Liputan6.com, Jakarta - Menonton film Ghost in the Shell yang kini tengah tayang di Indonesia, sesungguhnya adalah sebuah hal yang terbilang susah-susah gampang. Terutama buat mereka yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan anime atau manga aslinya.
Terbilang susah, karena film Ghost in the Shell berada dalam dunia asing—meski sedikit terasa familiar. Sekitar 30 menit awal di film Ghost in the Shell, adalah bagian yang paling menantang bagi penonton untuk dicerna, agar bisa masuk benar dalam dunia futuristik ini.
Advertisement
Baca Juga
Diceritakan bahwa di Jepang masa depan, manusia—secara harfiah—sudah begitu menyatu dengan dunia siber. Manusia di masa ini,  menanam memori, memasang kamera bionik berkemampuan super sebagai pengganti bola mata, hingga memasang port alias ‘colokan’ yang menyambungkan tubuh mereka agar terhubung dengan internet. Dalam Ghost in the Shell, manusia masa depan bertindak layaknya gawai berjalan.
Lalu penonton diperkenalkan pada tokoh Mira (Scarlett Johansson), yang belakangan lebih sering disebut Major. Berbeda dengan manusia lainnya, hampir seluruh raga Major adalah tubuh bionik, kecuali otaknya. Ia, adalah sebuah terobosan dalam laboratorium yang dipimpin oleh Dr. Ouelet (Juliette Binoche), wanita bermata lembut yang menganggap Mira seperti anaknya sendiri.
Tubuh istimewanya ini membuat Major layaknya memiliki kekuatan super. Ia ditempatkan dalam sebuah divisi keamanan khusus di bawah pimpinan Aramaki (Beat Takeshi). Namun di sisi lain, ia selalu mempertanyakan identitasnya. Apa benar dia manusia?
Sementara itu, seorang hacker bernama Kuze (Michael Pitt), meretas sejumlah robot dan membunuhi sejumlah petinggi Hanka—perusahaan yang ‘melahirkan’ Major. Kuze mengincar data-data yang tersimpan di kepala orang-orang tersebut. Sudah diduga, Major-lah yang akan menghadapi Kuze. Konfrontasi ini, ternyata membawa gangguan dalam diri Major.
Dunia Cyberpunk yang Mencekik
Satu hal yang sejak awal dipastikan bakal menarik perhatian penonton, adalah dunia yang dibangun oleh sang sutradara di film ini, Rupert Sanders.
Pria yang sebelumnya menyutradarai Snow White and The Huntsman ini memang terbilang berhasil menghadirkan sebuah distopia dan atmosfer kelam dari sebuah peradaban yang kelewat maju. Misalnya lewat gedung tinggi yang rapat masih disesaki dengan hologram iklan raksasa di sela-selanya, serasa ikut mencekik penonton.
Production design film ini juga terbilang ciamik. Terutama desain robot geisha di awal film yang terlihat cantik, anggun, sekaligus bikin bergidik. Para penggemar anime dan manga yang aslinya ditulis Masamune Shirow ini, juga banyak mengeluarkan pujiannya atas visualiasasi film ini sejak trailernya muncul.
Sementara itu, meski film ini memiliki dunia yang sekilas terlihat pelik, begitu plot berjalan dan menuju pada persoalan utamanya, ternyata penonton dihadapkan pada cerita yang aslinya begitu sederhana—kalau tidak boleh dibilang klise. Yakni, soal menyingkap masa lalu. Inilah yang membuat Ghost in the Shell terasa gampang dikunyah, meski awalnya penonton dihadapkan pada dunia yang rumit.
Scarlett Johansson, menampilkan karakter Mira yang secara dingin dan nyaris tanpa ekspresi. Ternyata begini cara dia menampilkan karakter cyborg yang tengah mengalami krisis identitas—apakah ia manusia atau sekadar mesin tak berotak. Hal ini diimbangi dengan penampilan anggota pasukan Major yang penuh warna. Terutama Batou (Pilou Asbæk) pria berbadan besar namun hati lembut yang loyal serta Aramaki (Beat Takeshi) si rubah tua yang masih berbahaya.
Yang menarik, soal tuduhan white washing dalam film ini gara-gara penunjukkan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama, sedikit banyak terjawab di akhir film. Tentu saja, ini terlepas dari apakah Anda sebagai penonton menerima jawaban yang disodorkan atau tetap merindukan aktris Jepang sebagai memerankan Major.
Kesimpulannya, Ghost in the Shell merupakan film yang berpotensi menghibur beragam kalangan. Penggemar genre cyberpunk misalnya, dihadapkan dengan fantasi soal konsekuensi teknologi informasi yang makin menggurita di masa depan. Fans Ghost in the Shell akhirnya bisa melihat sendiri bagaimana jika manga dan anime ini diwujudkan dalam live action. Sementara berkat plotnya yang simpel, penonton awam pun tak perlu takut ikut menceburkan diri dalam dunia ganjil dalam Ghost in the Shell.
Â
Advertisement