Sukses

Nukila Evanty Ingin Melibatkan Masyarakat Adat dalam Setiap Aspek Pembangunan

Nukila Evanty menghadiri United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII).

Liputan6.com, Jakarta Nukila Evanty adalah pemimpin dari Inisiasi Masyarakat Adat (IMA). Nukila menghadiri United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) atau Forum Tetap untuk Isu-isu Masyarakat Adat ke-22 yang telah berlangsung dari 17-28 April 2023 di New York, Amerika Serikat. 

Forum Tetap ini didirikan oleh Majelis Umum PBB pada 28 Juli 2000, dengan mandat untuk menangani masalah masyarakat adat yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan sosial, budaya, lingkungan, pendidikan, kesehatan dan hak asasi manusia.

Forum Tetap beranggotakan 16 orang ahli. Forum ini dihadiri oleh organisasi masyarakat adat, akademisi, aktivis hak asasi manusia, perwakilan badan khusus PBB, hingga perwakilan Negara Anggota. 

Oleh UN Voluntary Fund for Indigenous Peoples, Nukila menjadi panelis dalam sesi berjudul,  Memajukan Implementasi dari Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW), Rekomendasi Umum 39 tentang Perempuan dan Anak Perempuan Adat. Kegiatan ini berlokasi di Markas Besar PBB. Sekadar informasi, CEDAW adalah sebuah Kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. 

Sebagai latarbelakang mengapa tema ini penting, pada tahun 2004, Forum Tetap untuk Masalah Adat mendesak Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan untuk memulai proses untuk mengembangkan dan mengadopsi rekomendasi umum tentang perempuan adat.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Rekomendasi Umum

Akhirnya pada Oktober 2022, Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) mengadopsi Rekomendasi Umum 39 tentang Hak Perempuan dan Anak Perempuan Adat. Rekomendasi tersebut merupakan pencapaian penting bagi perempuan dan anak perempuan Masyarakat Adat di seluruh dunia mengingat berbagai bentuk diskriminasi yang mereka alami.

Tujuan panel ini untuk meningkatkan kesadaran tentang hak perempuan dan anak perempuan masyarakat adat di seluruh dunia. “Saya menyampaikan bahwa Rekomendasi Umum 39, karena melihat masih banyak diskriminasi yang dialami perempuan dan anak perempuan masyarakat adat. Perempuan dan anak perempuan masyarakat adat seringkali memiliki hubungan dengan masyarakat, hutan, tanah, wilayah, budaya dan sumber daya alam mereka. Tentunya, diskriminasi serupa dan kekerasan berbasis gender yang kita hadapi sering dilakukan oleh aktor Negara dan non-Negara seperti bisnis/korporasi," ujar Nukila dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.

“Saya menjelaskan konteks yang telah terjadi kepada perempuan dan anak perempuan masyarakat adat, khususnya di daerah asal saya di provinsi Riau, dari tahun 2020 hingga 2023. Krisis air bersih dan akses air yang sulit. Banyak wanita masyarakat yang biasanya melakukan ritual pada hari-hari tertentu di sungai, mereka  mandi, juga mengambil air minum dari sungai yang mereka jaga sejak jaman nenek moyang. Lalu datanglah perusahaan sawit, mereka membangun perkebunan sawit. Mereka menjadi faktor utama yang merusak ekosistem sungai. Salah satu contoh, Sungai Ekok milik masyarakat Talang Mamak di Provinsi Riau. Dulunya di sungai ini banyak dijumpai aneka ikan, mulai dari ikan sepat, puyu, puyau dan ikan gabus. Tapi dengan kedatangan perusahan sawit, sungai menjadi dangkal dan tercemar. Contoh lain, dengan apa yang dialami perempuan masyarakat adat di desa Bokong, Nusa Tenggara Timur. Beberapa perempuan memiliki tanggung jawab mengumpulkan air untuk minum. Untuk mengambil air bersih, mereka harus berjalan kaki, hingga 30 menit untuk mendapatkan 2 galon air. Setiap perempuan di masing-masing keluarga di desa itu harus mengumpulkan 6 galon untuk persediaan 1-2 hari. Membawa air dari jarak jauh merupakan beban fisik yang sangat besar, hal ini membuat perempuan dan anak perempuan rentan terhadap risiko keselamatan dan eksploitasi,” sambungnya.

 

3 dari 4 halaman

Pengalaman Nukila

Pengalaman lain yang ditemukan Nukila, Perempuan Adat di Kampung Durian, Kampar, Provinsi Riau, salah satunya menjadi korban pengusiran dengan menerima ganti rugi yang seadanya, tanpa musyawarah dan tanpa persetujuan serta menghadapi pemerasan. Mereka dibujuk oleh perusahaan dengan mekanisme bagi hasil; tanah mereka akan ditanami oleh perusahaan, jika menguntungkan akan dibagi; dengan cara memaksa dengan mengirimkan preman bersenjata ke kediaman keluarga mereka. Perempuan ini tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka bergantung pada pendapatan suaminya atau pada keputusan yang dipilih suaminya. Perempuan adat rentan untuk terusir dari wilayah adatnya yang berubah menjadi konsesi pertambangan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan pohon industri dan lain-lain.

Ketika tanah dan hutan habis, menyebabkan banyak ilmu perempuan adat hilang. Perempuan kesulitan mencari bahan baku dari tanah, baik bahan baku tenun maupun pewarna alami, dan mereka kehilangan tempat untuk mempraktekkan ilmu bercocok tanam. Mereka bukan lagi penjaga benih di komunitas mereka. Daun rumbia bagi perempuan adat di Provinsi Riau merupakan daun yang paling banyak digunakan untuk membuat atap rumah mereka. Mereka mengikat daun-daun tersebut menggunakan tali bambu. Namun karena hutan telah dibabat, sulit bagi perempuan adat ini untuk melanjutkan tradisi memiliki rumah adat yang terbuat dari daun rumbia.

Perempuan adat memiliki peran besar dalam mewujudkan ketahanan ekonomi, peran sosial, dan melestarikan lingkungan. 

 

4 dari 4 halaman

Suara Perempuan Adat

Partisipasi perempuan adat dalam pembangunan juga cenderung terabaikan. Industri ekstraktif dan perkebunan raksasa telah memisahkan perempuan dan suara perempuan sehingga tidak mampu menentukan nasibnya sendiri.

“Pada umumnya masalah Masyarakat Adat di berbagai belahan dunia tidak jauh berbeda, antara satu negara dengan negara lain. Sebut saja masalah marginalisasi, kemiskinan, penyakit dan kekerasan. Saya juga menyayangkan minimnya data dan catatan tentang dampak pandemi Covid-19 khususnya terhadap perempuan dan anak perempuan masyarakat adat. Misalnya distribusi dan akses vaksinasi Covid-19 kepada perempuan dan anak perempuan masyarakat adat, tantangan penjualan produk pertanian bagi perempuan akibat pembatasan sosial serta layanan kesehatan yang diterima selama pandemi bagi masyarakat adat. Masuknya pengetahuan baru berupa ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan sekolah, hingga pembangunan dapat menghilangkan pengetahuan dan kearifan lokal,” tukasnya. 

Perempuan dan anak perempuan masyarakat rentan terhadap pandangan yang disudutkan, misalnya dianggap tidak berkembang dan tidak beradab. 

Karena itu, melalui kegiatan ini, Nukila meminta beberapa rekomendasi kepada Forum Tetap untuk Isu-isu Masyarakat Adat. Pertama: adanya kewajiban bagi UN agencies terutama untuk mendesak serta memfasilitasi pemerintah dan perusahaan mempunyai mekanisme hukum l yang jelas, protokol berbisnis di wilayah masyarakat serta memastikan penanggung jawab adalah pemerintah dengan kementrian- kementrian yang melakukan pembiaran bahkan mendukung gerakan pebisnis tersebut tanpa Standar Operasional Prosedur yang jelas. Kedua: meminta UN Agencies untuk mendukung masyarakat adat dalam keahlian dan membangun kapasitas terutama bagi kaum perempuan. Dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan, tidak hanya kepada LSM. Ketiga: memastikan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP), Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Prinsip Panduan PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tidak sekadar lip service semata. Keempat: Negara dan pemerintah Indonesia harus memastikan kewajibannya melaksanakan rekomendasi umum terkait  dengan hak-hak perempuan dan anak perempuan masyarakat.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini