Sukses

Justice League: Cerita Geng Superhero ala DC Universe

Justice League sebenarnya merupakan film superhero dengan beban yang berat.

Liputan6.com, Jakarta Film Justice League dibuka dengan atmosfer kelam. Dunia berduka atas kematian Superman. Tak hanya dukacita, muncul satu bahaya yang mengincar bumi. Tanpa Superman yang menjadi pelindung, Steppenwolf, musuh lama manusia yang ingin menguasai dunia, kembali hadir.

Steppenwolf hadir setelah ‘dipanggil’ oleh tiga buah Mother Box atau Kotak Ibu, artefak dengan kekuatan super besar, yang bahkan mampu membuat bumi porak poranda.

Justice League ( Warner Bros/ IMDb)

Batman (Ben Affleck) dan Wonder Woman (Gal Gadot), mencium bahaya ini. Sadar kekuatan mereka tak sebanding dengan Steppenwolf, mereka lantas berusaha merekrut para superhero lain. Tiga yang teridentifikasi adalah The Flash (Ezra Miller) yang bisa bergerak secepat kilat, pahlawan Atlantis Aquaman (Jason Mamoa), dan Cyborg (Ray Fisher).

Meski kelimanya telah berkumpul, ternyata kekuatan mereka masih belum cukup untuk mengalahkan Steppenwolf. Namun, Batman menemukan satu cara yang berbahaya untuk mengalahkan Steppenwolf, sekaligus memperkuat aliansi superhero yang ia bentuk.

Didorong oleh rasa bersalah atas kematian Superman sekaligus pemikiran bahwa ia bukanlah sosok yang cukup kuat untuk mengalahkan Steppenwolf, Batman berkeras melakukan rencana ini. Sebaliknya Wonder Woman mengingatkan soal bahaya yang mengancam di balik pilihan yang bakal diambil Batman.

 

2 dari 3 halaman

Beban Berat Justice League

Bila dihitung-hitung, sebenarnya beban Justice League terbilang sangat berat. Yang pertama, film garapan Zack Snyder – Joss Whedon ini harus melanjutkan jejak Wonder Woman yang sukses secara finansial dan mendapat pujian dari kritikus.

Film ini juga harus mampu memperkenalkan The Flash, Aquaman, dan Cyborg secara lebih mendalam, karena ketiganya hanya muncul sekelebat di Batman v Superman: Dawn of Justice.

Selain itu, Justice League juga harus mampu menjadi film yang membuka jalan bagi cerita di jagat DC yang lebih besar, sekaligus mampu berdiri sebagai film yang baik secara utuh. Sebagian berhasil dilakukan oleh Justice League, namun tak sedikit pula yang gagal dieksekusi di film ini.

 

Salah satu hal yang menarik dari Justice League, adalah dinamika dari para superhero yang ditampilkan di film ini. Soal Batman – Wonder Woman yang saling mengenal masa lalu dan isi hati masing-masing. Juga interaksi kocak antara Barry Allen yang ceriwis dengan Cyborg dan Aquaman yang punya kepribadian berbeda 180 derajat darinya.

Ngomong ngomong soal The Flash alias Barry Allen, kehadirannya memang memberikan nuansa yang berbeda dalam Justice League. Di waralaba ini, The Flash yang digambarkan berkepribadian kutu buku dan agak sulit bergaul ini kerap diposisikan sebagai comedic relief yang mencairkan ketegangan dalam Justice League. Tak heran bila The Flash menjadi sosok kunci dalam sebagian besar momen humor di film ini.

3 dari 3 halaman

Alur Berantakan

Sutradara Batman v Superman, Zack Snyder, sempat menangani proyek Justice League sampai masuk pada tahap pascaproduksi. Namun ia keluar dari proyek ini di tengah jalan, karena tengah berduka setelah putrinya tewas bunuh diri. Tongkat estafet diserahkan pada Joss Whedon, yang disebut Ben Affleck hanya mengubah 15-20 persen dari Justice League versi Zack Snyder.

Barangkali karena hal ini, nampaknya ada satu ‘penyakit’ yang diwarisi Justice League dari Batman v Superman. Yakni, ceritanya yang terasa terpecah-pecah, melompat-lompat, dan tak padu. Ini terutama terjadi di awal hingga pertengahan film, saat memperlihatkan dunia baru tanpa Superman sekaligus perkenalan tentang para superhero baru. Alhasil, bagian ini terasa berantakan.

Tak hanya itu, pengenalan karakter para tokoh superhero baru pun tak dilakukan secara matang. Selain Batman dan Wonder Woman, latar belakang para superhero hanya ditampilkan sekilas saja. Bisa jadi, hal ini disimpan untuk film solo masing-masing superhero. Namun akibatnya, impresi dan keterikatan emosional penonton atas para tokoh ini pun tak begitu besar. Mereka kurang lebih hanya terlihat sebagai jagoan di atas layar—itu pun masih ‘tergusur’ oleh kebangkitan kembali sang jagoan utama di film ini.

Belum lagi sang tokoh antagonis, Steppenwolf yang dihadirkan dengan begitu generik dan datar. Jangan bayangkan Joker yang misterius dalam The Dark Knight atau Loki yang karakternya multidimensi. Steppenwolf ditampilkan sekadar sebagai musuh yang ingin menguasai dunia.

Meski banyak kekurangan, tampaknya ini tak akan mengurangi rasa ingin tahu pecinta film—terutama fans berat DC Universe—tentang Justice League. Dan bila melihat jumlah layar bioskop Tanah Air yang dirajai oleh film ini, tampaknya tak perlu khawatir pula soal pundi-pundi uang yang bakal diraup Warner Bros dan DC Entertainment.