Sukses

Rayakan Hari Film Nasional, Ini 10 Mahakarya Teguh Karya dari Cinta Pertama Hingga Badai Pasti Berlalu

Merayakan Hari Film Nasional 2024, inilah 10 karya terbaik sang maestro Teguh Karya dari Cinta Pertama hingga fenomena box office Badai Pasti Berlalu.

Liputan6.com, Jakarta Merayakan Hari Film Nasional 2024, kami mengajak Anda menunggangi mesin waktu untuk berkelana ke dekade 1970 dan 1980-an. Ini era keemasan film Indonesia sebelum mati suri sewindu pada 1990-an lalu bangkit di era milenium, 2000. Di sana, ada Teguh Karya.

Diakui sebagai maestro sinema Indonesia, pria bernama asli Steve Liem Tjoan Hok yang lahir pada 22 September 1937 ini satu-satunya pengoleksi setengah lusin Piala Citra FFI kategori Sutradara Terbaik. Tak ada yang seperti dia dalam sejarah sinema Indonesia hingga kini.

Teguh Karya debut sebagai sutradara lewat Wadjah Seorang Laki-laki (1971). Setelahnya, lahir sejumlah karya monumental seperti Cinta Pertama (1974) yang mempertemukan dua ikon sinema, diva layar perak Christine Hakim dan seniman multibakat Slamet Rahardjo.

Dari tangan Teguh Karya pula, lahir Badai Pasti Berlalu, sebuah standar emas untuk film dan rekaman soundtrack yang sama-sama legendaris. Merayakan Hari Film Nasional, Showbiz Liputan6.com merangkum 10 mahakarya Teguh Karya untuk industri sinema Indonesia.

 

2 dari 11 halaman

1. Cinta Pertama (1973)

Jangan ngaku Generasi Bunga jika tak tahu Cinta Pertama, film musikal yang diarsiteki Teguh Karya. Naskahnya digarap sang maestro bersama Usman Effendy. Cinta Pertama mengisahkan pertemuan Ade dan Bastian dalam perjalanan menggunakan kereta api.

Tumbuh benih cinta di antara mereka namun terganjal sejumlah masalah salah satunya perjodohan Ade dengan Johny. Meraih 5 Piala Citra untuk Tata Musik, Sinematrografi, Pemeran Utama Wanita, Sutradara, bahkan Film Terbaik. Klasik sekaligus layak dikenang!

 

3 dari 11 halaman

2. Ranjang Pengantin (1974)

Pilu dan tragis, dua kata yang mampu menggambarkan kisah Ranjang Pengantin. Menikah tanpa restu membuat, Bram (Slamet Rahardjo) dan Nona (Lenny Marlina) hidup pas-pasan dan tinggal seatap bersama kakak Bram, Nien (Mieke Wijaya) yang notabene perawan tua.

Ranjang Pengantin mengantar Teguh Karya meraih Piala Citra Sutradara Terbaik kali kedua. Meski gagal jadi Film Terbaik FFI, film ini juga menang kategori Pemeran Utama Pria (Slamet Raharjo), Pendukung Wanita (Mieke Widjaja), Tata Artistik, plus Editing. Wow!

4 dari 11 halaman

3. Badai Pasti Berlalu (1976)

Tonggak sejarah itu bernama Badai Pasti Berlalu. Teguh Karya membuat film ini sebagai balas budi atas film-film sebelumnya yang kurang nendang di pasar sekaligus “coba-coba” memvisualkan novel. Hasil akhirnya jauh melampaui standar coba-coba pada umumnya.

Roy Marten, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, dan Mieke Widjaja adalah kuartet combo layar perak yang tak akan terhapus dari sejarah sinema. Seperti filmnya, divisi soundtrack Badai Pasti Berlalu menempatkan Yockie Suryoprayogo, Chrisye, Eros Djarot, dan Berlian Hutahuruk.

Badai Pasti Berlalu menang 4 Piala Citra kategori Tata Suara, Musik, Editing, dan Sinematografi. Ia jadi salah satu film terlaris pada 1977. Soundtrack-nya telah dua kali direkam ulang (tahun 1999 dan 2007). Ia jadi contoh ideal saat membahas karya yang menembus ruang dan waktu.

 

5 dari 11 halaman

4. November 1828 (1978)

Proyek keroyokan Gemini, Satria, Garuda Film dan Interstudio ini menghadirkan kisah loyalitas sekaligus pengkhianatan. November 1828 menguak upaya Kapten van der Borst melacak lokasi persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro.

Film ini bukti kali kesekian kedigdayaan Teguh Karya di bidang penyutradaraan. November 1828 yang dibintangi El Manik, Jenny Rachman, Slamet Rahardjo, dan Rahmat Hidayat menyapu 7 Piala Citra FFI 1979. Termasuk, kategori bergengsi Sutradara dan Film Terbaik.

 

6 dari 11 halaman

5. Usia 18 (1980)

Usia 18 pencapaian Teguh Karya berikutnya. Bayangkan, FFI 1981 menyajikan 11 kategori (pada tahun itu kategori Tata Suara Terbaik tidak dikompetisikan). Usia 18 yang dibintangi Yessy Gusman menembus 11 kategori.

Film ini menang tiga kategori: Pemeran Pendukung Pria, Penyunting Gambar, dan Tata Musik Terbaik. Usia 18 mengisahkan jalinan cinta Edo (Dyan Hasri) dan Ipah (Yessy Gusman) yang tak direstui ayah Ipah (Zainal Abidin).

 

7 dari 11 halaman

6. Di Balik Kelambu (1982)

Apa jadinya jika dua raksasa sinema Indonesia (Teguh Karya dan Slamet Rahardjo) bekerja sama menulis skrip? Jawabannya ada Di Balik Kelambu yang memotret fenomena “rumahan” tentang Hasan menantu yang dibanding-bandingkan oleh mertua, Abah.

Percikan konflik yang intens dan terasa nyata, kekuatan akting para bintang dalam menghidupkan naskah, plus kinerja Teguh Karya sebagai penulis sekaligus sutradara menentukan hasil akhir Di Balik Kelambu. Film ini memborong 7 Piala Citra termasuk Film Terbaik.

 

8 dari 11 halaman

6. Doea Tanda Mata (1984)

Tahun 1984 menandai kali pertama kerja sama Teguh Karya dan Alex Komang. Kolaborasi keduanya melahirkan setidaknya dua karya kaliber Piala Citra. Yang pertama, Doea Tanda Mata, film berlatar dekade 1930-an, kala Indonesia masih disebut Hindia Belanda.

Doea Tanda Mata menang Piala Citra Tata Musik, Aristik, Sinematografi, dan Pemeran Utama Pria Terbaik. Liputan6.com pada Desember 2001 mengabarkan, Doea Tanda Mata diputar di Hongkong Internasional Film Festival dan berjaya di Festival Film Asia Pasifik.

 

9 dari 11 halaman

7. Secangkir Kopi Pahit (1984)

Isu sosial dan Teguh Karya tak dapat dipisahkan. Contoh autentiknya ada di Secangkir Kopi Pahit yang memfiturkan sejumlah masalah sosial dari Jakarta sebagai pusat urbanisasi, bekerja di bidang yang tak dikuasai, perzinaan, dan perantau gagal sukses.

Seperti judulnya, kehidupan Togar (Alex Komang) dalam Secangkir Kopi Pahit tak ada manis-manisnya. Nasib film ini di FFI juga pahit. Meraih 8 nominasi Piala Citra termasuk Sutradara dan Film Terbaik, Secangkir Kopi Pahit pulang tanpa satu kemenangan pun.

 

10 dari 11 halaman

9. Ibunda (1985)

Di dunia musik, ada “Bunda” karya Melly Goeslaw yang memotret peran ibu dari sudut pandang anak yang telah dewasa. Di dunia film, Ibunda yang memvisualkan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal dalam mengayomi anak-anak komplet dengan kemelutnya.

Tuti Indra Malaon sebagai janda priayi bernama Rakhim sukses jadi ikon. Performanya kuat juga menyentuh nurani penonton. Oleh para kritikus, Ibunda yang menang 9 Piala Citra termasuk Sutradara dan Film Terbaik dirujuk sebagai masterpiece dari seorang Teguh Karya.

 

11 dari 11 halaman

10. Pacar Ketinggalan Kereta (1989)

Diadaptasi Arswendo Atmowiloto dari novel Kawinnya Juminten, Pacar Ketinggalan Kereta dirujuk sebagai film terakhir Teguh Karya. Di tangannya, tema “receh” cemburu dan salah paham menjadi berkelas berkat kemasan drama musikal yang mendefinisikan ulang kata seni.

Teguh Karya menggandeng pemain langganannya, Tuti Indra Malaon dan Alex Komang, lalu merangkul idola generasi muda di zaman itu, Onky Alexander beserta Ayu Azhari. Meraih 11 nominasi Piala Citra, Pacar Ketinggalan Kereta menang 8 termasuk Film Terbaik. Bukan main!