Sukses

The Battle Roar to Victory, Keindahan Sinematografi Melukis Sebab dan Dampak Perang

The Battle: Roar to Victory mengisahkan masa Korea yang tunduk pada aturan Jepang pada tahun 1920.

Liputan6.com, Jakarta - Makin banyak film Korea Selatan diimpor ke Tanah Air dengan kualitas cihuy. Setelah Exit, giliran film perang berbasis sejarah berjudul The Battle: Roar to Victory. The Battle: Roar to Victory menampilkan sepenggal kisah Korea di era pendudukan Jepang.

Penduduk Negeri Gingseng yang menolak aturan Jepang memperjuangkan kemerdekaan. The Battle: Roar to Victory bukan kisah yang utuh.

Sineas Won Shin-yun memilih satu kurun waktu lalu menjelaskan perkara dan dampaknya dengan detail. Seperti apa hasil akhir The Battle: Roar to Victory?

The Battle: Roar to Victory mengisahkan masa Korea yang tunduk pada aturan Jepang, tahun 1920. Sejumlah pejuang yang melakukan perlawanan dan memekikkan kemerdekaan ditangkap kemudian dibunuh.

2 dari 4 halaman

Misi yang Nyaris Mustahil

Adalah dua pejuang yakni Hwang Hae-Chol (Yoo) dan Byeong-ku (Jo) melawan lewat jalur berbeda. Byeong-ku, seorang penembak jitu, lebih dulu ditangkap tentara elit Jepang. Sementara Har-cheol di tengah jalan bertemu komandan muda Lee Jang-ha (Ryu). Keduanya semula tak akur.

Apalagi setelah Hae-cheol tahu Jang-ha mengemban misi bunuh diri, menggiring pasukan Jepang ke lembah kematian. Keadaan memaksa Hae-cheol dan Jang-ha bahu membahu. Keduanya berupaya menjebak tentara elit Jepang sembari mengirim bantuan perang ke pemerintah Korea di Tiongkok.

Dalam melaksanakan misi yang nyaris mustahil ini, Hae-cheol dan Jang-ha dibantu Gae-Ddong (Sung), Choon-hee (Lee), dan Lee Ja-hyun (Choi). Tim yang diperkuat sekitar 30 orang ini melawan ratusan pasukan elit yang dipimpin beberapa komandan di antaranya, Letnan Pertama Yasukawa (Kazuki) dan Kunasaki (Hiroyuki).

3 dari 4 halaman

Kekuatan Sinematografi

Hal yang tak terbantahkan dari film ini adalah kekuatan sinematografi. Apa pun yang dibingkai film ini tampak indah, puitis sekaligus dramatis. Adegan Byeong-ku diseret dengan kuda, ditusuk-tusuk pedang, terkapar di dataran berpasir, dan dikerubuti burung pemangsa bangkai amat indah. Kamera menyorot dengan format lanskap memperlihatkan tubuh sekarat, kuda yang membisu, dan pejuang yang meratapi. Adegan sadis di film ini memenuhi kaidah estetika.  

Contoh lain yang membuat bibir menganga, saat tabung pualam berisi abu para pejuang tertembak. Abu yang tercecer kemudian dipungut dan diletakkan di secarik kain putih. Sepintas tak ada yang istimewa di adegan ini. Lalu, abu itu ditebar agar terbawa angin. Kamera lantas menyorot motif kain pembungkus abu pejuang itu. Bergulir tanpa banyak dialog, gambar yang bergerak menjelaskan definisi nasionalisme dan mahalnya harga kemerdekaan.

The Battle: Roar of Victory dengan detail menjelaskan satu demi satu dampak perang dari kemiskinan, korban jiwa, harta yang sia-sia, hingga tumpulnya rasa kemanusiaan. Khususnya adegan di Desa Samdunja. Sebagian dari data atau karakter film ini fiktif. Tentu saja sejumlah adegan didramatisasi. Meski demikian, kita masih bisa menikmati penggalan sejarah ini sebagai hiburan mengesankan. Apa pun yang tersaji di sini memantik berbagai emosi dari takut, tidak tega, terhibur (mengingat selera humor film ini boleh juga), hingga keleganan.

4 dari 4 halaman

Memenuhi Semua Aspek

Dari belasan pemain dengan porsi banyak yang ditampilkan, chemistry Yoo Hae-jin dan Ryu Jun-yeol paling solid. Keduanya memperlihatkan proses yang tidak instan. Dari saling kesal, menggunjing, hingga takut kehilangan di adegan puncak. Pujian patut diberikan kepada Hae-jin yang mengirim beragam emosi dari kekonyolan, menyebalkan tapi enggak sadar diri, hingga terusik harga dirinya akibat penjajahan. Pendek kata, ia tampil total. 

Tak semua tokoh tampil kuat. Tokoh Jang-ha sendiri dijadikan simbol kekuatan Korea dengan kemampuan bertahan hidup sedikit di luar nalar. Tampaknya, sineas Won Shin-yun hendak mengirim pesan bahwa dalam kondisi sulit dan penuh tekanan, seseorang bisa saja mengeluarkan kekuatan yang bahkan, ia sendiri tak menyadarinya. Dan perang, bisa mengubah jalan hidup siapa saja, tepat seperti yang dikatakan Hae-Chol, “Kemarin menjadi petani, hari ini bisa saja menjadi pahlawan.”

Sebagai drama perang, The Battle: Roar of Victory sebenarnya telah memenuhi semua aspek yang dibutuhkan. Pesan kemanusiaan, penokohan yang cukup kompleks, sinematografi, hingga ragam emosi yang dikirim ke penonton. Menarik, menghibur, disertai pernyataan sikap yang jelas terkait kemanusiaan. Sebuah pencapaian tinggi bagi perfilman Korea. Saatnya Anda menyaksikan sendiri di bioskop. By the way, setelah film selesai jangan langsung beranjak, ada beberapa narasi tambahan yang menjelaskan kejadian berikutnya.

(Wayan Diananto)