Liputan6.com, Jakarta Mengangkat film animasi untuk keluarga yang sebenarnya memiliki tema berat, tampaknya sudah bukan hal yang baru untuk Pixar. Setelah Inside Out yang berbicara tentang persoalan mental dan psikologis, kini yang terbaru adalah Coco, yang berbicara tentang kematian.
Dongeng kematian ala Pixar ini, tak diceritakan lewat visualisasi kelam ala film-film Tim Burton. Sebaliknya, hal ini disampaikan lewat warna-warni ceria hidup Miguel (Anthony Gonzalez), seorang bocah di sebuah kota kecil, yang bercita-cita sebagai musisi.
Advertisement
Baca Juga
Masalahnya, ia datang dari keluarga pembuat sepatu yang membenci segala hal yang berhubungan dengan musik. Sang kakek buyut—yang telah dibuang dari silsilah keluarga—adalah seorang musisi yang meninggalkan sanak familinya demi menjadi seorang musisi terkenal.
Tapi Miguel tak menyerah. Berpegang pada ucapan terkenal idolanya, musisi legendaris Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) untuk meraih impian, Miguel nekat mengikuti sebuah perlombaan menyanyi di alun-alun kota. Ajang ini, diselenggarakan tepat pada Dia de los Muertos, Festival Kematian Meksiko, di mana roh para leluhur mengunjungi keluarga yang masih mengingat mereka.
Masalahnya, Miguel tak punya alat musik untuk mengikuti perlombaan ini. Tak habis akal, ia pun menyelinap ke makam Ernesto de la Cruz, untuk meminjam gitar milik sang musisi yang digantung di tempat ini.
Namun setelah gitar tersebut berhasil jatuh ke tangannya, sebuah hal tak terduga terjadi. Miguel tak sengaja menyeberang ke dunia orang mati. Celakanya, ia hanya punya waktu sebelum Festival Kematian berakhir, untuk kembali ke dunia. Bila tidak, ia tak akan pernah kembali ke keluarganya.
Petualangan di dunia orang mati, ternyata membuka satu rahasia besar di keluarga Miguel.
Memancing Tawa dan Tangis
Salah satu kekuatan utama Coco, adalah jalan ceritanya. Secara garis besar, film ini membedah hal-hal yang dekat dengan penonton: yakni keluarga dan kematian.
Soal keluarga, mungkin sudah bolak-balik diangkat dalam film, termasuk film animasi. Soal yang jarang disentuh, adalah soal kematian. Dan sutradara sekaligus penulis cerita film ini, Lee Unkrich—yang sebelumnya menyutradarai Toy Story 3 dan Finding Nemo—melakukannya dengan cara yang manis, bahkan puitis.
Film ini bahkan menyentuh kutipan populer mengenai manusia yang sejatinya mengalami dua kali kematian: yakni saat ruh terlepas dari raganya dan saat ia benar-benar dilupakan di dunia. Adegan di pengujung film antara Miguel dan Mama Coco, menjadi klimaks yang menyimpulkan secara baik hal ini, sekaligus membetot emosi penonton.
Jangan khawatir, Coco tak hanya berisi tentang hal-hal yang membuat tangis. Film ini juga memiliki kadar humor yang terbilang tinggi. Apalagi karakter-karakter yang ada di film ini terbilang menarik, seperti Abuelita yang galak atau Hector yang ceroboh.
Soal plot, film ini juga memiliki banyak twist yang tak terduga. Saat penonton mulai menebak ke mana arah kisah ini, alur langsung berbelok ke arah yang berbeda.
Â
Advertisement
Visual Cantik Festival Kematian
Saat ini, rasanya tak usah lagi meragukan visualisasi film animasi komputer yang dihadirkan studio-studio besar seperti Pixar atau Dreamworks. Dan ini tak berbeda dengan yang dihadirkan di Coco.
Nyaris setiap adegan menampilkan visual yang begitu menawan. Di dunia makhluk hidup misalnya, ditampilkan hangatnya atmosfer yang muncul lilin-lilin yang dipasang di Festival Kematian. Detail gambar yang begitu kaya, hingga ke kelopak bunga kecil yang terserak di pinggir jalan, membuat visualisasi dalam film ini makin memanjakan mata.
Adapun dunia orang mati terlihat begitu semarak dengan warna-warni fluorescent, dengan detail yang kaya dan terlihat memiliki dimensi yang begitu dalam. Bisa dibilang bahwa setiap frame, terlihat cantik layaknya lukisan.
Tak cuma soal pemanis mata, Coco juga kental dengan budaya Meksiko. Dialognya, penuh dengan campuran bahasa Inggris dan Meksiko. Penjelasan mengenai Festival Kematian pun cukup banyak diselipkan. Mulai soal penggunaan bunga marigold yang berfungsi sebagai ‘jalan’ untuk roh leluhur menemukan rumah, keberadaan foto dalam ofrenda, sampai binatang penuntun di dunia orang mati.
Meski informasi seperti ini bertebaran di sepanjang film, tapi Coco tak lantas menjadi sebuah tontonan membosankan. Sebaliknya, hal-hal ini disajikan secara menarik dalam film ini. Contohnya saja soal proses penyeberangan roh leluhur ke dunia yang disederhanakan layaknya proses imigrasi di bandara.
Bahkan penonton dewasa pun bisa dipastikan bakal terhibur dengan sejumlah lelucon di film ini yang tampaknya memang ditujukan khusus untuk mereka. Contohnya saja ‘cameo’ Skrillex dan kemunculan seniman Frida Kahlo.
Secara garis besar, Coco yang akan mulai diputar di bioskop Tanah Air pada 24 November mendatang ini memberikan sebuah pengalaman menonton yang sangat menyenangkan bagi setiap anggota keluarga. Tak hanya menyajikan kisah petualangan bagi penonton muda, namun juga perenungan bagi penonton dewasa.