda dengan pendahulunya.
Bila film pertama menggunakan formula film horor remaja, prekuelnya ini memilih pendekatan drama keluarga. Bagaimana Alice bertahan sebagai orangtua tunggal yang membesarkan kedua putrinya sendirian, ikatan dalam keluarga kecil ini, juga kehidupan remaja Lina, sangat dieksplorasi di babak awal film ini.
Flanagan terlihat berusaha keras untuk memperkenalkan para pemeran film ini, sekaligus menarik penonton untuk bersimpati pada mereka. Sayang, skenario tak cukup kuat untuk melakukannya.
Namun untungnya, makin ke belakang film ini mulai menunjukkan ototnya. Salah satu kekuatan utamanya, adalah visualisasi Doris yang mengerikan saat ia kerasukan. Apalagi, ia kerap muncul tanpa peringatan sebelumnya.
Sementara itu, berbeda dengan dua bagian awalnya, babak ketiga Ouija: Origin of Evil yang datang secara tiba-tiba ini memiliki muatan horor yang sangat padat. Kebanyakan, memang menggunakan pendekatan jump scare alias memberikan efek kejut buat penonton. Meski banyak orang yang menganggap tipe horor seperti ini menyebalkan—karena hanya mengagetkan tanpa menakut-nakuti—setidaknya jump scare Ouija: Origin of Evil berhasil menaikkan adrenalin penonton.
Kalau Anda tertarik untuk ditakut-takuti jelangkung Hollywood ini, jangan bergerak dari bangku bioskop sampai closing credit benar-benar berakhir. Karena ada adegan bonus yang diberikan oleh Ouija: Origin of Evil.