Liputan6.com, Jakarta Film Alita: Battle Angel sudah menarik perhatian publik sejak diumumkan ke publik. Ini karena film tersebut diadaptasi dari manga populer yang aslinya bertajuk Battle Angel Alita atau Gunnm.
Apalagi, Alita: Battle Angle memiliki konsep fantasi nan futuristik, dan naskahnya ditulis oleh James Cameron sutradara Avatar dan Titanic.
Alita: Battle Angel mengisahkan tentang seorang cyborg (Rosa Salazar) yang ditemukan oleh seorang dokter bernama Ido (Cristoph Watz) di tempat sampah. Cyborg yang lantas diberi nama Alita ini tak ingat satu hal pun tentang masa lalunya.
Advertisement
Alita mencoba membangun kembali hidupnya dengan menjalin pertemanan di Iron City. Ia bahkan menemukan kekuatan dan kemampuan bertarung yang selama ini tersembunyi. Hanya saja, sekelompok cyborg lain mengincar dirinya dan orang-orang di sekelilingnya setelah kekuatan ini muncul.
Baca Juga
Film Alita: Battle Angel sendiri, telah ditayangkan di bioskop Tanah Air sejak Selasa (5/2/2019). Artinya, film ini tayang lebih dulu di Indonesia ketimbang Amerika Serikat yang baru akan mulai memutarnya pada 14 Februari mendatang.
Namun, sejumlah kritikus film internasional sudah menyaksikan film yang disutradarai Robert Rodriguez ini. Seperti apa pendapat mereka?
Visual yang Mengagumkan
Bila dilihat dari situs agregat Metacritic dan Rotten Tomatoes, pendapat kritikus terbelah atas film ini. Saat berita ini ditulis, Alita mendapat skor 53 di Metacritic dan 59 persen di Rotten Tomatoes.
Banyak yang memuji efek visual dan dunia post-apocalyptic yang dihadirkan dalam film ini.
"Alita: Battle Angel adalah film terbaik Robert Rodriguez selama bertahun-tahun . Film ini ambisius, impresif, spektakuler secara visual, dengan performa pemain yang membuat dunia yang begitu ganjil ini terasa nyata," tulis William Bibbiani dari IGN.
Advertisement
Kurang Orisinal?
Hanya saja, tak sedikit pula yang mengkritik bahwa inti cerita dalam film ini terasa tidak orisinal dan terlalu sederhana. Bahkan Peter Bradshaw dari The Guardian menilai bahwa film ini lebih cocok sebagai tontonan anak-anak.
"Tak ada ide yang dewasa, menantang, dan rumit seperti dalam Ghost in the Shell. Sebuah film distopia dengan romansa yang lunak," tulis Peter.