Liputan6.com, Jakarta Mangkujiwo adalah nama sekte yang disebut-sebut dalam tiga film Kuntilanak versi Julie Estelle dan Evan Sanders (dirilis tahun 2006 hingga 2008). Masih ingat adegan Sam (Julie) berbincang dengan Yanti, pengelola rumah indekos?
Yanti bercerita bahwa rumah indekos itu dulu pabrik batik bernama Mangkujiwo. Seiring waktu, penonton diajak mengenal sekilas sejarah Mangkujiwo termasuk sekte yang memelihara kuntilanak sebagai pesugihan.
Advertisement
Baca Juga
Sebagai sekte, Mangkujiwo punya banyak pengikut. Yang tak tergambar dengan gamblang, bagaimana Mangkujiwo ini terbentuk? Apakah ia punya cabang-cabang yang tersebar ke seluruh Jawa? Mangkujiwo versi Azhar Kinoi Lubis ini mencoba untuk menjawabnya.
Perempuan Dalam Pasungan
Di suatu kampung, ada Kanti (Asmara) yang dipasung di sebuah gubuk bersama beberapa ternak milik Ki Lurah (Landung). Kanti yang dianggap gila kemudian dibawa Brotoseno (Sujiwo) ke kediamannya. Dijanjikan akan diobati, Kanti malah sengaja dibuat gila. Brotoseno memberinya makan nasi bercampur cacahan daging tikus mentah.
Kanti dipasung menghadap ke cermin, yang belakangan diketahui bernama Pengilon Kembar. Pengilon Kembar ada dua. Satu dimiliki Brotoseno. Satu lagi berada di kediaman Cokrokusumo (Roy). Suatu hari, anak Cokrokusumo, Pulung (Samuel), tewas dalam operasi jual beli barang pusaka di sebuah hotel.
Dalam upacara pemakaman, dua rekan kerja Pulung, yakni Karmila (Karina) dan Herman (Kedung) memberi tahu Cokrokusumo siapa tersangkanya. Jurukunci benda-benda pusaka yang setia mengabdi pada Cokrokusumo, Nyai Kenanga (Djenar), punya analisis berbeda.
Kenanga mengatakan, ini bagian dari peringatan yang diberikan Pengilon Kembar. Cokrokusumo semula tak percaya. Waktu kemudian membuktikan.
Advertisement
Kepingan Puzzle Baru
Mangkujiwo horor yang menempatkan diri sebagai paparan sejarah. Jika Anda seperti kami, mengikuti kisah kuntilanak sejak 2006, Mangkujiwo menjadi penting. Ia kepingan puzzle baru yang membuat jagat sinema kuntilanak kian jelas. Ingat di film ini ada Karmila, tokoh sentral yang membuat Kuntilanak 2 (2019) terasa mencekam.
Yang belum terjawab, bagaimana perjalanan hidup Karmila hingga ia menjadi sosok dalam Kuntilanak 2 (2019). Karena menempatkan diri sebagai paparan sejarah, Mangkujiwo tidak mengobral adegan jumpscare. Sekilas ia bercerita di satu kurun waktu. Bila Anda perhatikan dengan seksama, Mangkujiwo tidak begitu.
Satu tips untuk Anda yang belum menonton, perhatikan tata artistiknya. Dari dokar hingga mobil. Dari tata busana hingga lift tempat seorang tokoh bekerja. Dengan kata lain, penata artistik Mangkujiwo patut diapresiasi lantaran menghadirkan penanda yang membuat audiens tidak bingung.
Akting Djenar dan Asmara
Penyunting gambar Mangkujiwo pun berhasil mengelabui penonton. Tiga per empat kisah Mangkujiwo membuat kita terus bertanya perihal apa yang akan terjadi, motif sejumlah tokoh, dan bagaimana ini akan berakhir. Yang unggul aktingnya, Djenar Maesa Ayu. Ia konsisten dengan raut tenang tapi keberpihakannya selalu bikin kami bertanya-tanya.
Lalu, Asmara. Beberapa kali kami melihat ekspresinya mengundang simpati. Dalam penderitaannya, masih ada sisa-sisa kegenitan yang terjelaskan di paruh kedua. Ini soal siapa dia dan profesinya. Di bagian akting ini ada beberapa problem yang kami rasakan. Pertama, chemistry Brotoseno dan anaknya terasa masih berjarak.
Kedua, artikulasi Brotoseno termasuk pemilihan kata ganti yang berubah-ubah. Dari Romo menjadi Aku, saat berbincang dengan anak. Ini membuat kedekatan dua generasi terasa agak kabur. Faktor reading yang kurang optimal? Bisa jadi.
Advertisement
Lebih Nyeni
Mangkujiwo memang belum menjawab seluruh persoalan dalam semesta Kuntilanak. Meski begitu, posisinya penting. Ia menerangi beberapa selubung misteri Kuntilanak yang selama ini dibiarkan redup. Film ini memungkinkan kita lebih paham sejarah cermin yang selama ini digambarkan menjadi sarang kuntilanak.
Lalu mengapa cermin itu seolah ada di beberapa tempat. Dan seterusnya. Dengan sinematografi yang mumpuni, beberapa adegan Mangkujiwo terasa seperti panggung teater. Lebih nyeni, amat artsy. Atau apapun itu namanya.
Film ini dengan mudah mengantongi 500 ribu penonton. Mengingat, pada hari pertama penanyangan menyerap lebih dari 50 ribu orang. Namun untuk tembus sejuta, agak sulit meski tidak mustahil.
Â
Â
Pemain: Sujiwo Tejo, Asmara Abigail, Roy Marten, Karina Suwandi, Djenar Maesa Ayu, Samuel Rizal, Septian Dwicahyo, Kedung Darma Romansha, Landung Simatupang
Produser: Raam Punjabi
Sutradara: Azhar Kinoi Lubis
Penulis: Dirmawan Hatta, Erwanto Alphadullah
Produksi: MVP Pictures
Durasi: 1 jam, 46 menit