Liputan6.com, Jakarta Masih ingat komika Marshel Widianto? Finalis Stand Up Comedy Academy Indosiar musim ketiga ini dikenal berkat rambut kribo dan banyolan spontan. Tampil ceria dan ceplas-ceplos di depan kamera, rupanya ia punya kisah sedih.
Ini bermula ketika Marshel Widianto diundang Nikita Mirzani ke kediamannya untuk membuat konten kolaborasi. Penuh canda tawa, suasana jadi serius saat Nikita Mirzani membahas soal hidup.
Advertisement
Baca Juga
“Kapan lo kira-kira akan menyelesaikan hidup lo?” tanya Nikita Mirzani. Marshel Widianto shock. Semula, Marshel Widianto mengartikan pertanyaan ini dengan, “Kapan kamu mati?”
Meninggal Maksudnya?
“Menyelesaikan? Meninggal maksudnya? Gila ya tiba-tiba, gue diundang sudah gue ceritakan semuanya, terus lo pengin gue mati begitu?” seloroh Marshel Widianto kepada Nikita Mirzani.
Bintang film Taman Lawang dan Nenek Gayung buru-buru meralat, “Target, target yang belum tercapai dalam hidup lo.” Marshel Widianto diam sejenak lalu menjawab.
Advertisement
Bikin Panti Asuhan
“Ada satu sih yang paling tinggi menurut gue, pengin bikin panti asuhan untuk orang-orang yang dulunya miskin seperti saya,” katanya. “Oh mulia sekali,” sahut Nikita Mirzani.
Momen ini terekam dalam video bertajuk “Marshel Diskakmat Sama Niki! Gak Bisa Bohong, Gak Ada Rahasia,” yang mengudara di kanal YouTube Crazy Nikmir Real, Senin (17/8/2020). Marshel Widianto juga ditanya soal tarif manggung.
Kemarin Bokap Gue Meninggal...
Pelawak tunggal kelahiran Jakarta, 30 Mei 1996, ini menjelaskan, “On-air 3 sampai 7 juta rupiah, kalau off-air paling tinggi pernah dibayar 28 juta rupiah tapi itu jarang-jarang memang.” Dari sinilah kisah sedih itu terungkap.
Uang dari panggung melawak tunggal dipakai Marshel Widianto membangun rumah. Sayang, tak lama setelahnya sang ayah wafat. “Kemarin bokap gue meninggal, gue bisa beli peti mati buat dia yang bagus, peti mati 18 juta (rupiah). Jasnya dan sepatunya yang bagus,” beber Marshel Widianto.
Advertisement
Pas Meninggal, Pakai Jas
Ia membayangkan andai tak bekerja sebagai komika, bisa jadi tak punya uang untuk membeli peti jenazah mewah, termasuk setelan jas dan sepatu untuk dikenakan almarhum sebelum dibawa ke peristirahatan terakhir.
“Bapak gue waktu hidup enggak pernah pakai yang namanya jas. Pas meninggal pakai jas. Senang banget dan yang bikin terharu, rumah gue dulu pintunya cuma satu, sekarang tiga,” ia menukas. Satu pintu di antaranya dibuat lebar sehingga cukup untuk dilewati peti almarhum ayah Marshel.