Liputan6.com, Jakarta Agak repot menempatkan Rambo Last Blood sebagai film bagus karena memang enggak bagus-bagus amat. Dibilang jelek juga tak bisa mengingat alur ceritanya fokus ke satu titik konflik, intens dengan catatan, akar konflik tak menancap dalam. Kentara sekali Rambo Last Blood dikemas dalam bujet terbatas.
Meski demikian Rambo Last Blood mampu mempertahankan ciri khas sebagai ikon hiburan Amerika Serikat. Konon ia juga jadi pernyataan sikap politik luar negeri AS meski terasa samar. Soal aksi, jelas bisa memuaskan fans lawas.
Â
Advertisement
Baca Juga
Mari kita cek bagaimana Rambo menjadi duta AS di negeri orang. Jilid keempat Rambo yang dilempar ke pasar pada 2008 menampilkan petualangan John Rambo di Myanmar. Ia menyelamatkan kawanan misionaris atau pemberita injil. Dua dekade sebelumnya, Rambo III menyapa publik dengan kisah John Rambo di Afganishtan.
Tiga tahun sebelum aksi Rambo di Afganistan, ada Rambo First Blood dengan latar Vietnam Utara. Di usia tak lagi muda dan rambut tak lagi gondrong, John Rambo di jilid Last Blood menjajal formula baru.
Gabriella Mencari Ayah
John Rambo (Sylvester Stallone) di jilis Last Blood tinggal di terowongan bawah tanah tak jauh dari rumah kawan lamanya, Maria Beltran (Adriana Barraza). Maria merawat cucunya, Gabriela (Yvette Monreal) yang bersiap kuliah. Gabriela hidup sebatang kara. Ibunya mangkat akibat kanker sementara ayahnya pergi ke Meksiko demi wanita lain.
Maria sejak awal melarang Gabriela melacak keberadaan ayahnya, Miguel (Rick Zingale). Diam-diam, Gabriela menghubungi temannya, Gizele (Fanessa Pineda) yang bekerja di Meksiko untuk mencari informasi seputar Miguel.
Suatu malam, Gizele mengabari Gabriela soal rumah baru Miguel. Tanpa memberi tahu John dan Maria, Gabriela menemui sang ayah. Sayang, Miguel tak menyambut hangat. Kalut, Gabriela diajak Gizele ke diskotik. Di sanalah masalah berasal. Gabriela dijadikan barang dagangan oleh Hugo Martinez (Sergio Peris-Mencheta) dan Oscar Martinez (Oscar Jaenada).
Selain menjual perempuan, Hugo-Oscar punya bisnis narkoba. Sadar Gabriela dalam bahaya, John berupaya menyelamatkan dengan bantuan perempuan bernama Carmen (Paz Vega).
Advertisement
Konflik Rambo
Bujet produksi Rambo Last Blood yang terbatas tampak dari konfigurasi pemain. Hanya Sylvester Stallone yang punya nama besar. Villain dan karakter pendukung diperankan aktor-aktris yang kurang familier, setidaknya bagi pencinta film Tanah Air.
John Rambo yang sudah aki-aki alias sepuh menyepi di kawasan Arizona. Pekerjaannya tak begitu jelas. Ia hanya berkuda, menikmati hari tua dengan hidup di terowongan bawah tanah yang ia bangun. Visi terhadap terowongan pun sekadar untuk berjaga-jaga.
Dari sini kita tahu, ada yang diantisipasi John Rambo dan biasanya terjawab di menit-menit akhir. Karena sudah sepuh pula, konflik Rambo yang semula level internasional bergeser ke area pribadi. Dendam, mata ganti mata, gigi ganti gigi, dan semangat menegakkan keadilan dengan cara sendiri mewarnai sepanjang durasi.
Jangan tanya ke mana perginya polisi dan mengapa mereka tak berkarya nyata di sini. Jelas sudah, problem Rambo Last Blood terletak pada naskah.Â
Amukan Sang Veteran
Konflik Gabriela dan Miguel terasa cheesy sekaligus dangkal. Klise menempatkan si A sebagai yang terzalimi sementara si jahat dengan santainya tak merasa bersalah. Penonton jadi enggan berempati kepada keduanya. Di sisi lain, John Rambo dibiarkan sendirian berjuang. Terlalu berat beban yang disangganya. Padahal kalau dipikir-pikir ia outsider bagi Maria dan Gabriel. Fakta bahwa Carmen tak berbuat banyak membuat film aksi rumahan ini kian suram dan mewakili sebuah kata: kesepian.
Setelah melodrama keluarga yang tak jauh beda dari sinetron, Rambo Last Blood menutup kelemahan konflik dengan aksi memukau. Sylvester Stallone memang tak segesit dulu. Keriput di wajah dan napas yang tak lagi panjang disiasati dengan strategi perang memancing musuh untuk bertamu.
Meski lagi-lagi rombongan yang bertandang terkesan kehebohan. Tak apa, yang penting setengah jam terakhir film ini memuaskan Anda yang ingin melihat sang aktor veteran mengamuk dan membantai lebih dari selusin lawan beringas.Â
Advertisement
Soal Politik
Film ini menyisakan pernyataan politik tipis-tipis soal politik perbatasan AS vs. Meksiko. Seperti diketahui, Desember 2018, hubungan AS-Meksiko memanas. Presiden Donald Trump mengancam menutup seluruh perbatasan Meksiko. Januari 2019, pro-kontra pembangunan tembok perbatasan menajam.
Sejumlah media mengkritisi dampak tembok dari terancamnya 346 spesies hewan hingga kemungkinan jadi bumerang politik. Trump membangun tembok dengan maksud melindungi warga AS dari Meksiko yang konon punya angka kriminalitas tinggi.
Ndilalah, sumber konflik Rambo Last Blood ada di Meksiko yang digambarkan lewat jalanan sempit sekaligus kotor plus pemukiman kumuh. Stallone kepada media bilang tak ada pernyataan politik luar negeri AS di Rambo Last Blood. Ia hanya menyajikan cerita untuk dinikmati, tak perlu diseret-seret ke ranah politik.
Kembali ke soal film, Rambo Last Blood bukan sekuel yang kami harapkan. Fase genting di setengah jam terakhir adalah hiburan yang sulit dilupakan. Stallone dan Rambo sama-sama masih punya taji. Buktikan sendiri.
Â
Pemain: Sylvester Stallone, Paz Vega, Sergio Peris-Mencheta, Adriana Barraza, Yvette Monreal, Fenessa Pineda, Rick Zingale, Oscar Jaenada
Produser: Avi Lerner, Yariv Lerner, Kevin King Templeton, Les Weldon
Sutradara: Adrian Grunberg
Penulis: Matthew Cirulnick, Sylvester Stallone
Produksi: Millennium Media, Balboa Productions
Durasi: 1 jam, 29 menit
Â
(Wayan Diananto)