Liputan6.com, Jakarta Ibunda Tompi, Safira, meninggal dunia pada April 2021 setelah dinyatakan positif Covid-19. Ini bermula ketika Safira terbang ke Aceh untuk melepas kangen dengan keluarga di sana.
Pelantun “Salahkah” dan “Sedari Dulu” lalu menceritakan kronologi meninggalnya ibunda sebelum mangkat. Saat Safira merasakan gejala mirip flu, Tompi menduga ibunda terinfeksi Covid-19.
Advertisement
Baca Juga
Hari kedua merasakan gejala, Safura menjalani swab test atau uji usap. Hasilnya positif. Setelahnya, Tompi dan keluarga memetakan perawatan medis untuk menolong ibunda tercinta.
Turunnya Saturasi
“Pagi itu habis sahur, saya langsung koordinasi dengan teman-teman di Medan, Banda Aceh, dan Jakarta untuk mencari tempat mengirim ibu saya buat perawatan yang lebih baik,” kata Tompi dalam siaran IGTV.
“Pagi itu saturasi ibu saya dari 98 turun ke 94. Setelah turun ke-94, saya mulai khawatir tuh. Saya bilang ke kakak saya, ini enggak bisa (ibu) harus sesegera mungkin berangkat (ke Medan),” urainya, Sabtu (15/5/2021).
Advertisement
Menanti 10 Jam
Keluarga Tompi bersiap sejak jam 6 pagi. Mereka menunggu ambulans yang dijadwalkan menjemput ibunda Tompi hari itu. Apes, menanti ambulans di Lhokseumawe tak seringkas yang dibayangkan.
“Persiapan semua dari jam 6 pagi. Ibu saya baru ready ambulansnya untuk berangkat itu jam 4 sore. Hampir jam 4 sore, bayangkan gapnya begitu lama,” pemilik album Playful menyambung.
Baru Naik Ambulans...
Hari yang sama, jam 4 sore, Tompi terbang ke Medan. Ia dan keluarga bikin janji temu di sana. Apa daya, Allah punya kehendak lain. Baru beberapa menit naik ambulans, Safira mengembuskan napas terakhir.
“Baru naik ambulans, baru jalan beberapa menit, (terjadi) perburukan. Saturasi makin turun, sudah dalam keadaan tenang, senyap gitu, ibu saya berpulang. Jadi prosesnya cepat banget, teman-teman,” kenangnya.
Advertisement
Layanan PCR 2 Kali Seminggu
Saat itu pula, Tompi mendapati sejumlah fakta miris. Di Lhokseumawe, pemeriksaan PCR cuma bisa dikerjakan 2 kali seminggu. Padahal, menurut Tompi, dalam kondisi wabah seharusnya satgas siaga 24 jam, tujuh hari dalam seminggu.
“Di sana cuma bisa dikerjakan 2 kali dalam seminggu. Itu pun regentnya suka enggak ada. Tenaga kesehatan yang bertugas juga tidak stand by di tempat. Kita harus marah-marah dulu, kita harus punya koneksi dulu baru bisa,” keluhnya.