Sukses

SHOWBIZ UNCENSORED: Aku Dilabrak Istri Sah Seorang Produser (Bagian 2)

Pada Trika, aku bercerita rumah ini pemberian seorang bos rumah produksi tempat aku syuting film. Ia memberikan rumah dan Alphard dengan cuma-cuma.

Liputan6.com, Jakarta “Gue sekarang tinggal di rumah ini, Tri. Makanya gue jarang balik ke kontrakan,” ceritaku pada Trika dengan nada lirih. Trika hanya bengong, matanya enggan berkedip sembari menyapu setiap sudut kamarku. Aku bisa membayangkan betapa terkejutnya Tri, hari itu.

“Gue enggak tahu dari siapa lo bisa dapat rumah dua lantai di kawasan seelit ini, sementara gue tahu persis apa pekerjaan lo. Artis papan atas juga butuh waktu berbulan-bulan buat beli rumah segede ini, kali Vit,” sahut Tri sambil tetap melihat tiap sudut kamarku.

Pada Trika, aku bercerita rumah ini pemberian seorang bos rumah produksi tempat aku syuting film. Ia memberikan rumah dan Alphard dengan cuma-cuma. Aku menerimanya. Aku juga mengaku pada Trika bahwa menjalin cinta dengan Pak Janu, yang notabene sudah punya seorang istri, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

2 dari 9 halaman

Aku Lelah Hidup Susah

Pak Janu menikah di usia 23 tahun. Anaknya yang sulung kini berusia 19 tahun dan diterima kuliah di salah satu kampus bergengsi di negeri ini. Tri memandangiku lekat-lekat, tak percaya dengan keputusan yang telah kubuat.

Kepada Tri pula, aku mengaku lelah hidup susah. Ndilalah, kata orang wajahku cantik. Makanya aku sering jadi figuran di sejumlah sinetron stripping dan film. Masalahnya, industri seni tak butuh wanita cantik semata. Selain cantik, harus punya aura kebintangan dan tentu saja bakat. Bakat kuyakin punya.

Tapi aura kebintangan, itu pemberian Tuhan. Aku belum sempat menghubungi Tuhan dan bertanya apakah dulu pernah memberiku aura itu. Beberapa tahun menjadi figuran dan tak kunjung naik pangkat membuatku tak sabar.

 

3 dari 9 halaman

Pengakuan Kepada Trika

“Dan karena merasa tak punya aura kebintangan, gue memilih jalan pintas. Lo enggak marah sama gue kan, Tri? Lo enggak jijik sama gue, kan?” tanyaku kepada Tri, yang sore itu memakai kaus putih lengan panjang dan celana jin belel biru. Yang kutanya masih bengong memandangiku.

“Gue sebagai teman hanya bisa mengingatkan. Tapi lo sudah membuat pilihan. Jadi tugas gue sekarang, menemani lo. Kalau suatu saat amit-amit lo jatuh, gue akan ulurkan tangan supaya lo bisa segera bangkit,” jawab Tri. Aku memeluknya.

 

4 dari 9 halaman

Membelakangi Nyonya Rumah

Trika mengingatkanku agar berhati-hati saat berjalan membelakangi nyonya rumah. Tujuannya, agar langkahku tidak terendus sama sekali. Jika memungkinkan, menghentikan permainan ini persis setelah tujuan tercapai. Aku mengajak Trika makan siang di rumah. Setelah itu, ia pamit.

Setengah jam setelah Trika pamit, beberapa rekan artis yang kukenal dari sejumlah sinetron menghubungiku. Mereka mengajakku ikut arisan dari tas sampai perhiasan emas. Berhubung duit tersisa banyak, aku mengiakan. Tiga arisan aku pikir cukup. Sebelum deal, aku mengontak Pak Janu.

“Enggak masalah, daripada kamu mati gaya di rumah, lebih baik sesekali mingle ikut arisan tapi jangan banyak-banyak. Tiga atau empat masih masuk akal. Jangan sampai mas dinomorduakan hanya gara-gara arisan,” kata Pak Janu saat kutelepon.

5 dari 9 halaman

Permintaan Pak Janu

“Dih, si Mas, masa cemburu sama teman-teman arisanku, enggak lucu, ah,” jawabku.

Usai membahas arisan, aku dan Pak Janu membuat kesepakatan. Aku mau, seminggu paling tidak dua kali ia menginap di kediaman Jakarta Selatan. Pak Janu menyanggupi. 

Aku mulai menikmati dunia syuting dan arisan. Pak Janu membatasi kegiatan syutingku hanya untuk film layar lebar dan FTV. Tak boleh sinetron atau serial. Waktu senggang aku isi dengan ikut arisan dan belajar memasak. Pak Janu ingin, saat ia menginap di rumah, aku memasak langsung. Bukan ART.

Oke, aku sanggupi permintaan ini. Minggu depan, ada gala premier film Perempuan di Permakaman di bioskop di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Aku diminta tampil glamor dengan dress code hitam atau abu-abu.

6 dari 9 halaman

Diliput Infotainment

Akhirnya, aku melenggang ke karpet merah. Saat itulah sejumlah wartawan mendekatiku. Mereka bertanya dari soal film sampai kehidupan pribadi.

“Kav, kapan-kapan mau, dong bikin liputan berkonsep reality show dari rumah lo terus ngikutin kegiatan lo seharian. Boleh, enggak?” tanya seorang jurnalis, usai wawancara.

“Oh boleh, dong. Nanti kontak langsung ke manajer gue saja. Biar diaturin jadwalnya. Tapi gue nitip promosi film boleh, ya?” ujarku sembari membagikan nomor ponsel manajerku.

“Bolehlah. Minggu depan gue sama kameraman dan anak magang rencananya mau meliput.”

 

7 dari 9 halaman

Dibuntuti Wartawan Seharian

Benar kata orang. Kalau sudah memasuki promosi film tuh, hari berlangsung cepat. Perasaan baru kemarin gala premier, sekarang sudah promosi saja. Maklum, saat membintangi film Wajah Kuntilanak dulu, tidak ada promposi sama sekali. Yania, jurnalis yang minggu lalu mengajak janjian betulan datang ke rumah, untuk mengikuti aktivitasku seharian.

Yania datang bersama kameraman, Doddy, dan anak magang yang dipanggil Jojo. Ketiganya membuntutiku dari rumah, promosi ke radio, stasiun televisi, berakhir dengan creambath di salon dan makan malam. Selesai liputan aku balik ke rumah. Ada Pak Janu di sana.

 

8 dari 9 halaman

Masak Buat Pak Janu

“Bagaimana promosi film hari ini?” tanya Pak Janu yang duduk di ruang tamu.

“Aman, Mas. Duh, aku berasa kayak artis papan atas. Seharian diikuti wartawan infotainment,” sahutku sambil melepaskan sepatu dan bergegas ke dapur.

“Mas, aku belum sempat masak. Aku bikinkan sup saja, ya?” sambungku. Pak Janu menoleh, tersenyum, sambil mengangguk.

“Kalau kamu capai, mending kita pesan makanan via ojol.”

“Enggak, ah. Aku kan sudah janji sama Mas buat selalu masakin Mas.”

 

9 dari 9 halaman

Masa Depan Trika

Usai memasak dan menghidangkannya kepada Pak Janu, ponselku berdering. Trika. Tumben dia menelepon setelah beberapa minggu tak ada kabar.

“Tri? Apa kabar, deh beberapa minggu menghilang?”

“Vit, besok gue mampir ke rumahmu sebentar, ya? Jam 12 siang, begitu?”

“Wah, gue jam segitu ada arisan tas. Tapi enggak apa-apa, nanti sambil-sambil kita bisa mengobrol, eim? Penting banget, nih kayaknya sampai harus ketemu muka?”

“Begitulah. Soal masa depan gue sama anak orang, soalnya, Vit.”

“What!”

 

(Bersambung)

 

(Anjali L.)

 

Disclaimer:

Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.