Sukses

Pariban, Idola Dari Tanah Jawa: Romantika Usia 30-an dan Pertanyaan “Kapan Kawin?”

Tema kapan kawin sebenarnya bukan hal baru di industri film Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Persoalan klasik bagi Anda yang berusia kepala tiga dengan karier mapan dan tinggal di Indonesia, kerap ditanya, “Kapan kawin?” Apalagi, sebentar lagi Lebaran.

Saat berkumpul dengan keluarga besar, Anda yang berusia 30-an dan belum menemukan jodoh, siapkan mental serta tebalkan telinga. Pertanyaan kapan kawin bisa menyambar kapan saja dari mulut siapa saja. 

Tema kapan kawin sebenarnya bukan hal baru di industri film Indonesia. Sinemart Pictures pernah menampilkannya lewat Cinta Suci Zahrana (Chaerul Umam, 2012). Dalam level yang lebih apik, ada Kapan Kawin?(Ody C. Harahap, 2015).

Apakah Pariban mampu lebih baik dari kedua film tadi? 

 

 

 

2 dari 3 halaman

Persaingan Halomoan dan Binsar

Kisahnya dimulai dari kehidupan Halomoan (Ganindra). Di usia 35 tahun, ia memiliki segalanya kecuali cinta. Kariernya sebagai pemilik perusahaan rintisan bersinar. Kliennya, dari perusahaan multinasional hingga luar negeri. Banyak perempuan jatuh hati padanya, bahkan, punya 6 pacar untuk 6 hari berbeda. Khusus hari Minggu, didesikasikan Halomoan untuk ibunya (Lina). 

Suatu hari Ibu Halomoan merasa terhina. Saat berkumpul dengan sahabat, Ibu Halomoan ditanyai kapan punya menantu. Tak tahan dengan serangan para sahabat, ia mengutus Halomoan terbang ke Samosir, Sumatra Utara untuk menemui paribannya, Nantulang (Dayu) dan Tulang (Rukman). Keduanya memiliki seorang putri bernama Uli (Atiqah). Kali pertama melihat Uli, Halomoan jatuh hati. Sayang, Uli dekat dengan Binsar (Rizky). 

Adegan selanjutnya, mudah ditebak, yakni persaingan Halomoan dan Binsar dalam mendapatkan Uli. Beruntung, sineas Andibachtiar berhasil memoles persaingan ini menjadi duel yang tidak monoton. Ia memanfaatkan hal-hal kecil seperti papan catur, motor gede, gaya berpakaian yang eksentrik, dan pelafalan nama untuk memantik kelucuan.

 

 

3 dari 3 halaman

Cinta Sejati dari Batak

Esensi film ini sebenarnya menemukan cinta sejati dengan latar kebudayaan Batak yang eksotik. Ide cerita Pariban berawal dari keresahan akan pudarnya kecintaan terhadap Batak. Karenanya, film ini disisipi suasana di lapo, nyanyian soal pariban, upacara adat, museum benda peninggalan leluhur, suasana pasar trasisional, hingga penjelasan gamblang asal-usul suku Batak serta apa yang dimaksud pariban. 

Sensasi serasa belajar geografi dan antropologi di layar lebar tak terhindarkan. Agar tidak terasa berat, beberapa materi humor ditabur. Sayangnya, sutradara dan penulis naskah belum berani beranjak sepenuhnya dari humor seputar WC dan persepsi alat kelamin. Andai mau konsisten soal perangai, gaya bicara, dan gegar budaya Halomoan di kampung leluhurnya, Pariban berpotensi menjadi komedi yang lebih berkelas. 

Akting Ganindra dan Atiqah asyik. Atiqah dalam banyak adegan tampak tak berjarak dengan para pemeran pendukung termasuk figuran di pasar tradisional. Sementara Ganindra dengan gaya narsistik dan gestur yang terlalu percaya diri terlihat menarik. Performanya membuat kami percaya bahwa Halomoan orang sukses. Kami pun maklum jika ia punya banyak pacar.  

Sayangnya, setelah menanti 1,5 jam lebih, tak ada akhir yang melegakan dari cerita cinta segitiga ini. Sang produser percaya diri untuk melanjutkan kisah ini di masa mendatang. Yang dibutuhkan mayoritas penonton adalah kisah cinta dengan akhir mengesankan. Perkara mau ada sekuel, pasti ada saja celah cerita yang bisa dikembangkan dari Pariban ini. (Wayan Diananto)