Liputan6.com, Jakarta Moana dan Beauty and the Beast live action dianggap sebagai film besutan Disney khusus anak-anak. Saat menelisik lebih jauh, Moana dan Belle--karakter princess dalam Beauty and the Beast--ternyata punya pesan tersembunyi mengenai paham feminsme.
Baca Juga
Advertisement
Moana dan Belle digambarkan sebagai wanita yang unik, berbeda dibandingkan kaum Hawa pada umumnya dalam rentang waktu yang digunakan dalam film tersebut. Moana, sang anak dari kepala suku di wilayah Polenisia. Di sana budaya dan adat mengatur sangat ketat, khususnya untuk kaum wanita.
Belle--dalam kostum yang digunakan Emma Watson--dalam Beauty & The Beast mengambil setting waktu di akhir abad ke-18. Sama seperti Moana, Belle juga harus tunduk pada sistem yang membangun masyarakat. Di masa itu, peranan wanita di masyarakat sangat terbatas. Pekerjaan wanita berkutat pada: kasur, dapur dan sumur.
Dengan kata lain, Belle dan Moana adalah produk yang dikembangkan oleh suatu sistem. Belle dan Moana menghadapi permasalahan yang sama untuk menggebrak steriotipe yang sudah terbiasa dibangun dalam masyarakat, mengenai pria yang mendominasi di kelompok tempat tinggalnya.
Film Beauty & The Beast live action memang belum tayang, tapi arah mengenai ceritanya sudah bisa tergambar jelas. Apalagi, live action ini merupakan adaptasi dari animasi dengan judul yang sama dirilis 1991 silam.
Memperhatikan mengenai Moana dan Belle, teringat jelas akan gerakan kaum feminisme yang baru berkembang di Amerika Serikat pada 1700-an (Madsen, 2000: 1). Awalnya, feminisme merupakan protes dari kaum wanita untuk bisa sejajar dengan pria.
Feminisme menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab, pelaku dari penindasan perempuan (Humm, 2007: 157–158). Dilihat dari rentang waktu dan ceritanya, wanita di sekitar Moana dan Belle seolah kehilangan identitas.
Dinyatakan oleh Ruthven (1985: 6) bahwa pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi pria. Lalu, seperti apa gerakan feminisme yang tergambar dalam Moana dalam Belle?
Â
Beauty and the Beast
Film animasi Beauty and the Beast yang rilis 1991 silam--dengan karakter utamanya Belle--putri seorang penemu sekaligus pedagang yang sering berkeliling ke wilayah lain, memiliki rasa berbeda dalam live action yang diperankan Emma Watson.
Dalam Beauty and the Beast, Belle yang digambarkan sebagai sosok yang cantik--dari ras Kaukasia--dengan kulit putih dan rambut coklat. Belle digambarkan sebagai sosok wanita yang cerdas dan kuat.
Bahkan, Belle (live action) justru yang diceritakan sebagai seorang penemu. Dalam bocoran, Belle berhasil menciptakan mesin cuci--di zamannya tentu saja terlihat aneh--tapi sangat berguna. Belle yang kutu buku dipandang aneh oleh orang lain, termasuk kakak-kakak Belle (dalam novel aslinya karangan Grimm Brothers).
Semua itu sesuai dengan pandangan feminisme menyangkut bagaimana memosisikan subjek perempuan di dalam masyarakat. Selama ini, wanita dianggap sebagai the other--keberadaannya dipandang sebelah mata--di masyarakat.
Dalam sebuah adegan, Belle digambarkan sebagai sosok yang berani. Saat itu, Belle menemukan ayahnya yang dikurung karena masuk ke istana the Beast. Sang ayah langsung menyuruh anaknya lekas pergi. Tak lama, The Beast muncul. Alih-alih merasa takut, Belle justru menghadapi Beast yang kemudian memohon pada ‘monster’ itu untuk melepaskan ayahnya.
Belle memberanikan diri untuk menukar dirinya dengan ayahnya sebagai tawanan Beast. Melihat sang gadis yang cantik, Beast tergiur dengan tawaran ini dan menerima dengan satu syarat--Belle harus berjanji untuk tinggal di istana itu selamanya. Sosok Belle yang dengan berani berhadapan dengan Beat sesuai dalam prinsip feminisme.
Lewat bukunya The Feminine Mystique, Betty Friedan menjelaskan gerakan feminisme ingin menyamakan kedudukan perempuan dengan laki–laki. Selama ini budaya patriarkat masih berlaku, sehingga kedudukan laki-laki dipandang selalu lebih
tinggi dibandingkan perempuan.
Di dalam budaya patriarkat nilai-nilai perempuan sebagai sosok lemah dan memerlukan perlindungan laki-laki bukan untuk membuatnya kuat seraya menghadapi ketidakpastian hidup.
Advertisement
Moana
Moana tak mengakui dirinya sebagai Princess Disney. Ia hanya mengaku sebagai putri kepala suku. Sosok Moana dengan kulit coklatnya ini mengingatkan dengan Pocahontas.
Mereka adalah anak dari kepala suku sebuah adat yang sangat memegang teguh adat. Pembagian kerja berdasarkan gender yang menempatkan perempuan dalam ranah domestik, sementara laki-laki dalam ranah publik jelas menimbulkan kesenjangan kelas.
Namun Moana tidak hanya berhadapan dengan kaum laki-laki dari sukunya saja, tapi juga perempuan kulit putih. Sungguh tragis, saat perempuan banyak berbicara mengenai feminsime, mereka sendiri menjadi pelaku adanya gap atau pembagian kelas di masyarakat. Orang kulit putih, termasuk wanita Kaukasia, merasa superipr dibandingkan dengan wanita dari negara lainnya.
Feminsime dalam film Moana disebut sebagai generasi ketiga atau konsep post-feminsme. Mulai diperkenalkan di Amerika oleh kaum wanita kulit hitam. Selama ini, wanita kulit berwarna kerap kali dimarginalkan, terutama dalam hubungannya dengan perempuan dan laki-laki kulit putih dan kaum heteroseksual. Kritik feminis ini memberikan perhatian kepada keberadaan para perempuan kulit berwarna.
Moana merupakan contoh sempurna mengenai feminsime generasi ketiga. Digambarkan, sosok Moana sebagai wanita yang tak kenal takut. Di film ini, tak ada sosok pangeran, hanya ada Maui, pria setengah dewa yang menemani Moana melakukan perjalanan dan petualangan.
Menurut sang kepala suku, hidup mereka telah digenapi oleh segala hasil kebun di pulau. Tak perlu menyusuri laut yang penuh dengan bahaya. Namun, satu waktu malapetaka hadir di pulau mereka.
Membangkang dari perintah ayahnya, Moana kemudian nekat berlayar di laut lepas.Tak hanya memenuhi panggilan jiwanya, ia juga meminta bantuan pada manusia setengah dewa bernama Maui yang kini hidup terasing untuk mengembalikan jantung Te Fiti. Padahal, sebagai anak kepala suku, Moana bisa saja mendapatkan kenyamanan. Tapi Moana memilih bertaruh nyawa demi menyelamatkan sukunya.
Inilah bukti, Princess Disney di era modern tak lagi egois yang hanya ingin menunggu untuk diselamatkan. Moana juga menggambarkan feminisme gelombang ketiga yang berusaha menunjukkan signifikansi peran dan citra perempuan dalam ranah publik. dan, mereka berusaha agar perempuan mempunyai keterlibatan yang lebih intens di masyarakat atau sosial.