Sukses

Kamila Andini dan Sineas Asia Bicara soal Representasi Wanita dalam Sinema, Penuh Tantangan dan Ekspektasi

Netflix menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret lalu, dengan menggelar diskusi yang menghadirkan sejumlah sineas dan pemerhati sinema wanita kawakan dari Asia. Salah satunya adalah Kamila Andini.

Liputan6.com, Jakarta Anggapan bahwa wanita adalah warga kelas dua, kini mulai terasa ketinggalan zaman. Banyak kaum hawa yang mengambil peran penting—bahkan menjadi pendobrak dalam bidangnya. Tak terkecuali dalam bidang sinema.

Hal ini juga dirayakan oleh Netflix dalam sebuah acara khusus bertajuk "Reflections of Me", Kamis (16/3/2023) lalu di Senayan City, Jakarta Pusat. Digelar untuk menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret lalu, dihadirkan sejumlah sineas dan pemerhati sinema wanita kawakan dari Asia.

Mereka antara lain adalah kritikus film Anupama Chopra dari India; penulis naskah Eirene Tran Donohue (A Tourist’s Guide to Love) asal Vietnam-Irlandia; sutradara Kamila Andini (Gadis Kretek); aktris, sutradara, produser, dan penulis Manatsanun ‘Donut’ Phanlerdwongsakul (Thai Cave Rescue) asal Thailand; serta sutradara Marla Archeta (Doll House) dari Filipina. Hadir sebagai moderator, aktris Ali  & Ratu Ratu Queens dan Perempuan Tanah Jahanam, Marissa Anita.

Sebelum diskusi dimulai, Amy Kunrojpanya selaku Vice President Public Relations Netflix untuk wilayah Asia Pasifik mengungkap gambaran besar mengapa upaya untuk terus menghadirkan representasi wanita dalam industri perfilman mesti dilakukan. Dalam sambutannya, ia menjelaskan soal besarnya dampak dari perspektif yang bisa dihadirkan oleh sineas wanita.

2 dari 4 halaman

Peran Penting dalam Membangun Empati dan Pemahaman

“Di Netflix, kami yakin bahwa kisah-kisah menakjubkan bisa berasal dari mana saja dan dampak terbaik dari kisah-kisah tersebut adalah terciptanya rasa empati serta pemahaman,” tuturnya. Ia melanjutkan, “Sudah selayaknya ada lebih banyak representasi yang tercermin di layar, dan kami ingin memberi pengalaman luar biasa saat publik melihat cerminan mereka dalam tayangan Netflix.”

Kritikus Anupama Chopra mengamati, bahwa dahulu industri film hanya menempatkan wanita sebagai “pemanis.”

“Dalam film-film yang dulu saya saksikan, aktris utama kebanyakan hanya menari, bergandengan tangan, atau  berada di pelukan aktor utama pria, seperti ‘aksesori’,” katanya.

Namun zaman yang mulai berubah, sejumlah tokoh wanita yang kuat dan tangguh mulai bermunculan. Eirene Tran Donohue misalnya, merasa terinsiprasi oleh karakter Princess Leia di Star Wars.

“Aku begitu menyukai kekuatannya, dan petualangan yang ia lakukan,” kata Eirene.

3 dari 4 halaman

Kamila Andini soal Tokoh Wanita yang Kuat

Di sisi lain, Kamila Andini meyakini bahwa membuat tokoh wanita yang kuat, tak harus dilakukan dengan memasang segala atribut maskulin ke dalam karakter tersebut.

“Ini bagus, tapi di sisi lain, saat menulis (karakter wanita yang kuat) aku enggak merasa seperti itu. Misalnya, aku emosional, vulnerable,” tutur sutradara Yuni ini.

Kamila menalnjutkan, selalu ada ekspektasi yang besar terhadap perempuan, untuk menjalani hidup sesuai dengan harapan orang di sekelilingnya. Entah menjadi ibu atau istri yang sempurna.

“Namun saya paham betapa sulitnya untuk mencoba menjadi diri yang berani membuat pilihan untuk kita sendiri. Itu mengapa karakter-karakter saya tidak pernah sekadar hitam dan putih, mereka punya kelemahan tapi juga kekuatan,” kata Kamila Andini.

Eirene Tran Donohue memberi pernyataan senada. Ia berpendapat perlunya memberi ruang untuk kompleksitas dalam diri perempuan.

4 dari 4 halaman

Tantangan Para Sineas Wanita

Manatsanun ‘Donut’ Phanlerdwongsakul berpendapat bahwa keberadaan sineas perempuan di Asia akan mendorong representasi wanita dalam sinema yang makin berwarna—tak terpaku dalam stereotip tertentu. “Produser dan penulis punya peran untuk menghasilkan karakter yang lebih beragam, bukan hanya stereotip,” kata dia.

Marla Ancheta juga meyakini bahwa semakin keberhasilan kreator perempuan disorot, kian banyak pula tantangan baru dalam menghadirkan karya.

“Akan ada lebih banyak ekspektasi, terutama bagi para kreator. Kita ditantang untuk menghasilkan konten yang lebih baik lagi dan bersikap lebih mawas diri tentang bias dari pihak lain sehingga dapat merepresentasikan budaya kita dengan lebih baik.”