Sukses

Film Stadhuis Schandaal Jadi Tontonan Bersejarah Bagi Generasi Milenial

Pada 2018, Adisurya Abdy yang juga aktif sebagai penulis, kembali menggarap film terbaru berjudul Stadhuis Schandaal.

Liputan6.com, Jakarta - Produksi yang meningkat pada film Indonesia, diiringi oleh animo penonton yang kian bertambah. Untuk menjaga agar film Indonesia tetap bisa memiliki tempat di hati penonton, perlu ada cerita dan kemasan yang baru dan menarik. Terutama, bagi para penonton dari generasi milenial.

Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi sutradara senior Adisurya Abdi. Ia menghadirkan sebuah cerita film dengan kemasan apik yang memanfaatkan teknologi computer generated imagery (CGI). Teknik memanfaatkan komputer mampu menghasilkan suatu efek ilusi yang sulit dicapai dengan cara normal.

Kini pada 2018, Adisurya Abdy yang juga aktif sebagai penulis, kembali menggarap film terbaru berjudul Stadhuis Schandaal. Bagi Adisurya, saat ini dunia film di tanah air kian hari semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya sineas-sineas muda berbakat yang memproduksi film dari berbagai genre.

Sebut saja genre film drama, komedi, horor, laga, dan sebagainya. Kondisi ini yang membuat dirinya semangat untuk membuat film terbaru dengan membidik segmen milenial.

2 dari 5 halaman

Diterima oleh Milenial

"Di produksi film saya berjudul Stadhuis Schandaal, saya berusaha maksimal baik dari unsur cerita dan teknologi. Karena hasrat dan selera penonton terus berubah. Ketika film memasuki zaman milenial, kami juga hadir di era kekinian," ujar Adisurya Abdi, ditemui di kantor gedung pusat Perfilman Usmar Ismail di kawasan H.R Rasuna Said, Jakarta.

Lebih jauh dijelaskan Adisurya Abdi, pilihannya membidik segmen milenial (berumur 12 hingga usia 27 tahun) didasarkan kenyataan, bahwa kelompok ini yang mendominasi jumlah penonton bioskop di tanah air.

Karena itu, ia tertantang memproduksi film berjenis drama thriller dan misteri yang mampu menarik minat sebagian besar anak muda. Stadhuis Schandaal merupakan film yang mengangkat aspek nilai sejarah dengan pendekatan kekinian, agar dapat diterima oleh milenial.

3 dari 5 halaman

Tak Diminati Penonton

Adisurya Abdi menjelaskan, industri film di tanah air banyak mengangkat cerita sejarah sebagai film layar lebar, namun karena penggarapannya jauh dari aspek menghibur sehingga cenderung tak diminati penonton – khususnya milenial.

"Kelemahan film kita adalah mengangkat kisah nyata sejarah tapi tidak dalam wujud kekinian, dalam artian memakai format pendekatan hiburan dan pop," kata Adisurya. Adisurya yang menempuh pendidikan di Advanced School for Film Directing (1986-1987) di Los Angeles, Amerika Serikat, pernah menyutradarai berbagai film seperti Gita Cinta dari SMA, Roman Picisan dan Asmara.

Menurut Adisurya Abdi, para pelaku industri perfilman, termasuk sutradara, tidak bisa menghindari hal itu karena penonton film di tanah air kini rata-rata didominasi dari kalangan berusia 12 hingga 27 tahun.

"Kalau kita bicara sejarah tempo dulu, maka mereka tidak paham. Filmlah yang memiliki ruang dan alat untuk memberi tahu mereka, apa dan siapa yang pernah terjadi di negeri ini. Caranya ikuti selera milenial," kata Adisurya Abdi.

4 dari 5 halaman

Sesuatu yang Berbeda

Dijelaskan lebih jauh, melalui film Stadhuis Schandaal, Adisurya ingin menawarkan sesuatu yang berbeda, dari tema-tema film yang dipenuhi horor yakni cerita sejarah namun dalam balutan kekinian atau pop.

Film Stadhuis Schandal sendiri mengisahkan tentang Fei (diperankan Amanda Rigbi), seorang mahasiswi Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sedang mengerjakan tugas kampus mengenai The Old Batavia.

Saat mencari bahan dan riset di kawasan Kota Tua Jakarta, dia merasa diperhatikan seorang gadis keturunan Belanda dan Jepang yang kemudian dikenal sebagai Saartje Specx atau dipanggil Sarah (Tara Adia).

Sosok Sarah kemudian menghilang dari pandangan Fei saat dering telepon berbunyi. Pertemuan Fei dengan Sarah membuat dia tidak dapat menghilangkan pertanyaan dalam pikiran siapa sosok wanita yang memperhatikannya di Museum Fatahillah – yang dulu bernama Stadhuis itu.

5 dari 5 halaman

Abad ke-16 dan Kekinian

Ada dua kurun waktu yang ditampilkan dalam film terbaru karya Adisurya Abdy ini, yakni setting zaman kolonial pada abad ke-16 dan kekinian (modern). Tidak hanya menyutradarai, Adisurya juga menulis skenario film yang mengambil lokasi pengambilan gambar di Jakarta, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan Shanghai, Tiongkok.

Adisurya menuturkan film ini telah siap dan rencananya diputar di bioskop tanah air pada pertengahan tahun 2018.

"Saya berharap melalui film ini generasi milenial lebih mengenal nilai sejarah bangsa Indonesia serta terinspirasi untuk terus berkarya dan berkreasi," jelasnya seraya menutup perbincangan.