Liputan6.com, Jakarta Salah satu film Indonesia yang segera tayang di bioskop, November 2024, yakni Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu karya sutradara Kuntz Agus. Film ini dibintangi Ajil Ditto, Adinia Wirasti, hingga Hanggini.
Kuntz Agus menerima proyek ini diserta sejumlah alasan kuat. Pertama, kisahnya punya kedalaman karena berlatar di Yogyakarta pada 1998, era setelah Presiden ke-2 RI, Soeharto, lengser.
Baca Juga
“Cerita ini punya kedalaman terutama karena berlatar di Jogja pada masa transisi penting Indonesia, setelah lengsernya Soeharto pada 1998,” katanya, lewat pernyataan tertulis yang diterima Showbiz Liputan6.com, Senin (12/11/2024).
Advertisement
Kuntz Agus menyebut momen tersebut menjadi latar kuat untuk kisah pencarian jati diri dan cinta antara Sadali, Mera serta Arnaza. Ada kisah cinta tak biasa yang menantang sekaligus melawan zaman.
Bagaimana Masa Lalu Membentuk
Kisah film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu juga diperkaya elemen dunia seni rupa lalu isu sosial maupun politik yang berkelindan dalam kehidupan para karakternya. Ini menarik untuk dieksplorasi di layar lebar.
“Saya merasa, ini cerita tentang bagaimana masa lalu membentuk dan kita meresponsnya dalam perjalanan hidup. Selain itu, saya tumbuh di Yogyakarta di era yang tak beda jauh dengan setting film ini,” Kuntz Agus menyambung.
Advertisement
Ruang Kreatif yang Luas
Dalam film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu, Kuntz Agus berkolaborasi dengan penulis skenario peraih Piala Citra, Titien Wattimena berdasarkan buku fenomenal karya Pidi Baiq. Kuntz Agus tak henti mengucap syukur atas kolaborasi ini.
“Titien Wattimena dan Pidi Baiq memberi ruang kreatif yang luas. Pidi dengan gaya penceritaan yang khas dan mendalam, memberi nuansa yang dekat dan autentik. Titien menyempurnakan dengan drama dan dialog-dialog reflektif,” urainya.
Terinspirasi Cara Mereka Memandang
Hasil akhirnya, skenario yang kaya dialog sederhana sekaligus membumi. Kuntz Agus meyakini ini salah satu kekuatan film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu yang tak bisa dicuri.
Selain itu Kuntz Agus, Titien Wattimena, dan Pidi Baiq terlibat banyak diskusi, terutama dalam mengembangkan karakter Sadali dan dinamika hubungan dengan Mera serta Arnaza.
“Proses kolaborasi ini terinspirasi cara mereka memandang kehidupan sebagai sesuatu yang penuh dualitas: sederhana namun kompleks, personal namun juga politis,” Kuntz Agus mengakhiri.
Advertisement