Liputan6.com, Jakarta - Doraemon, anime legendaris yang diadaptasi dari manga besutan Fujiko F. Fujio ditayangkan di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Anime yang tayang sejak 1973 silam itu seolah menemani masa kecil.
Baca Juga
Advertisement
Ceritanya memang simple, mengenai seorang anak laki-laki bernama Nobi Nobita yang dikenal bodoh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kelakuan Nobita rupanya menyengsarakan keturunannya, membuat Doraemon dikirim dari masa depan.
Doraemon Mengubah Hidup Nobita
Untuk mengubah hidup, robot berbentuk kucing Doraemon dari abad 22 pun dikirim. Hari-hari Nobita berubah sejak kehadiran Doraemon yang selalu membantu dengan alat-alat ajaibnya, termasuk pintu kemana saja yang membawa Doraemon dan Nobita atau baling-baling bambu.
Nobita memang tetap saja diganggu oleh Giant dan Suneo Honekawa. Namun Nobita dan teman-temannya tetap saja bersahabat. Bahkan, mereka juga melakukan petualangan bersama.
Doraemon mengajarkan untuk memaafkan kesalahan orang lain. Selain itu, pentingnya persahabatan membuat hidup menjadi berwarna.
Advertisement
Dianggap Sesat
Pakistan, beranggapan Doraemon memberikan pelajaran yang sesat kepada anak-anak yang menontonnya. Akhirnya, lembaga legislatif Pakistan memaksa pemerintah segera mengesahkan undang-undang pelarangan penayangan Doraemon.
Dr Murad Rass, salah seorang anggota lembaga legislatif Pakistan menyebutkan, Doraemon seharusnya tak boleh ditayangkan di televisi. Selain itu, Doraemon juga membuat pendidikan anak-anak menjadi terganggu.
Disebut Beri Dampak Negatif
"Anak-anak adalah sasaran empuk Doraemon. Kartun ini memiliki dampak negatif pada pendidikan dan kesejahteraan anak-anak," kata Dr Murad Rass, dikutip laporan di Hindustan Times Rass.
Ia berharap anak-anak Pakistan seharusnya menonton kartun yang lebih mendidik. Lebih baik lagi, seandainya Pakistan membuat kartunya sendiri.
Advertisement
Sengaja Membuat Publik Diam?
Perwakilan lembaga legislatif Pakistan heran publik masih tak memberikan reaksi terhadap kehadiran Doraemon. Apalagi Doraemon kini telah banyak sulih suaranya.
"Bahasa yang digunakan dalam kartun menghancurkan norma-norma kemasyarakatan," Dr Murad Rass menambahkan.