Liputan6.com, Jakarta Dalam era digital seperti saat ini, rasanya sudah jamak melihat “keakraban” anak dan remaja dengan gadget. Bahkan anak prasekolah pun kini sudah piawai memainkan gawai, termasuk mencari-cari sendiri tontonan di platform streaming. Mereka dengan mudah menyaksikan tayangan edukasi hingga serial animasi dari negeri seberang.
Namun diam-diam ada keresahan di hati orangtua melihat anak-anaknya dengan mudah mengakses tontonan di internet. Salah satunya Henni Lisyafaati (35), ibu tiga anak yang tinggal di Tangerang.
Saat anak-anaknya mengakses YouTube atau platform streaming berbayar lain, ia memang berusaha untuk selalu menemani mereka. Namun saat si sulung makin besar, putranya yang kini berusia 10 tahun mulai menyaksikan tontonan ini sendiri.
Advertisement
Baca Juga
“Iya, suka kepikiran banget. Takut ada tontonan yang terlalu sadis atau soal seksualitas,” tuturnya saat berbincang dengan Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Meski khawatir, ia yakin anaknya sudah mengetahui tayangan yang layak untuknya. Seperti diketahui, salah satu parameter untuk ini adalah rating usia seperti yang telah disusun oleh Lembaga Sensor Film atau LSF, salah satu unsur dalam Budaya Sensor Mandiri.
Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pengaruh Tontonan Kekerasan
Kekhawatiran Henni mungkin juga menjadi beban serupa di pikiran orangtua lain. Kecemasan ini memang sangat beralasan. Pasalnya tayangan yang tak sesuai dengan umur anak memang memiliki efek yang sangat berbahaya.
“Tayangan seperti pornografi dan juga kekerasan. Kekerasan di sini tak hanya yang bersifat fisik tapi juga verbal dan psikis,” tutur psikolog Oktina Burlianti kepada Liputan6.com. Tayangan seperti ini, ujarnya, berpengaruh kepada perilaku anak—termasuk dalam tingkat agresivitas.
“Karena tontonan itu adalah sesuatu yang kita bawa ke area personal, sementara anak belajar dengan mencontoh, dengan melihat,” tambahnya.
Ucapan wanita yang juga merupakan Direktur Program Sekolah Citta Bangsa ini didukung sejumlah penelitian dari pakar di bidang psikologi. Dilansir dari laman American Psychological Association, National Institute of Mental Health pada 1982 melaporkan sejumlah efek tontonan kekerasan kepada anak.
Tiga di antaranya adalah penonton cilik memiliki kemungkinan menjadi kurang sensitif atas penderitaan orang lain, lebih takut terhadap dunia sekitar, hingga bisa jadi berlaku lebih agresif atau membahayakan orang lain.
Penelitian dari Profesor Psikologi Universitas Stanford, Alex Bandura, juga mendapati bahwa tingkah agresif anak, sebagian dipengaruhi oleh apa yang mereka saksikan. Ia menjabarkan bahwa tindakan belajar dengan melihat dan meniru orang lain, alih-alih dari pengalaman sendiri, disebut sebagai social learning.
Advertisement
Bahaya Pornografi
Tak cuma masalah kekerasan, konten pornografi pun tak kalah mengerikan. Oktina Burlianti bahkan menyebut konten dewasa seperti ini lebih berbahaya dari narkoba untuk otak anak.
“Karena itu ada istilahnya narkolema, atau narkoba lewat mata,” tuturnya. Konten semacam ini bisa membuat otak anak matang sebelum waktunya.
"Lewat tontonan seperti ini, dopamine membanjiri otak, penontonnya excited dan menganggapnya sebagai reward. Dengan dopamine kita merasa senang, tapi setelah merasakan efek seperti ini, lama-lama kita nagih,” tuturnya.
Hal lain yang perlu dicermati, bagian otak prefrontal cortex pada anak belum berkembang secara sempurna. Padahal, ini adalah bagian otak yang berfungsi sebagai tempat mengatur akal. Sejumlah penelitian juga mengungkap bahwa candu pornografi bahkan mengerosi prefrontal cortex, seperti dilansir dari Neuroscience News.com.
“Ketika menginginkan sesuatu, otak mendorong supaya hal itu cepat-cepat terpenuhi, sementara prefrontal cortex yang mengerem. Yang berbahaya saat prefrontal cortex sejak kecil tidak berkembang dan terus-terusan mengejar dopamine,” kata dia.
Peran Orangtua
Oktina Burlianti menggarisbawahi peran penting orangtua sebagai pendidik, untuk mencegah anak-anak mengonsumsi konten yang belum layak untuk mereka.
“Pemerintah melalui lembaganya kan sudah mengontrol, kita juga harus mencari cara untuk mencegah mereka mengakses tayangan seperti ini. Salah satunya dengan cara ngobrol dan berdiskusi dengan anak,” tuturnya.
Yang ideal, kata Oktina, diskusi semacam ini tidak berlangsung satu arah, melainkan dua arah dan berlangsung egaliter. Dengan begini, pemahaman anak bisa terbentuk mengenai apa yang boleh ia saksikan maupun dijauhi.
Advertisement
Budaya Sensor Mandiri
Konsep ini, sejalan dengan gerakan Budaya Sensor Mandiri yang digagas oleh LSF. Dalam pernyataan tertulisnya, ini adalah gerakan mendiseminasi informasi dan literasi publik, agar masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia.
“Tumbuh dan mengakarnya gerakan ini dalam masyarakat menjadi penting karena ada peran orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar yang menjadi penyaring utama dalam menentukan tontonan mana yang layak atau tidak untuk dikonsumsi,” begitu isi pernyataan LSF dalam press release-nya.
Ini sesuai dengan salah satu fungsi LSF, yakni melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film maupun iklan film.
Empat Penggolongan Usia
Ada empat penggolongan usia seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 7 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 Pasal 32.
Yang pertama adalah SU, dengan konten yang tidak merugikan perkembangan kesehatan fisik dan jiwa anak-anak.
Selanjutnya ada 13+ yang cocok untuk anak-anak yang beranjak remaja, dan 17+ untuk usia 17 tahun ke atas, di mana hal-hal sensitif disajikan secara proporsional dan edukatif. Terakhir adalah 21+ untuk penonton dewasa, di mana hal-hal senstif disajikan secara tak berlebihan.
Konsep penggolongan umur juga digunakan oleh negara-negara lain, disesuaikan dengan kebijakan masing-masing.
Advertisement
Fitur dari Platform Streaming
Sejatinya, orangtua saat ini sudah dimudahkan untuk menjalankan sensor mandiri. Selain panduan dari LSF ini, sejumlah platform streaming sudah menyediakan fitur agar orangtua bisa mengontrol tontonan yang diakses anak.
Netflix misalnya, menyediakan fitur profil khusus anak, di mana orangtua bisa mengunci sejumlah tayangan atau hanya mengizinkan akses untuk rating film tertentu. YouTube juga menyediakan YouTube Kids, dengan situs dan aplikasi terpisah, untuk memastikan bahwa konten di dalamnya ramah anak, sekaligus memudahkan orangtua dalam melakukan kontrol.
Dalam pernyataannya pada Februari 2021, Manajer Produk Anak Netflix Michelle Parsons menyebut pihaknya telah memperbarui fungsi kontrol orangtua pada 2020.
“Karena setiap keluarga di Indonesia memiliki pilihan tontonan yang berbeda, kami membantu orang tua untuk dapat memastikan tontonan yang sesuai bagi tiap anggota keluarga, khususnya anak-anak,” tuturnya, dalam pernyataan tertulisnya kala itu.
Jangan Lepas Tangan
Dengan fitur seperti ini ditambah panduan dari LSF, tampaknya sudah tak ada alasan bagi orangtua untuk lepas tangan terhadap konsumsi media anak-anak mereka.
Oktina Burlianti mendorong orangtua untuk menyadari peran penting mereka. Tugas besar orangtua, adalah mengontrol, berdiskusi, dan mendampingi anak saat mengakses media.
“Di samping upaya pemerintah, akan semakin efektif saat kita mengajak anak-anak ngobrol, berdiskusi tentang ‘mengapa’, karena sebenarnya anak-anak itu sangat cerdas,” tuturnya.
Advertisement